*** SELAMAT DATANG *** Ini adalah blog pribadi yang dikelola secara independen oleh Netter desa Mintobasuki kec. Gabus kab. Pati. Blog Mintobasuki Gabus Pati bukanlah blog resmi pemerintahan desa Mintobasuki. Blog ini tidak ada hubungan dalam bentuk apa pun dengan organisasi, kelompok dan kepentingan tertentu di desa Mintobasuki. Artikel-artikel yang disajikan adalah tulisan lepas yang berisi uneg-uneg, ide, pemikiran, opini pribadi penulis dan pernik-pernik terkait desa Mintobasuki.

Area Persawahan di sebelah timur Desa Mintobasuki

Lahan pertanian yang cukup luas membentang di bagian timur desa. Hasil pertanian yang dihasilkan antara lain padi, jagung, kacang-kacangan dan beraneka ragam sayuran.

Kali Tambak untuk sarana irigasi pertanian

Sungai kecil yang membujur di sebelah timur desa yang berhulu di Sungai Silugonggo memiliki arti penting sebagai sarana irigasi.

Pesona desa Mintobasuki

Nuansa alam desa yang nyaman, udara yang segar, pemandangan yang indah menjadikan desa Mintobasuki kian anggun dan menyimpan pesona tersendiri.

Sektor pertanian yang perlu dikembangkan

Mintobasuki memiliki lahan pertanian sekitar 90 Hektar terdiri atas lahan basah dan kering. Oleh karenanya perlu ada upaya yang matang untuk mengembangkan sektor ini. Selain itu, pertanian menjadi mata pencaharian sebagian besar warga Mintobasuki sampai saat ini.

Sarana peribadahan yang cukup memadai

Desa Mintobasuki memiliki 5 Musholla dan 1 Masjid Agung Al-Amin yang saat ini dalam tahap pembangunan. Dengan adanya sarana penunjang yang cukup memadai ini diharapkan mampu mengakomodir kebutuhan warga dalam beribadah.

Pertanian merupakan mata pencaharian mayoritas warga

Sektor pertanian tetap menjadi mata pencaharian dan primadona bagi masyarakat desa Mintobasuki, meski dengan seiring bertambahnya waktu, profesi dan mata pencaharian warga kian heterogen.

Sektor Perikanan di Mintobasuki

Sungai Silugonggo yang bermuara ke laut utara ternyata memberi berkah tersendiri bagi warga Mintobasuki. Hasil tangkapan ikannya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warga yang berprofesi sebagai nelayan.

Senin, 25 Mei 2015

Kemarau Tiba, Petani Mintobasuki Kekurangan Air untuk Irigasi Pertanian


wpid-2015524161418.jpg
Warga tani Koripan Sampi, Mintobasuki
sedang mengairi lahannya dengan menyedot air dari hilir
dan ditampung ke hulu, kemudian dialirkan ke lahan
pertaniannya.

Musim kemarau seringkali menjadikan kali Tambak mengering. Padahal keberadaan kali Tambak ini sangat penting untuk pengairan lahan pertanian di sekitarnya. Panen padi yang diperkirakan bisa terlaksana akhir bulan ini nyaris gagal karena kurang air. Segala upaya telah diusahakan warga tani agar lahan mereka tetap bisa teraliri air.

Siang itu petani dari dukuh Koripan Sampi desa Mintobasuki bergotong royong memperbaiki aliran air di kali Tambak. Mereka membuat alur air di sepanjang dasar sungai yang mulai mengering selebar sekitar 40cm. Alur air ini diharapkan bisa teraliri air sungai Silugonggo jika terjadi pasang naik (Rob) sehingga bisa dimanfaatkan untuk irigasi. Sejak beberapa hari lalu saluran air yang ada di bendungan Etan Omah juga sudah diperbaiki. Sumbatan-sumbatannya dari runtuhan tanggul penahan air sudah dikeruk dan dinaikkan dari aliran air. Harapannya jika air sungai pasang bisa naik sampai ke hulu kali Tambak.

Berikut ini foto dam air di sawah Etan Omah yang kondisinya telah mengalami kerusakan di beberapa bagian.
wpid-2015524060920.jpg wpid-2015524060550.jpg
Usaha mereka tak sia-sia. Air pasang yang cukup tinggi dari sungai Silugonggo masuk sampai ke alur air yang mereka buat. Ada belasan mesin pompa air yang beroperasi sepanjang aliran kali Tambak. Meski air pasang hanya dalam hitungan jam, tapi cukup untuk menyirami tanaman padi mereka yang sudah mulai berisi. Namun masalahnya Rob ini hanya terjadi dua kali dalam sebulan dalam rentang waktu persiklusnya sekitar 4 hari. Dan dalam rentang waktu 4 hari ini pun selalu berubah-ubah waktunya dan berubah-ubah debit air yang mengalir.
wpid-2015523150201.jpg
Warga sedang mengairi lahannya
dengan menggunakan mesin pompa air
di kali Tambak.

 Bagi warga tani yang lahannya berada dekat dengan muara kali Tambak memang tidak terlalu risau dengan urusan air karena air sungai lumayan melimpah, beda dengan lahan yang berada di hulu yang harus menanti datangnya Rob (pasang naik). Terkadang air tidak bisa naik sampai ke hulu karena sudah habis disedot oleh mereka yang berada dekat muara sungai, terlebih jika pasang naiknya kecil. Permasalahan ini yang kadang menimbulkan gesekan dan percekcokan sesama petani. Petani yang berada di hulu kali Tambak kadang harus merugi karena hasil panen tidak sesuai yang diharapkan karena adanya permasalahan pengairan ini.

Perlu ada upaya untuk mengatasi krisis pengairan ini. Mengingat kasus ini adalah hal yang lazim terjadi setiap tahunnya. Jika tidak segera ditemukan pemecahannya petanilah yang sering menderita kerugian. Bagaimana tidak, panen yang sudah terlihat di depan mata harus gagal karena kurang air. Atau, seandainya air tersedia mereka juga perlu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit karena mereka menggunakan mesin pompa untuk irigasi tersebut yang berimbas pada tingginya biaya pemakaian BBM. Di daerah lain, krisis air lebih parah lagi. Untuk mengairi lahan pertaniannya mereka harus beli air tangki yang harganya berkisar Rp90.000 – Rp100.000. Jika ini terjadi sampai musim panen tiba, bisa diperhitungkan berapa biaya yang mesti di keluarkan. Bisa jadi mereka justru merugi.

Harapannya ada perbaikan infrastruktur pertanian di desa Mintobasuki. Bagaimana pun juga sektor pertanian masih menjadi tumpuan harapan bagi sebagian besar warga Mintobasuki.  Dengan adanya perbaikan infrastruktur di sektor pertanian ini diharapkan bisa mengangkat taraf hidup warga tani Mintobasuki secara khusus dan warga tani di sekitar Mintobasuki secara umum. Masih banyak kendala-kendala yang butuh pemecahan yang serius yang perlu melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Jumat, 22 Mei 2015

Sebuah Catatan: Mintobasuki Tempo Dulu – Bag 3

SD Mintobasuki 01, 1987…
wpid-2015524062324.jpg
SD Mintobasuki 01 yang tidak terurus karena
sudah tidak lagi difungsikan sejak 4 tahun yang lalu.

Suasana halaman sekolah itu mendadak hening. Semuanya menundukkan kepala. Ada yang memejamkan mata pura-pura khusyu’, ada yang injak-injakkan kaki sambil cekikikan tertahan. Sayup-sayup terdengar lagu mengheningkan cipta yang dinyanyikan paduan suara bocah-bocah berseragam putih merah itu dengan dipimpin sang dirigen. Terkadang blero, dan terkadang fals. Maklum, anak-anak SD, yang penting nyanyi, tak merdu tak masalah.

Hari ini hari Senin, seperti biasa SD Mintobasuki 01 mengadakan upacara bendera. Murid-murid berbaris menghadap Selatan. Dimulai dari siswa kelas 1 di sebelah paling kiri, Timur. Kemudian kelas 2, kelas 3, kelas 4 dan kelas 6. Kelas 5 menjadi petugas upacara. Ada yang menjadi pemimpin upacara, protokol, pengibar bendera, pembaca do’a, pembawa teks Pancasila dan koor paduan suara. Ada sekitar 130an siswa dari semua kelas. Pemimpin upacaranya Pak Lasiman Hadimarjoko alm, beliau guru dari desa Banjarsari sekaligus kepala sekolah di sini. Staf guru berdiri di sebelah selatan halaman menghadap utara, berhadapan dengan barisan siswa. Guru pengajar kala itu ada Bu Sunami, Bu Mayawati, Bu Siti Muayanah, Bu Kotrini, Pak Supri (Suami Bu Siti Muayyanah)Pak Sularto (guru olah raga), Pak Ikhwan Idris (guru agama) dan Pak Joko Suprapto, guru paling favorit kala itu yang selalu berada dibarisan belakang murid-murid tiap kali upacara bendera untuk mengawasi anak-anak yang ramai. Penjaga sekolahnya Pak Siman (Sekdes desa saat ini).

Inilah hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang selama sebulan. Ada siswa-siswa baru kelas satu yang masih malu-malu dengan guru barunya. Pak Joko Suprapto duduk di depan kelas, membuka absensi dan mulai mengabsen anak-anak baru itu. Jaryanto, Sumardi, Narto, Gunari, Karyanto, Lasmin, Suhardi, Selamet, Sutiyono, Wahyudi, Sutarman, Sri Putriningsih, Sundari, Kusmiati, Leginah, Suwarni, Surati, Sumarsih, Rubiati, Darmi, dan beberapa nama lainnya yang sudah tidak aku ingat lagi. Pak Joko, beliau guru favorit kami saat itu -dan mungkin juga sampai sekarang- , beliau dikenal ramah, jarang sekali marah, bisa membuat anak-anak nyaman belajar, dan yang pasti pinter ndongeng. Kami tak pernah bosan mendengarkan dongeng-dongengnya di sela-sela pelajaran untuk menghilangkan kebosanan. Tak heran bila kelas yang diampu beliau rasanya seperti ‘ketiban pulung’ alias dapat anugerah.

Tapi, ada juga guru yang killer -nggak usah disebutin namanya-. Paling ditakuti anak-anak. Dengar namanya saja anak-anak sudah mengkeret kayak karet. Suasana kelas selalu mencekam, apalagi kalau pelajaran matematika. Maklum, anak-anak yang  nakal dan nggak mudengan terkadang membuat tensi naik. Ada anak-anak yang dimarahi sampai pingsan. Bukan cuma sekali. Ada yang orang tuanya nggak terima anaknya dijeweri sampai ‘nglarak’ ke sekolahan sambil marah-marah. Yah…namanya juga anak-anak. Dan guru juga manusia. Kesabaran kadang juga ada habisnya. Terkadang persoalan rumah tangga yang belum terselesaikan bisa mencari pelampiasan jika terbawa ke ruang kelas.
Inilah sekolah kami. Inilah tempat kami belajar dan bermain. Banyak kisah dan cerita yang terukir di sini. Masa-masa tanpa beban, masa dimana beban terberat adalah PR Matematika.
Kala itu, sekolah tanpa bersepatu adalah hal yang biasa. Bahkan yang punya sepatu pun lebih suka nyeker. Mungkin bocah-bocah kampung itu tidak biasa pakai sepatu yang bikin kaki ‘sumuk’ dan berkeringat itu. Ada pula yang pakai sepatu dengan kaus kaki yang dicuci entah berapa bulan sekali, warna putihnya sampai berwarna kecoklatan dilapisi debu.

Kami bagaikan bocah-bocah yang tak terurus. Kebanyakan orang tua kami adalah pekerja perantauan. Dan kami dititipkan ke kakek-nenek. Maklum kalau kurang perawatan dan kurang gizi. Bisa makan pakai tempe tahu atau telur itu sudah istimewa. Kaum marjinal seperti saya dibuatkan sambel goreng yang asinnya minta ampun saja sudah cukup. Bisa dipakai nemenin nasi dua atau tiga hari. Kalau lagi panen jagung, sarapan pagi pun cukup jagung rebus. Atau brabuk (nasi jagung), yang kalau nggak tahan bisa langsung mencret.

Baju seragam pun seminggu sekali dicuci di kali. Kumal itu sudah pasti. Seterika belum dikenal, hanya seterika ‘bahan bakar’ arang yang ada. Itu pun kalangan khos yang pakai. Mandi pagi adalah hal yang istimewa, apalagi gosok gigi, cukup cuci muka tak perlu pakai sabun, pakai baju lalu berangkat ke sekolah. Kulit kaki dan tangan bersisik. Kelihatan putih-putih seperti dicoret kapur kalau digaruk. Biar nggak kelihatan terlalu bersisik biasanya diolesi minyak goreng bekas lalu diratakan di lengan dan di kaki. Kelihatan mengkilap. Begitu saja sudah cukup bergaya-gaya. Teman-teman menyebutnya minyak Jenplin alias ‘Jelantah Pindang’. Celakanya, kalau kena debu langsung menempel dan berkerak di kulit. Rambut cukup diolesi minyak kemiri. Lalu disisir.
Beberapa teman sempat gatal-gatal kudisan, bahkan ada yang sekujur tubuh. Menimbulkan bau amis yang bikin mual. Menyisakan bekas-bekas yang tak sedap dipandang meski sudah sembuh. Produk shampo belumlah menjamur seperti saat ini. Hanya ada shampo tanpa merk. Entah apa namanya orang menyebut, aku sudah lupa. Rambut gimbal penuh kutu, bahkan ada yang sampai menimbulkan koreng di kepala.

Yah, itulah masa-masa kecil di sekolah. Selalu indah untuk dikenang meski kadang ‘ngenes’ menjalaninya. Ada kisah-kisah jenaka, meski ada juga cerita sedih dan keprihatinan.
Sejak empat tahun ini SD Mintobasuki 01 sudah tidak lagi difungsikan karena kekurangan siswa. Semua siswa dijadikan satu di SD Mintobasuki 02. Akibatnya bangunannya menjadi kotor dan tak terurus sebagaimana yang ada di foto ini. Banyak tanaman-tanaman liar dan rumput-rumputan yang meninggi di halamannya. Ruangannya sudah banyak rumah laba-laba. Beberapa kaca jendelanya bahkan pecah.
wpid-2015524062324.jpg wpid-2015524062330.jpg wpid-2015524062338.jpg wpid-2015524062414.jpg

Oke, ini dulu kisah kami waktu di SD Mintobasuki 01. In sya Alloh, ada kisah lain di tempat yang lain.

Kamis, 21 Mei 2015

Sebuah Catatan: Mintobasuki Tempo Dulu – Bag 2

Mintobasuki, sekitar 1995an…
wpid-20141102162728.jpgSiang itu terik matahari benar-benar terasa membakar bumi. Tak ada setangkai awan pun di langit sana. Hanya ada warna biru tua yang menghampar dari ufuk ke ufuk. Sang surya seolah sedang memamerkan keperkasaannya kepada penghuni bumi. Hembusan angin menerbangkan debu-debu jalanan tak tentu arah. Mengotori dinding-dinding, pintu-pintu dan jendela-jendela. Pepohonan meranggas kekurangan air seperti kayu lapuk yang sudah mati. Daun-daun menguning, lalu mengering dan berguguran. Rerumputan pun kering kecoklatan terpapar panas matahari. Menjadi hari-hari berat bagi perumput. Petak-petak persawahan menjadi hamparan tanah tanpa tanaman. Sejauh mata memandang, bumi seolah gersang, kering kerontang. Ya, kemarau panjang belum juga berakhir.

Seorang gadis kecil duduk di teras depan rumah joglo yang menghadap ke selatan itu. Ia sengaja agak menepi, menghindari kerumunan orang-orang dewasa yang sedang antri untuk mendapatkan air. Sebuah ember air telah ia siapkan dari rumah. Sebagaimana mereka, gadis kecil 10an tahun ini pun sedang menunggu antriannya. Rumahnya tidak jauh, hanya di seberang jalan sana, tak lebih 20m dari sini.  Inilah tugasnya tiap pulang dari sekolah, ‘ngangsu’ (ambil air) dari tetangga sebelah yang sumurnya masih keluar airnya. Genuk-genuk wadah air yang telah kosong harus dipenuhi hari ini. Untuk masak, minum, mandi, dan kebutuhan lainnya.

Bergantian mereka meng-engkol tuas pompa sumur bor itu. Sejak siang tadi nyaris sumur bor ini tak berhenti berderit-derit. Menghisap air dari perut bumi untuk dimuntahkan di ember-ember dan galon-galon yang berjejer di depannya. Ini adalah sumur satu-satunya yang masih mengeluarkan air di sini. Rata-rata sumur ‘selonthong’ telah mengering karena kemarau panjang tahun ini. Andai pun ada airnya tak seberapa. Bukan hanya warga Koripan sampi saja yang antri, tapi juga warga dari dukuh-dukuh lain di luar Koripan Sampi Mintobasuki.

Pemandangan seperti ini adalah hal biasa saat kemarau panjang melanda dan persediaan air menipis. Untuk mendapatkan air mereka harus rela menempuh perjalanan ke kampung-kampung lain yang masih ada sumber-sumber air. Mereka yang datang kesini berombongan dengan sepeda onthel dan galon terikat karet ban dibelakangnya. Terkadang harus datang ke sini dua atau tiga kali sesuai kebutuhan.

Kala itu sumur bor dengan pompa listrik belum dikenal, paling bagus dengan pompa manual yang sering rusak karena seringnysa dipakai. Kadang sealnya jebol, klepnya rusak atau tuasnya patah. Maklumlah, di musim kemarau seperti ini hampir sumur yang ada airnya selalu menjadi serbuan ‘umat manusia’. Hampir tidak ada tenggangnya. Seharian bisa dipakai non stop.

Di tempat lain yang jaraknya sekitar 2 km dari tempat ini. Tiga bocah kecil tengah mendayung perahu kayunya di sungai Silugonggo. Mereka membawa ember-ember air yang telah disiapkan. Angin utara yang bertiup cukup deras ke arah selatan menjadikan panas terik siang itu agak terkurangi, namun membuat kewalahan mereka karena harus menerobos angin yang berlawanan arah. Perahu itu melaju menuju utara, membelah ombak-ombak kecil air sungai yang sudah berasa asin, menyisakan riak-riak berbuih di belakangnya. Sungai ini sudah tak sejernih seperti beberapa waktu lalu. Warnanya sekarang menjadi coklat tua pertanda kadar garamnya tinggi. Memang seperti inilah sungai Silugonggo jika kemarau panjang tiba.

Perahu itu terus melaju hingga sampai ke persawahan Sebrang Lor, menyusuri aliran sungai yang berjarak sekitar 500an meter. Disebut ‘Sebrang Lor’ karena letaknya yang berada di selah utara (Lor) desa Mintobasuki, dibatasi sungai Silugonggo. Untuk mencapai daerah itu harus menyebrangi sungai dengan perahu atau berenang. Dari situlah tempat ini disebut Sebrang Lor atau Branglor. Daerah ini tidak termasuk wilayah Mintobasuki tapi masuk wilayah desa Mustoko Harja dan desa Dengkek, Pati. Tapi -kala itu- banyak juga warga Mintobasuki Kulonan yang bekerja sebagai petani penggarap di sana.

Sungai Silugonggo punya arti penting bagi penduduk sekitar. Mereka memanfaatkan air sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dari masak, minum, mandi dan cuci. Namun kemarau panjang telah menjadikan air sungai asin karena air laut masuk ke sungai dari muara. Dan hal ini bisa berlangsung lama, sampai kemarau berakhir dan musim penghujan tiba.

Lalu, mau kemana bocah-bocah itu? Ternyata, mereka tidak sendirian. Di seberang sana banyak juga perahu-perahu yang sudah ditambatkan di tepian sungai. Ada anak-anak sebaya mereka juga ada orang dewasa. Mereka sebenarnya mau mencari air tawar untuk dibawa pulang. Di tepian sungai itu ada belik-belik (sumur-sumur kecil) yang sengaja dibuat untuk menampung rembesan air sawah di atasnya. Sawah-sawah itu tidak pernah kering sepanjang tahun karena sistem irigasi yang memadai. Sisa-sisa air sawah inilah yang mereka manfaatkan untuk keperluan sehari-hari.

Mereka belum pulang sebelum wadah-wadah air yang mereka bawa penuh terisi air. Terkadang air di belik itu habis sebelum ember-ember air yang mereka bawa penuh. Harus menunggu belik-belik itu terisi air lagi. Tapi jika beruntung, air bisa saja melimpah dan mereka bisa mengisi perahu mereka dengan air belik itu. Biasanya sebelum senja mereka sudah sampai rumah. Dan besok siang mereka harus ada di sini lagi, ‘ngangsu’ lagi.

Tentu saja air belik itu sangat tidak layak, selain keruh karena lumpur juga bercampur pupuk-pupuk dan pestisida dari sawah, atau bahkan pengotor-pengotor lainnya. Bisa menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan. Tapi, mereka tidak ada pilihan lain selain memanfaatkan belik-belik air itu.
Inilah sekilas gambaran perjuangan warga Mintobasuki untuk mendapatkan air bersih saat kemarau panjang melanda, sekitar 20an tahun yang lalu. Saat ini kita hidup di jaman yang serba mudah. Meski kemarau panjang, saat ini kita tidak perlu antri air kayak dulu. Sudah ada PAM SIMAS yang mensuplai kebutuhan air sepanjang tahun. Sudah banyak warga yang membuat sumur pompa sendiri, hampir setiap rumah ada. Bahkan, untuk kebutuhan minum sudah ada yang jualan air minum isi ulang keliling. Ada juga warga yang jualan air dari PDAM yang masuk ke kampung-kampung. Alhamdulillah…

Senin, 18 Mei 2015

Sebuah Catatan: Mintobasuki Tempo Dulu – Bag 1

Mintobasuki 1990…
wpid-2015510061748.jpg
Sungai Silugonggo

Musim kemarau telah tiba. Permukaan air sungai Silugonggo menurun karena tidak ada aliran air dari hulu yang turun menuju muara sebagaimana di musim penghujan. Bahkan pasang surut air laut turut berpengaruh terhadap pasang surut air sungai. Saat laut pasang, arus air laut masuk ke aliran sungai sehingga sungai pun ikut pasang dan air mengalir ke hulu. Dan jika air laut surut, air sungai pun surut dan kembali mengalir ke muara. Jadi, arah aliran air sungai sangat dipengaruhi pasang surut air laut jika kemarau tiba.
Pada saat peralihan dari pasang ke surut inilah para nelayan banyak memanfaatkannya untuk memasang jaring untuk menangkap ikan karena aliran air relatif lambat bahkan berhenti sama sekali. Nelayan tidak mungkin memasang jaringnya ketika arus sungai mengalir karena jaring-jaring yang mereka pasang bisa terseret arus. Banyak jenis ikan air tawar hasil tangkapan para nelayan, ada lundu, wering, kecel, jepet, nduri, lele, sampai benggel atau tageh, dll. Terkadang mereka jual jika hasilnya banyak, atau buat konsumsi sendiri jika hasilnya sedikit.

Saat kemarau panjang air sungai pun menjadi asin karena pengaruh pasang surut air laut tadi. Padahal kita tahu arti penting sungai Silugonggo bagi warga sekitar yang memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari. In sya Alloh akan ada tulisan tersendiri tentang bagaimana ‘perjuangan’ warga Mintobasuki untuk mendapatkan air tawar saat kemarau panjang melanda.
Sejenak, mari kita tengok tepian sungai Silugonggo yang berada di tepi barat desa Mintobasuki. Airnya cukup jernih dan alirannya cukup tenang.

Matahari mulai meninggi di pagi itu ketika tepian sungai Silugonggo riuh dengan suara bocah-bocah yang tengah asik mencari kerang. Liburan Minggu ini mereka punya acara spesial di ‘markas besar ‘. Sudah sejak beberapa hari yang lalu mereka membuat janji untuk hari ini, untuk mencari kerang di sungai, dimasak bareng-bareng dan dinikmati bareng-bareng. Ada belasan anak yang telah berkumpul dengan tugas masing-masing. Mencari kerang di sungai, mempersiapkan ranting-ranting kering untuk kayu bakar, dan menyediakan perlengkapan masak.  Canda tawa dan teriakan-teriakan kecil kadang terdengar memecahkan kesunyian tepian sungai yang airnya tenang itu.

Dengan sigap beberapa anak laki-laki yang jago renang terjun ke sungai dengan bertelanjang dada, menyelam sampai ke dasarnya. Mengeruk dasar sungai yang berlumpur dengan serok kecil dari jaring nylon tuk mengambil kerang-kerang itu. Tak selang beberapa lama mereka kembali menyembul ke permukaan dengan nafas terengah-engah. Lalu menepi, menyerahkan hasil ‘tangkapannya’ ke anak-anak perempuan yang menunggu di tepian dengan ember kecil untuk menampungnya. Berulang-ulang mereka menyelam ke dasar untuk mengumpulkan kerang-kerang itu.  Mata penyelam-penyelam kecil itu nampak memerah karena iritasi air sungai yang sudah mulai asin karena kemarau panjang tahun ini. Badannya pun sudah nampak ‘lumuten’ karena terlalu lama berendam di air. Setelah dirasa cukup mereka pun meninggalkan tepian sungai itu dan kembali ke markasnya.

Inilah markas besar mereka. Jaraknya sekitar 150an meter dari tepian Silugonggo. Berdiri di pekarangan belakang rumah sang ketua. Markas besar Elang Putih. Elang Putih sebuah nama yang diambilkan dari novel anak yang berjudul “Jago-jago Bandung Selatan”yang pernah ia baca dari perpustakaan sekolah. Sebuah novel yang menceritakan tentang persahabatan dan kebersamaan bocah-bocah Bandung Selatan dengan grup Elang Putihnya. Dikemas dengan bahasa yang lugas, santai dan penuh humor segar. Kisah ini yang menginspirasi mereka.

Markas ini mereka bangun bersama dengan tangan-tangan mungil mereka sendiri. Di bawah rerimbunan pohon-pohon bambu  yang lebat dengan hawa udara yang sejuk. Angin yang bertiup semilir menggoyangkan pucuk-pucuk bambu mengeluarkan suara gemerisik nyanyian alam. Sesekali terdengar derit batang-batang bambu yang saling bergesekan diterpa angin. Kicau burung-burung kecil bersahutan di ranting-rantingnya seolah sedang mengawasi belasan bocah yang sedang asyik bermain di bawahnya.

Sebuah gubug kecil, ukuran panjang dan lebarnya sekira 4m x 1,5m, dan tingginya sekira 1,5 m atau kurang dari itu, tiang-tiangnya dari bambu-bambu kecil, demikian pula penguat-penguatnya. Atapnya adalah kelaras (daun pisang yang telah mengering) yang mereka susun rapi. Demikian pula dindingnya juga dari kelaras yang telah dianyam sedemikian rupa. Berhari-hari bocah-bocah kecil itu membangun markas mereka bersama-sama sampai akhirnya jadi tempat berkumpul yang nyaman.
Di sinilah mereka sering berkumpul dan bermain bersama, terlebih jika liburan sekolah tiba. Terkadang mereka juga belajar kelompok di tempat ini sepulang sekolah. Nyaris tidak pernah sepi dari suara bocah-bocah kecil yang sedang asyik bermain. Canda riang dan gelak tawa mereka selalu menjadikan hidup tempat sunyi ini. Tak jarang mereka di teriaki warga karena bermain ‘tongtek’ dari kenthongan bambu dengan suara keras. Tapi dasar bocah, mereka tak pernah jera diomeli simbah-simbah yang merasa terganggu dengan suara ‘musik’ mereka.

Siang itu, saat matahari tepat di ubun-ubun hidangan kerang kuwek pun telah siap. Sebuah tungku kecil dari batu bata yang ditumpuk di depan gubug dengan sisa-sisa api yang masih menyala. Sebuah periuk kecil berisi kerang kuwek yang telah matang dengan hanya dibumbui garam dapur dan motto cap mobil. Aroma sedapnya membuat mereka harus menelan ludah sambil mengantri. Masing-masing telah siap dengan daun pisang di tangan sebagai piringnya. Seorang juru masak membagi-bagi jatah kepada mereka. Terkadang ada yang protes karena merasa pembagian tidak adil.
Ya, hari itu adalah hari yang indah bagi mereka. Liburan yang sangat menyenangkan. Kebersamaan, kekompakan, kerjasama, petualangan dan keakraban yang mewarnai persahabatan mereka.

Masa-masa indah bagi bocah-bocah itu. Bebas dan lepas tanpa beban. Dimana beban berat hanya PR matematika. Berbeda dengan bocah-bocah sekarang yang telah terampas ‘kemerdekaannya’ karena kurikulum yang padat. Pagi berangkat sekolah, pulang sekolah persiapan ngaji di TPQ, habis ngaji persiapan les Privat. Malam hari mengerjakan PR dari sekolah. TV dan tablet jadi teman bermainnya.
Kini anggota Elang Putih telah berpisah, masing-masing melalang buana ke berbagai penjuru sibuk dengan urusannya masing-masing. Semoga senantiasa diberikan kemudahan dan keberkahan dalam setiap urusan kita.

(Dari catatan 90-an)

Kamis, 14 Mei 2015

Masa Panen Kedua Telah Tiba


wpid-2015510062717.jpgSeperti biasa, ketika hari libur dan kebetulan di rumah bersama anak-anak, saya tak pernah melewatkan acara jalan-jalan pagi bersama mereka. Cukup naik motor berkeliling kampung. Melintasi persawahan yang mulai menguning. Melewati perkebunan tebu yang menghijau. Berkeliling dari Koripan, ke Karanganyar, Butoh, tembus ke Mintobasuki, lalu ke dukuh Lor-an (RW 01) lalu ke barat menuju dukuh Kulonan (RW 02), kadang mampir lihat sungai sebelum balik ke rumah. Liburan yang murah meriah tapi cukup membuat anak-anak puas. Sekalian memperkenalkan kepada mereka negeri kelahiran mereka, Negeri Mintobasuki, Gabus, Pati.
Di Dukuh Kulonan, terhampar persawahan dengan padi yang sudah mulai menguning, pertanda sebentar lagi siap panen. Para petani sibuk menghalau burung-burung emprit yang menyerbu dengan bergerombol ke bulir-bulir padi. Teriakan-teriakan nyaring saling bersahutan agar burung-burung lapar itu tidak menghampiri tanaman padi mereka. Serbuan burung emprit ini paling banyak di pagi hari dan di sore hari. Terkadang, para petani seharian tidak pulang demi menjaga tanaman mereka dari serbuan burung-burung tersebut. Capek…? Iya capek, akan tetapi akan segera terobati dengan panen padi yang sudah ada di depan mata.

wpid-2015510061922.jpg wpid-2015510061917.jpg
Ini adalah panen ke-2 disepanjang tahun 2015. Panen pertama adalah awal Maret lalu. Sempat di warnai kekhawatiran akan adanya banjir karena curah hujan yang cukup tinggi di awal April lalu. Namun ke khawatiran itu sudah hilang kini. Memang sempat terjadi banjir namun tidak terlalu berpengaruh dengan tanaman padi mereka. Beritanya di : Banjir Dadakan Melanda Mintobasuki.
Untuk RW 02 memang panen lebih awal karena musim tanamnya juga lebih awal dibanding dukuh lainnya, semisal Karanganyar yang baru ‘Mrapu’. Akhir Juni kemungkinan petani dukuh Koripan atau mungkin juga tengahan bisa memanen hasil padinya.

Saat ini sudah mulai memasuki musim kemarau. Curah hujan sudah rendah. Untuk pengairan lahan pertanian, warga tani menggunakan mesin pompa air yang tentunya menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk pembelian BBM-nya. Inilah yang butuh kita carikan solusinya, yaitu bagaimana ongkos untuk pengairan bisa ditekan agar mendapatkan hasil yang maksimal. Perlu adanya kerjasama antar warga tani untuk mengatasi masalah ini, misalnya dengan mengupayakan mesin diesel yang berbahan bakar solar dengan kemampuan yang cukup besar namun dengan cost yang bisa ditekan sebagaimana di desa-desa lain yang ada di tepian sungai Silugonggo. Dengan manajemen yang baik kemungkinan untuk bertanam padi sepanjang tahun adalah hal yang mungkin, tidak hanya 2 kali namun bisa 3 atau 4 kali panen, dengan syarat kondisi ideal. Tanpa banjir, misalnya.

Perlu diketahui bahwa luas lahan pertanian di dukuh Kulonan (RW 02) adalah sekitar 6.6 Ha, membentang di utara dan selatan dukuh Kulonan. Luasan ini cukup potensial jika kita mampu menanganinya dengan baik. Kendala yang dihadapi adalah masalah pengairan dan irigasi. Di sepanjang tepi barat dan utara dukuh ini berbatasan dengan Sungai Silugonggo yang tidak pernah mengering sepanjang tahun, dengan demikian kebutuhan akan air seharusnya bisa teratasi.
Kita buat saja perhitungan kasar hasil yang akan dicapai dengan luasan 6.6 Ha ini. Jika perhektar lahan mampu menghasilkan 4 ton beras (bukan gabah) maka dengan luasan 6.6 bisa menghasilkan 26.4 ton beras. Angka ini adalah angka paling rendah berdasarkan sample yang saya ambil dari pengalaman panen bulan Maret lalu. Kalau harga beras dipasaran saat ini -anggap saja- Rp 8.000; maka didapatkan angka Rp 211.200.000. Tentu ini belum perhitungan nett (bersih) karena di sana masih ada biaya pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, pengobatan, pengairan dll. yang cukup besar.

Dengan perbaikan sistem pertanian yang lebih baik kemungkinan hasil yang bisa dicapai juga lebih baik. Yah, semoga ada yang mikir ke sana.

Rabu, 13 Mei 2015

Membangun Karakter Dan Problematikanya

Membangun sesuatu itu butuh waktu dan kerja keras para ahlinya, sedangkan untuk menghancurkan sesuatu siapa pun bisa dan tak butuh waktu lama. Demikian pula membangun karakter yang baik, tidak bisa instan. Butuh proses yang lama dan berkesinambungan. Butuh mentor yang cakap dan berkompeten. Butuh kerja keras dan profesional. Membangun karakter lebih sulit dari pada membangun bangunan fisik karena karakter adalah sesuatu yang abstrak dan tidak nampak. Karakter adalah sesuatu yang tersembunyi pada diri seseorang namun berpengaruh pada perilaku yang nampak. Karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan yang terbentuk secara alamiah dalam diri seseorang melalui proses panjang yang dilaluinya. Lingkungan sosial, pendidikan, pengalaman pribadi, kebiasaan dll turut membentuk karakter seseorang. Karakter yang terbentuk merupakan endapan dari variabel-variabel tersebut. Oleh karenanya, inilah yang menjadi sebab betapa sulitnya memperbaiki sebuah karakter yang ada pada diri seseorang. Ketika sebuah karakter sudah melekat pada diri seseorang butuh waktu lama dan kerja keras untuk membersihkannya dari pengotornya.

Di sinilah pentingnya peran para pendidik yang tidak bisa diabaikan. Merekalah ujung tombak dalam memperbaiki karakter manusia. Pendidik yang saya maksudkan bukanlah mereka yang sekedar bisa mengajari anak yang buta huruf menjadi bisa membaca, atau mengajari anak yang tidak mengenal angka menjadi bisa berhitung. Namun, pendidik yang dimaksud adalah mereka yang bisa merubah sebuah karakter yang cenderung negatif (buruk) menjadi positif (baik) seperti jujur, bertanggungjawab, rendah hati, rasa empati, kemandirian, etos kerja, disiplin, religius, percaya diri, dll.

Ada sebuah keprihatinan mengenai arah pendidikan yang ada saat ini yang terkesan hanya memprioritaskan penguasaan aspek pengetahuan dan skill semata namun miskin dengan muatan yang bersifat perbaikan karakter dan kepribadian. Meski tidak bisa dikatakan seluruhnya, namun mayoritas adalah demikian. Kita lihat saja fakta dilapangan, berapa jam waktu yang diberikan untuk bahan ajar yang bermuatan pendidikan moral dengan bahan ajar pengetahuan umum. Akan sangat jauh sekali takarannya. Bahkan kegiatan ekstrakurikuler pun kebanyakannya untuk menambah jam pelajaran eksakta. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa ada kegiatan ekstrakurikuler yang diperuntukkan untuk non eksakta.

Pengaruh media juga menjadi faktor penting yang membentuk kepribadian seseorang, baik media cetak, elektronik maupun online. Tiap hari kita kebanjiran tayangan dan informasi mengenai gaya hidup, hiburan, kriminalitas, politik, dll yang terkadang tanpa kita sadari telah mengendap di alam bawah sadar kita dan turut mewarnai kepribadian kita. Padahal telah maklum kita ketahui bahwa media yang ada saat ini kebanyakannya adalah diperuntukkan untuk kepantingan bisnis atau politis tanpa memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkannya bagai masyarakat luas.

Lingkungan juga memberikan dampak bagi pembentukan karakter seseorang. Lingkungan terkecil adalah keluarga. Meski merupakan sel terkecil dalam sebuah komunitas namun keluarga mampu memberikan dampak yang besar bagi perkembangan karakter dan kepribadian seseorang. Terlebih seorang anak yang menjadikan guru pertamanya adalah kedua orang tuanya. Baik atau buruk perilaku kedua orang tuanya akan turut memberikan warna keteladanan bagi si anak sebelum si anak ini melangkah keluar ke lingkungan yang lebih luas. Oleh karenanya keteladanan dan penanaman nilai-nilai positif semestinya dimulai sejak awal dari lingkungan keluarga ini.

Karakter seseorang biasanya bisa dikenali dari teman bergaulnya karena umumnya seseorang akan merasa cocok dan nyaman bergaul dengan orang lain yang memiliki tabiat sama. Meski bukan sebuah kemestian namun kenyataan yang ada umunya demikian. Teman bergaul turut memberikan corak kepribadian seseorang. Sudah hal yang ma’ruf (diketahui) bahwa teman baik akan selalu mengajak kepada teman-teman lainnya untuk melakukan hal yang baik, sebagaimana teman yang buruk akan menarik teman-temannya kepada hal yang buruk. Oleh karenanya untuk membentuk sebuah karakter yang handal perlu kita menentukan siapa yang akan kita jadikan teman akrab kita. Akan tetapi ini bukanlah sebuah halangan bagi kita untuk bergaul dengan siapa pun. Namun jika kita khawatir ada pengaruh buruk dari seseorang sebaiknya kita hindari kecuali jika kita bisa mengajaknya kepada hal yang positif.

Pengalaman-pengalaman pribadi sepanjang perjalanan hidup yang dilalui seseorang inilah sangat memberikan corak karakter bagi seseorang.
Manusia merupakan agen pembangunan selain juga sebagai obyek pembangunan. Perbaikan pada diri manusia merupakan sesuatu yang urgen sebelum membangun sesuatu yang menjadi penunjang bagi kehidupan manusia. Jika hal ini dikesampingkan yang ada hanyalah manusia-manusia zombie yang justru lebih banyak melakukan perusakan daripada perbaikan.

Pendidik memiliki tanggung jawab yang besar dalam rangka pembentukan karakter dan kepribadian. Besarnya pengaruh-pengaruh negatif budaya luar sebagai dampak dari era keterbukaan informasi yang kebablasan turut menjadi beban tersendiri bagi para pendidik.
Para pendidik dituntut memiliki instrument lain dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik. Pengetahuan tentang kondisi psikologis, kemampuan penalaran berdasarkan tingkat pendidikan, pemahaman tentang latar belakang seseorang, keteladanan dan lain sebagainya perlu menjadi pertimbangan penting. Sehingga apa yang disampaikan tidaklah menjadi sesuatu yang tekstual, monoton, tidak komunikatif, terkesan hanya hitam putih, benar salah, halal haram, dsb yang justru menjemukan.

Perbaikan kepribadian seseorang tidaklah akan berhasil kecuali dilakukan secara kontinyu dan dengan kontrol pengawasan. Dan jika kita mau jujur, tidak ada pengawasan yang lebih baik melebihi keyakinan seseorang bahwa dirinya sedang diawasi Sang Maha Pencipta, Alloh -ta’ala-. Dengan keyakinan semacam ini, yang kemudian tertanam kuat-kuat di dada setiap insan akan menjadikan mereka kuat dalam memegang prinsip, selalu bersabar di atas kebenaran dan jalan yang benar karena dia berkeyakinan bahwa apa pun yang ia laukan hari ini akan dimintakan pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Dia selalu merasa di awasi dan dicatat gerak-geriknya selama 24 jam sehari tanpa terlewatkan. Setiap tarikan nafasnya akan dicatat sebagai kebaikan atau keburukan. Inilah sejatinya model perbaikan karakter dan kepribadian yang perlu diusahakan oleh setiap pendidik dengan mengembalikan mereka kepada fitrahnya yaitu Islam. Semakin dia menggali nilai-nilai Islam maka akan semakin kuat kepribadian baik tersebut tertanam di sanubarinya.
Allohu a’lam.

Senin, 11 Mei 2015

Mintobasuki Menolak Paham ISIS, Syiah, Liberal dan Komunis


wpid-2015510060052.jpgSaat ini di balai desa Mintobasuki terpampang spanduk bertuliskan “PANCASILA, UUD 1945 & NKRI HARGA MATI SELURUH WARGA MASYARAKAT DESA MINTOBASUKI MENYATAKAN MENOLAK PAHAM ISIS”. Spanduk ini merupakan bukti kepedulian dan kewaspadaan warga Mintobasuki terhadap munculnya berbagai paham dan sekte yang berpotensi mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akan tetapi, mungkin banyak pula warga Mintobasuki yang tidak kenal apa itu ISIS -yang sekarang sudah berubah jadi IS. ISIS (The Islamic State of Iraq and Syiria) atau Negara Islam Iraq dan Syiria adalah sebuah faksi bersenjata pecahan dari Al-Qaeda yang muncul pertama kali di Iraq dalam menghadapi penjajah Amerika di negara tersebut. ISIS pertama kali diproklamirkan bulan April 2014 dengan Abu Bakar AlBaghdady sebagai pemimpinnya. Faksi ini mengklaim bahwa ISIS lah negara Islam yang sah di Iraq dan Syiria dan mewajibkan setiap kelompok jihad yang ada di wilayah tersebut untuk bersatu dan mendukung ISIS dengan berbaiat kepada Abu Bakar AlBaghdady. Namun kelompok-kelompok jihad yang ada justru melakukan penolakan terhadap seruan tersebut.
Pada tanggal 29 Juni 2014 juru bicara ISIS mengumumkan bahwa ISIS telah berganti nama menjadi IS (Islamic State) atau negara Islam dengan Abu Bakar AlBaghdady sebagai khalifahnya. Dengan demikian seluruh kaum muslimin yang ada haruslah berbaiat (bersumpah setia untuk mendukungnya) kepada khalifah mereka dan meninggalkan ketaatan dan baiat kepada  kepala negara mereka masing-masing. Maklumat ini tentulah menimbulkan gesekan-gesekan dengan faksi jihad yang ada di wilayah Iraq dan Syiria karena mereka menganggap pembetukan negara Islam saat ini belumlah tepat mengingat kondisi perang yang masih berkecamuk dan tidak cukup konsolidasi antar faksi jihad yang ada. Penolakan ini menimbulkan konflik yang kian melebar.

ISIS mengkafirkan siapa pun yang tidak mau berbaiat kepada kelompok mereka dan berjihad bersamanya. Mereka membunuh kaum muslimin termasuk warga sipil yang tidak berdosa karena dianggap menentang khalifah dan murtad. Menurut mereka, membunuh kaum muslimin yang telah mereka anggap murtad dan kafir adalah lebih utama sebelum membunuh kaum kafir selainnya. Sehingga kita dapati mereka sangat keras permusuhannya terhadap kaum muslimin di luar jamaahnya. Bahkan wanita dan anak-anak tidak luput dari aksi biadab yang mereka lakukan.
Seringkali aksi-aksi kejam mereka dalam mengeksekusi dan membunuh kaum muslimin mereka rekam dan diunggah di Youtube untuk menimbulkan rasa takut dan teror di tengah-tengah kaum muslimin. Kekejaman dan kebrutalan mereka sangatlah dirasakan kaum muslimin di sana. Perilaku mereka sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka inilah yang cocok disebut kaum Khawarij yang banyak disebutkan oleh Rasululloh -shallallohu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits-haditsnya. Mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan kaum musyrikin dan kafirin.

Bagaimana di Indonesia? Indonesia adalah lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran yang ada, bahkan paham model ISIS pun ada juga simpatisannya. Paham ISIS/IS memang berbahaya dan perlu ada kontrol yang ketat untuk mengawasi pergerakan mereka. Namun kita tidak perlu khawatir karena jumlah mereka tidaklah banyak dan terus dipantau oleh pihak intel negara sehingga gerak-gerik mereka selalu terpantau.

Sebenarnya ada paham yang lebih berbahaya yang sedang berkembang di negara kita yaitu Syiah. Syiah merupakan sebuah sekte sesat yang mengaku pecinta Ahlul Bait Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- namun jika ditelisik lebih jauh mereka bukanlah pecinta Ahlul bait Nabi tapi pengikut Ahlul bait kekaisarana Persia. Mereka mengkafirkan seluruh shahabat Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Tujuan mereka adalah untuk menimbulkan keragua-raguan umat Islam terhadap agama mereka. Jika para shahabat yang merupakan para pembawa panji Islam dikafirkan maka apa pun yang mereka bawa adalah produk kekafiran yang harus ditinggalkan. Artinya al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi juga perlu diragukan karena yang menyampaikan adalah orang yang telah mereka kafirkan. Dan mereka -Syiah- memang telah mempunyai kitab suci tersendiri yang berbeda dengan Al-Qur’an.
Dan Syiah juga menganggap orang Islam di luar jamaahnya adalah kafir Nawashib yang halal dibunuh dan dialirkan darahnya. Doktrin ini telah tertulis dibuku-buku karya Imam-Imam mereka. Dan mereka telah mempraktekkan ajaran ini di negara-negara mayoritas Syiah seperti di Iran, SYiria, Iraq, Lebanon dan terakhir di Yaman. Mereka menghancurkan masjid-masjid kaum muslimin dan membunuhi mereka dengan cara-cara yang sangat biadab. Namun secara umum, syiah yang ada di dunia ini mendapat sokongan dari negara Iran yang merupakan negara Syiah di dunia.

Di Indonesia mereka bermain dengan sangat cantik. Dengan bertopengkan ajaran pecinta ahlul bait mereka menanamkan pengaruhnya di tengah-tengah kaum muslimin. Mereka membuat yayasan-yayasan, tempat-tempat pendidikan, tempat-tempat kesehatan dll. Mereka memiliki ajaran Taqiyyah yaitu menyembunyikan kesesatan Syiah mereka ketika bergaul dengan kaum muslimin sehingga banyak kaum muslimin yang terpedaya dan masuk ke lingkaran mereka tanpa sadar. Di saat mereka masih minoritas mereka menampakkan sikap santun dan baik akan tetapi ketika jumlah mereka mayoritas tak segan-segan untuk melakukan kudeta dan memberontak pemerintah yang sah.
Berdasarkan informasi dari salah seorang petinggi mereka yang telah bertaubat, Syiah telah merencanakan kudeta di Indonesia sekitar tahun 2020 mendatang -semoga Alloh memporak-porandakan makar mereka terhadap negeri kita ini-. Dan kabar ini bukanlah isapan jempol semata. Banyak tokoh-tokoh syiah yang telah dipersiapkan duduk di lembaga-lembaga penting negara, baik sipil maupun militer. Bahkan, ada sekitar 6.000 imigran gelap asal Afghanistan yang beragama Syiah yang telah dikirim ke Indonesia dan menyebar di beberapa kota. Mereka semuanya laki-laki dan berusia produktif. Bahkan, menurut data pengkaji Syiah di Indonesia telah terjadi sekitar 21 kali konflik antara umat Islam dan Syiah yang di antaranya telah menelan korban jiwa, sebagaimana di Sampang Madura. Terakhir kalinya adalah di Pondok Adz-Dzikra asuhan Ust Muhammad Arifin Ilham. Mereka memukuli penjaga masjid dan merusakkan pondok. Syiah inilah sebenarnya ancaman nyata bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini.

Di samping Syiah, ada juga paham Komunis yang setelah lengsernya Orde Baru mereka mulai menampakkan jati dirinya. Saat ini Komunisme bukan lagi dianggap bahaya laten yang mengancam kedaulatan NKRI. Bahkan, bahkan ada selebritis yang terang-tarangan mengenakan baju lambang ‘Palu Arit’ dan di ekspose di media masa tanpa merasa takut dan khawatir sebagaimana masa orde baru dulu. Sepak terjang mereka di pemerintahan pun kian terasa. Salah satu contohnya adalah penghapusan kolom agama di KTP yang ditengarai adanya ulah tangan komunis di belakngnya.
Tentang kekejaman paham komunis dengan partai PKI-nya tentu masih segar dalam ingatan kita. Bagaimana mereka menekan kehidupan beragama di negara kita saat itu. Mereka membunuh dan mengubur hidup-hidup para Kyai di Jawa Timur di tahun 1948 dan 1965. Puncaknya adalah kudeta mereka di tahun 1965 dengan gerakan G30S/PKI dengan penyiksaan dan pembunuhan para Jendral yang loyal dengan negara kesatuan Republik Indonesia dengan cara-cara yang bengis dan kejam di luar batas perikemanusiaan.

Dan masih ada satu lagi yang merupakan paham berbahaya, yaitu paham liberal. Mereka mengotak-atik agama Islam sekehendak mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa ajaran Islam saat ini tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan perlu direvisi. Gerakan mereka didukung oleh orang-orang yang ditokohkan. Mereka belajar filsafat Islam di negara-nagara kafir dengan membawa pemikiran-pemikiran yang merusak kemudian diimpor ke negara kita dan diajarkan di universitas-universitas berlabel Islam. Maka jangan heran jika ada mahasiswa yang setelah lulus kuliah di universitas Islam justru murtad dan tidak bertuhan.

Kaum liberalis banyak mendirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas untuk kaderisasi. Mereka juga banyak mencetak buku-buku dalam rangka menyebarkan paham leberal mereka. Pergerakan mereka sangatlah masif dengan didukung tokoh-tokoh mereka yang dianggap intelektual di kalangan orang awam. Bahkan tak sedikit tokoh mereka yang dijuluki cendekiawan muslim tapi pada kenyataannya mereka mau meruntuhkan bangunan agama Islam.

Mungkin kita masih ingat Universitas Islam Negeri (dulu IAIN) Syarif Hidayatulloh Bandung yang mereka melakukan penghujatan terhadap ajaran Islam diantaranya mereka mengatakan dalam caci makinya bahwa kampus mereka “Bebas Tuhan” (atau tuhan itu tidak ada)dan “Anjing-hu Akbar”. Silhakan search di youtube dengan kata kunci “Ada penghujatan islam di kampus IAIN Bandung”. Atau sekitar setahun yang lalu kita dibuat miris dengan spanduk yang bertuliskan “Tuhan Membusuk” yang dibawa oleh mahasiswa UIN dalam Ospeknya. Ini adalah sesuatu yang sangat memprihatinkan.

Justru ironisnya, paham liberal inilah yang mereka anggap sebagai kemajuan berfikir dalam memahami Islam. Mereka menganggap mengkaji Islam dengan cara merujuk pada pemahaman ulama-ulama terdahulu adalah sebuah kemunduran dan kejumud-an dalam berfikir. Padahal, cara berfikir mereka yang demikian liberal ini justru yang akan meruntuhkan pondasi Islam dari akar-akarnya.

Demikianlah sedikit ulasan dari kami, bahwa ISIS hanyalah satu di antara sekian paham Radikal dan berbahaya yang sedang berkembang di negara kita yang berpotensi merongrong keutuhan NKRI. Di sana masih banyak paham-paham berbahaya lainnya yang sedang berkembang dan membahayakan Negeri kita yang juga harus kita waspadai. Semoga negara kita senantiasa dilindungi oleh Alloh -ta’ala- dari segala makar orang-orang jahat tersebut.
Amin ya Robbal ‘Alamin.

 
*MUTIARA HADITS NABI SHOLLALLOHU 'ALAIHI WA SALLAM* Abu Sa'id al-Khudri mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, "Apabila seorang hamba (manusia) masuk Islam dan bagus keislamannya, maka Allah menghapuskan darinya segala kejelekan yang dilakukannya pada masa lalu. Sesudah itu berlaku hukum pembalasan. Yaitu, suatu kebaikan (dibalas) dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat; sedangkan kejelekan hanya dibalas sepadan dengan kejelekan itu, kecuali jika Allah memaafkannya."(HR BUKHARI) Anas رضي الله عنه mengatakan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda, "Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah' dan di dalam hatinya ada kebaikan (7 - di dalam riwayat yang mu'alaaq: iman [17] ) seberat biji gandum. Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di dalam hatinya ada kebaikan seberat biji burr. Dan, akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di hatinya ada kebaikan seberat atom."(HR BUKHARI)