Malam ini surau (langgar) kami begitu ramai bagaikan pasar malam pindah. Bocah-bocah bersarung dan berpeci hitam tak ketinggalan turut membuat riuh suasana. Bapak-bapak dan ibu-ibu serta simbah-simbah juga turut tumpah ruah di situ, padahal hari-hari biasanya mereka tak pernah ke sini. Bahkan sebagian harus sholat di halaman depan surau karena ruangan sudah tidak muat.
Inilah surau kami yang sederhana. Letaknya di halaman depan rumah mbah Wakidin, bapaknya guru ngaji kami, Pak Sukarman, seorang Muhamadiyyah. Di tempat itu sekarang berdiri Mushalla Utsman bin Affan, dukuh Kulonan RT 01/ RW 02. Surau kami tidaklah besar. Hanya berukuran sekitar 5 x 7 M. Dindingnya dari kepang (anyaman bambu). Tiang-tiangnya juga dari bambu. Atapnya genting biasa yang kadang bocor kala hujan turun. Alasnya dari sak yang dijahit dan dijadikan gelaran, kami yang kadang mencucinya di sungai kalau sudah kelihatan kotor. Dindingnya dicat dengan batu kapur putih agar nampak terang dengan sedikit penerangan. Atapnya berbentuk limasan.Tempat wudhu’nya adalah padasan. Kalau musim kemarau tiba dan sumur kering kami harus mengisi padasan secara bergilir agar kami bisa wudhu’. Ambil airnya dari sungai yang jaraknya sekitar 200m dari surau kami. Kadang seminggu bisa dua kali.
Surau ini adalah tempat istimewa kami, bukan cuma tempat ngaji tapi juga tempat bermain bersama teman-teman sebaya. Masa itu kami belum kenal chanel-chanel TV, juga belum kenal gadget dan smart Phone, apalagi internet. Jadi, semuanya masih alami.
Malam ini sebuah lampu petromak tergantung di tengah ruangan. Biasanya hanya lampu minyak tanah yang menerangi ruangan ini. Ini adalah lampu penerangan terbaik di zamannya. Terang sekali bagi kami lampu ini. Lampu ini hanya dipakai buat penerangan di acara-acara tertentu yang dianggap penting dan istimewa. Kalau tekanan ditangki minyak tanahnya menurun lampu pun meredup dan harus dipompa ulang. Mungkin anak sekarang tak pernah tahu kalau lampu kuno itu dulunya sangat ‘fantastic’. Listrik dari PLN belum masuk. Hanya tiang-tiangnya yang terpancang di pusat desa.
Ya, malam ini adalah malam istimewa, malam 1 Ramadhan. Malam ini kami akan melaksanakan sholat tarawih berjamaah. Pak Sukarman Imam sekaligus guru ngaji kami. Sehabis Isya’ ada sedikit tausiyah yang beliau sampaikan. Temanya standar, tentang ramadhan dan pernik-perniknya. Baru kemudian sholat tarawih pun dilaksanakan. Sebagai orang Muhammadiyyah, kami pun diimami dengan 11 rekaat saja termasuk witir, tapi lamanya seperti sholat yang 23 rekaat bahkan lebih lama. Lama bukan karena membaca surat al-Baqarah atau Ali Imron, tapi sujud dan rukuknya ini yang lama. Ya, kadang kami juga merasa bosan dengan lamanya sholat. Dari pengeras suara, di musholla-musholla lain terdengar sudah pada tadarusan. Sedangkan kami masih sholat tarawih. Kata teman-temanku di sekolah, sholat di masjid desa sangatlah menyenangkan, sholatnya cepat, jadi nggak capek. Apalagi kalau imamnya pak ini dan pak itu, wow bisa kilat. Aku pun kadang berfikir sebatas naluri kebocahannku, kenapa sholatnya mesti lama seperti ini, kenapa tidak dipercepat seperti di masjid-masjid sana, 23 rekaat paling lama 20 menit. Kan asyik… Namun, seiring berlalunya waktu dan bertambahnya pengetahuanku, memang seperti itulah mestinya sholat yang betul. Ada tumakninahnya. Sekarang sudah tidak akan ditemukan lagi di sini sholat tarawih sebagus itu. Andai ada, aku pasti akan setia menjadi makmumnya. Sholat bukan diukur dari kuantitasnya, tapi dari kualistasnya.
Selepas sholat tarawih, ada satu acara yang selalu kami tunggu-tunggu, ada pembagian makanan di sini. Maklumlah, kami masih bocah. Kadang pisang goreng, roti, lemper, pisang atau apalah. Yang bawa adalah para jamaahnya, secara bergantian tiap malamnya. Karena sering rebutan, kadang kami pun kena marah dari orang-orang tua.
Terkadang kami tidak pulang dan tidur di surau sampai menjelang makan sahur. Atau kadang kami bersama teman-teman lainnya keliling kampung sambil ‘tongtek’an membangunkan orang-orang agar tidak telat masak atau sahur.
Inilah Ramadhan kami, bulan yang sangat kami nanti-nanti. Kami menantikan ramadhan bukan karena kemuliannya akan tetapi karena ada nuansa yang berbeda di bulan suci ini. Maklum, usiaku saat itu mungkin baru sepuluhan tahun.
Inilah sedikit cuplikan Ramadhan di masa lalu…