Mari kita menyadap karet…
Perkebunan karet yang masih berusia muda dan belum bisa disadap |
Bedeng tua dari bilah papan itu sudah sepi ditinggal penghuninya sejak lepas subuh tadi. Mereka sudah sibuk berlari-lari kecil dari satu batang ke batang karet berikutnya. Menorehkan pisau sadapnya, menyayat kulit-kulit bergetah itu. Cairan putih pun mengucur ke sayak-sayak tempurung kelapa. Sebilah golok terselip di pinggangnya. Wadah obat nyamuk tak lupa terikat di punggungnya. Sepatu kebun dan tutup kepala menjadi pakaian dinas hariannya. Terkadang harus mengoleskan racun pestisida ke kaki untuk menghalangi ulah pacet-pacet penghisap darah. Tak jarang pacet-pacet itu naik sampai ke kepala untuk cari minum darah segar, terlebih jika habis hujan dan suasana hutan lembab seolah mereka ingin pesta pora darah manusia.
Biasanya siang hari mereka istirahat sebentar untuk makan dan sholat, setelah cukup melepas penat mereka melanjutkan lagi pekerjaannya sampai habis ashar. Sehari bisa menyelesaikan 400-600 batang, tergantung keahlian masing-masing pekerja. Selain itu kondisi umur pohon karet juga berpengaruh terhadap kecepatan penyadapan. Sadapan kulit pohon karet muda lebih mudah dari pada karet tua sebab kulit karet muda masih virgin belum ada bekas kulit pulihan, beda dengan karet tua yang sudah berupa kulit pulihan yang kadang tidak sempurna sehingga timbul benjolan sana sini. Sayatan mengikuti kontur yang tidak rata ini yang memperlama pekerjaan.
Bedeng dari papan kayu yang menjadi tempat tinggal para pekerja |
Hasil getah sadapan tidak langsung diambil hari itu juga. Getah-getah beku baru dikumpulkan satu atau dua minggu sekali tergantung kebutuhan. Namun ada juga di daerah tertentu seperti Lubuk Linggau getah dikumpulkan harian karena banyak kasus pencurian di sana. Tentu hal itu sangat melelahkan. Syukurlah kasus pencurian getah di sini tidaklah seperti di Linggau. Bukannya tidak ada kasus seperti itu, tetap ada tapi tidak separah di sana.
Jika tiba waktunya ‘mbangkit’ getah-getah beku yang bercampur dengan getah encer hasil sadapan hari itu dikumpulkan dalam sebuah wadah bak kayu untuk direkatkan dengan ditambah asam cuka untuk mempercepat pembekuan getah encer sehingga berbentuk kepingan balok. Biasanya satu keping beratnya kurang lebih 100 kg, tergantung si pembuatnya mau dibuat berepa kiloan. Kepingan getah ini yang siap dijual ke pasar lelang atau toke (bos karet). Terkadang si pembeli yang datang langsung ke kebon atau kadang juga si penjual yang harus membawanya ke pasar lelang atau pembeli lainnya. Getah di jual kiloan. Terkadang ada juga penjual yang memperberat timbangan dengan mencampurkan tatal-tatal bekas sadapan kulit karet. Bahkan yang lebih ekstrim lagi dengan memperbanyak air sewaktu mbangkit lalu dijual sebagai getah basah. Cara ini bisa menambah bobot lebih dari 20an kilo dari bobot normal dengan sarat langsung dijual karena kalau harus nunggu sehari atau dua hari kadar airnya akan berkurang dan bobot getah menyusut. Tapi perhitungan harganya juga beda. Getah kering dan bersih dari tatal harganya lebih tinggi dari pada getah basah dan bertatal.
Bagi mereka yang punya kebon sendiri bebas mau jual hasilnya ke siapa dengan harga yang lebih bagus. Tentu beda halnya dengan buruh sadap karet yang mau tak mau harus ia jual ke juragannya. Tentu sudah bisa ditebak, harga jual tak mungkin bisa bersaing karena tidak punya posisi tawar kuat. In sya Alloh di tulisan berikutnya akan saya ceritakan lebih lanjut tentang bagaimana sistem bagi hasil antara pekerja dan juragan di sini.
Banyak atau sedikitnya hasil getah sadapan dipengaruhi beberapa faktor. Varietas karet alam yang hidup di hutan bercampur pohon-pohon liar biasanya hanya menghasilkan sedikit getah dibandingkan varietas karet unggul yang dikelola secara profesional. Namun varietas unggul biasanya umurnya lebih pendek jika dilakukan penyadapan intensif bila dibanding dengan karet alam yang bisa bertahan sampai lebih 30an tahun dengan intensitas penyadapan yang sama. Selain itu kondisi musim juga mempengaruhi. Musim kemarau biasanya hasilnya lebih sedikit dibanding sadapan dimana curah hujan cukup memadai. Musim gugur daun juga berpengaruh terhadap hasil sadapan dibanding musim semi. Keahlian dan skill pekerja, demikian pula intensitas pemberian ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) yang asal-asalan juga berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh.
Pada musim hujan dimana curah hujan cukup tinggi, para pekerja menghindari penyadapan intensif. Udara yang lembab di musim itu menjadikan jamur batang kerap menyerang bekas sadapan baru. Akibatnya kulit membusuk dan sulit untuk bisa pulih lagi, bahkan terkadang tidak bisa disadap lagi karena jamur menyerang sampai bagian kayu. Pada kasus yang sudah parah batang karet bisa membusuk dan akhirnya bisa mati.
Kerja di sini memang lebih banyak menggunakan otot dari pada otak, tapi dengan otot semata tanpa tahu teknik dan ilmunya juga tidak akan banyak hasil. Butuh pengalaman dan butuh terbiasa agar bisa beradaptasi dengan pekerjaan ini. Dua orang yang bekerja di lahan yang sama dengan intensitas penyadapan yang sama belum tentu hasilnya sama. Di sinilah pentingnya mempelajari ‘seni’ penyadapan yang benar tidak asal menggarukkan pisau ke kulit batang karet. Penyadapan terlalu dalam akan merusak kambium akibatnya kulit sulit untuk bisa pulih. Sedangkan penyadapan terlalu tipis getah tak mau keluar. Nah, butuh ilmu juga, kan?
Inilah sekelumit gambaran aktivitas harian saudara-saudara kita yang tinggal di perantauan bekerja sebagai buruh sadap karet. Usaha apa pun asal halal tentu akan menghasilkan keberkahan dalam kehidupan. Yang terpenting adalah tetap berikhtiar dengan cara-cara yang halal, bekerja dengan sungguh-sungguh, ulet, disiplin dan bertanggung jawab. Ada pun hasil, Alloh yang akan membagi dan menentukan untuk kita.
Di tulisan mendatang in sya Alloh akan saya kupas bagaimana kondisi sosial masyarakat Mintobasuki yang ada di sini.
0 komentar:
Posting Komentar