Nuansa Ramadhan 1990-an Mintobasuki Gabus Pati…
Malam
ini surau (langgar) kami begitu ramai bagaikan pasar malam pindah.
Bocah-bocah bersarung dan berpeci hitam tak ketinggalan turut membuat
riuh suasana. Bapak-bapak dan ibu-ibu serta simbah-simbah juga turut
tumpah ruah di situ, padahal hari-hari biasanya mereka tak pernah ke
sini. Bahkan sebagian harus sholat di halaman depan surau karena ruangan
sudah tidak muat.
Inilah surau kami yang sederhana. Letaknya di halaman depan rumah
mbah Wakidin, bapaknya guru ngaji kami, Pak Sukarman, seorang
Muhamadiyyah. Di tempat itu sekarang berdiri Mushalla Utsman bin Affan,
dukuh Kulonan RT 01/ RW 02. Surau kami tidaklah besar. Hanya berukuran
sekitar 5 x 7 M. Dindingnya dari kepang (anyaman bambu). Tiang-tiangnya
juga dari bambu. Atapnya genting biasa yang kadang bocor kala hujan
turun. Alasnya dari sak yang dijahit dan dijadikan gelaran, kami yang
kadang mencucinya di sungai kalau sudah kelihatan kotor. Dindingnya
dicat dengan batu kapur putih agar nampak terang dengan sedikit
penerangan. Atapnya berbentuk limasan.Tempat wudhu’nya adalah padasan.
Kalau musim kemarau tiba dan sumur kering kami harus mengisi padasan
secara bergilir agar kami bisa wudhu’. Ambil airnya dari sungai yang
jaraknya sekitar 200m dari surau kami. Kadang seminggu bisa dua kali.
Surau ini adalah tempat istimewa kami, bukan cuma tempat ngaji tapi
juga tempat bermain bersama teman-teman sebaya. Masa itu kami belum
kenal chanel-chanel TV, juga belum kenal gadget dan smart Phone, apalagi
internet. Jadi, semuanya masih alami.
Malam ini sebuah lampu petromak tergantung di tengah ruangan.
Biasanya hanya lampu minyak tanah yang menerangi ruangan ini. Ini adalah
lampu penerangan terbaik di zamannya. Terang sekali bagi kami lampu
ini. Lampu ini hanya dipakai buat penerangan di acara-acara tertentu
yang dianggap penting dan istimewa. Kalau tekanan ditangki minyak
tanahnya menurun lampu pun meredup dan harus dipompa ulang. Mungkin anak
sekarang tak pernah tahu kalau lampu kuno itu dulunya sangat
‘fantastic’. Listrik dari PLN belum masuk. Hanya tiang-tiangnya yang
terpancang di pusat desa.
Ya, malam ini adalah malam istimewa, malam 1 Ramadhan. Malam ini kami
akan melaksanakan sholat tarawih berjamaah. Pak Sukarman Imam sekaligus
guru ngaji kami. Sehabis Isya’ ada sedikit tausiyah yang beliau
sampaikan. Temanya standar, tentang ramadhan dan pernik-perniknya. Baru
kemudian sholat tarawih pun dilaksanakan. Sebagai orang Muhammadiyyah,
kami pun diimami dengan 11 rekaat saja termasuk witir, tapi lamanya
seperti sholat yang 23 rekaat bahkan lebih lama. Lama bukan karena
membaca surat al-Baqarah atau Ali Imron, tapi sujud dan rukuknya ini
yang lama. Ya, kadang kami juga merasa bosan dengan lamanya sholat. Dari
pengeras suara, di musholla-musholla lain terdengar sudah pada
tadarusan. Sedangkan kami masih sholat tarawih. Kata teman-temanku di
sekolah, sholat di masjid desa sangatlah menyenangkan, sholatnya cepat,
jadi nggak capek. Apalagi kalau imamnya pak ini dan pak itu, wow bisa
kilat. Aku pun kadang berfikir sebatas naluri kebocahannku, kenapa
sholatnya mesti lama seperti ini, kenapa tidak dipercepat seperti di
masjid-masjid sana, 23 rekaat paling lama 20 menit. Kan asyik… Namun,
seiring berlalunya waktu dan bertambahnya pengetahuanku, memang seperti
itulah mestinya sholat yang betul. Ada tumakninahnya. Sekarang sudah
tidak akan ditemukan lagi di sini sholat tarawih sebagus itu. Andai ada,
aku pasti akan setia menjadi makmumnya. Sholat bukan diukur dari
kuantitasnya, tapi dari kualistasnya.
Selepas sholat tarawih, ada satu acara yang selalu kami
tunggu-tunggu, ada pembagian makanan di sini. Maklumlah, kami masih
bocah. Kadang pisang goreng, roti, lemper, pisang atau apalah. Yang bawa
adalah para jamaahnya, secara bergantian tiap malamnya. Karena sering
rebutan, kadang kami pun kena marah dari orang-orang tua.
Terkadang kami tidak pulang dan tidur di surau sampai menjelang makan
sahur. Atau kadang kami bersama teman-teman lainnya keliling kampung
sambil ‘tongtek’an membangunkan orang-orang agar tidak telat masak atau
sahur.
Inilah Ramadhan kami, bulan yang sangat kami nanti-nanti. Kami
menantikan ramadhan bukan karena kemuliannya akan tetapi karena ada
nuansa yang berbeda di bulan suci ini. Maklum, usiaku saat itu mungkin
baru sepuluhan tahun.
Inilah sedikit cuplikan Ramadhan di masa lalu…
0 komentar:
Posting Komentar