*** SELAMAT DATANG *** Ini adalah blog pribadi yang dikelola secara independen oleh Netter desa Mintobasuki kec. Gabus kab. Pati. Blog Mintobasuki Gabus Pati bukanlah blog resmi pemerintahan desa Mintobasuki. Blog ini tidak ada hubungan dalam bentuk apa pun dengan organisasi, kelompok dan kepentingan tertentu di desa Mintobasuki. Artikel-artikel yang disajikan adalah tulisan lepas yang berisi uneg-uneg, ide, pemikiran, opini pribadi penulis dan pernik-pernik terkait desa Mintobasuki.

Kamis, 21 Mei 2015

Sebuah Catatan: Mintobasuki Tempo Dulu – Bag 2

Mintobasuki, sekitar 1995an…
wpid-20141102162728.jpgSiang itu terik matahari benar-benar terasa membakar bumi. Tak ada setangkai awan pun di langit sana. Hanya ada warna biru tua yang menghampar dari ufuk ke ufuk. Sang surya seolah sedang memamerkan keperkasaannya kepada penghuni bumi. Hembusan angin menerbangkan debu-debu jalanan tak tentu arah. Mengotori dinding-dinding, pintu-pintu dan jendela-jendela. Pepohonan meranggas kekurangan air seperti kayu lapuk yang sudah mati. Daun-daun menguning, lalu mengering dan berguguran. Rerumputan pun kering kecoklatan terpapar panas matahari. Menjadi hari-hari berat bagi perumput. Petak-petak persawahan menjadi hamparan tanah tanpa tanaman. Sejauh mata memandang, bumi seolah gersang, kering kerontang. Ya, kemarau panjang belum juga berakhir.

Seorang gadis kecil duduk di teras depan rumah joglo yang menghadap ke selatan itu. Ia sengaja agak menepi, menghindari kerumunan orang-orang dewasa yang sedang antri untuk mendapatkan air. Sebuah ember air telah ia siapkan dari rumah. Sebagaimana mereka, gadis kecil 10an tahun ini pun sedang menunggu antriannya. Rumahnya tidak jauh, hanya di seberang jalan sana, tak lebih 20m dari sini.  Inilah tugasnya tiap pulang dari sekolah, ‘ngangsu’ (ambil air) dari tetangga sebelah yang sumurnya masih keluar airnya. Genuk-genuk wadah air yang telah kosong harus dipenuhi hari ini. Untuk masak, minum, mandi, dan kebutuhan lainnya.

Bergantian mereka meng-engkol tuas pompa sumur bor itu. Sejak siang tadi nyaris sumur bor ini tak berhenti berderit-derit. Menghisap air dari perut bumi untuk dimuntahkan di ember-ember dan galon-galon yang berjejer di depannya. Ini adalah sumur satu-satunya yang masih mengeluarkan air di sini. Rata-rata sumur ‘selonthong’ telah mengering karena kemarau panjang tahun ini. Andai pun ada airnya tak seberapa. Bukan hanya warga Koripan sampi saja yang antri, tapi juga warga dari dukuh-dukuh lain di luar Koripan Sampi Mintobasuki.

Pemandangan seperti ini adalah hal biasa saat kemarau panjang melanda dan persediaan air menipis. Untuk mendapatkan air mereka harus rela menempuh perjalanan ke kampung-kampung lain yang masih ada sumber-sumber air. Mereka yang datang kesini berombongan dengan sepeda onthel dan galon terikat karet ban dibelakangnya. Terkadang harus datang ke sini dua atau tiga kali sesuai kebutuhan.

Kala itu sumur bor dengan pompa listrik belum dikenal, paling bagus dengan pompa manual yang sering rusak karena seringnysa dipakai. Kadang sealnya jebol, klepnya rusak atau tuasnya patah. Maklumlah, di musim kemarau seperti ini hampir sumur yang ada airnya selalu menjadi serbuan ‘umat manusia’. Hampir tidak ada tenggangnya. Seharian bisa dipakai non stop.

Di tempat lain yang jaraknya sekitar 2 km dari tempat ini. Tiga bocah kecil tengah mendayung perahu kayunya di sungai Silugonggo. Mereka membawa ember-ember air yang telah disiapkan. Angin utara yang bertiup cukup deras ke arah selatan menjadikan panas terik siang itu agak terkurangi, namun membuat kewalahan mereka karena harus menerobos angin yang berlawanan arah. Perahu itu melaju menuju utara, membelah ombak-ombak kecil air sungai yang sudah berasa asin, menyisakan riak-riak berbuih di belakangnya. Sungai ini sudah tak sejernih seperti beberapa waktu lalu. Warnanya sekarang menjadi coklat tua pertanda kadar garamnya tinggi. Memang seperti inilah sungai Silugonggo jika kemarau panjang tiba.

Perahu itu terus melaju hingga sampai ke persawahan Sebrang Lor, menyusuri aliran sungai yang berjarak sekitar 500an meter. Disebut ‘Sebrang Lor’ karena letaknya yang berada di selah utara (Lor) desa Mintobasuki, dibatasi sungai Silugonggo. Untuk mencapai daerah itu harus menyebrangi sungai dengan perahu atau berenang. Dari situlah tempat ini disebut Sebrang Lor atau Branglor. Daerah ini tidak termasuk wilayah Mintobasuki tapi masuk wilayah desa Mustoko Harja dan desa Dengkek, Pati. Tapi -kala itu- banyak juga warga Mintobasuki Kulonan yang bekerja sebagai petani penggarap di sana.

Sungai Silugonggo punya arti penting bagi penduduk sekitar. Mereka memanfaatkan air sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dari masak, minum, mandi dan cuci. Namun kemarau panjang telah menjadikan air sungai asin karena air laut masuk ke sungai dari muara. Dan hal ini bisa berlangsung lama, sampai kemarau berakhir dan musim penghujan tiba.

Lalu, mau kemana bocah-bocah itu? Ternyata, mereka tidak sendirian. Di seberang sana banyak juga perahu-perahu yang sudah ditambatkan di tepian sungai. Ada anak-anak sebaya mereka juga ada orang dewasa. Mereka sebenarnya mau mencari air tawar untuk dibawa pulang. Di tepian sungai itu ada belik-belik (sumur-sumur kecil) yang sengaja dibuat untuk menampung rembesan air sawah di atasnya. Sawah-sawah itu tidak pernah kering sepanjang tahun karena sistem irigasi yang memadai. Sisa-sisa air sawah inilah yang mereka manfaatkan untuk keperluan sehari-hari.

Mereka belum pulang sebelum wadah-wadah air yang mereka bawa penuh terisi air. Terkadang air di belik itu habis sebelum ember-ember air yang mereka bawa penuh. Harus menunggu belik-belik itu terisi air lagi. Tapi jika beruntung, air bisa saja melimpah dan mereka bisa mengisi perahu mereka dengan air belik itu. Biasanya sebelum senja mereka sudah sampai rumah. Dan besok siang mereka harus ada di sini lagi, ‘ngangsu’ lagi.

Tentu saja air belik itu sangat tidak layak, selain keruh karena lumpur juga bercampur pupuk-pupuk dan pestisida dari sawah, atau bahkan pengotor-pengotor lainnya. Bisa menimbulkan dampak yang berbahaya bagi kesehatan. Tapi, mereka tidak ada pilihan lain selain memanfaatkan belik-belik air itu.
Inilah sekilas gambaran perjuangan warga Mintobasuki untuk mendapatkan air bersih saat kemarau panjang melanda, sekitar 20an tahun yang lalu. Saat ini kita hidup di jaman yang serba mudah. Meski kemarau panjang, saat ini kita tidak perlu antri air kayak dulu. Sudah ada PAM SIMAS yang mensuplai kebutuhan air sepanjang tahun. Sudah banyak warga yang membuat sumur pompa sendiri, hampir setiap rumah ada. Bahkan, untuk kebutuhan minum sudah ada yang jualan air minum isi ulang keliling. Ada juga warga yang jualan air dari PDAM yang masuk ke kampung-kampung. Alhamdulillah…

0 komentar:

Posting Komentar

 
*MUTIARA HADITS NABI SHOLLALLOHU 'ALAIHI WA SALLAM* Abu Sa'id al-Khudri mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, "Apabila seorang hamba (manusia) masuk Islam dan bagus keislamannya, maka Allah menghapuskan darinya segala kejelekan yang dilakukannya pada masa lalu. Sesudah itu berlaku hukum pembalasan. Yaitu, suatu kebaikan (dibalas) dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat; sedangkan kejelekan hanya dibalas sepadan dengan kejelekan itu, kecuali jika Allah memaafkannya."(HR BUKHARI) Anas رضي الله عنه mengatakan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda, "Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah' dan di dalam hatinya ada kebaikan (7 - di dalam riwayat yang mu'alaaq: iman [17] ) seberat biji gandum. Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di dalam hatinya ada kebaikan seberat biji burr. Dan, akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di hatinya ada kebaikan seberat atom."(HR BUKHARI)