Mintobasuki, sekitar 1995an…
Siang
itu terik matahari benar-benar terasa membakar bumi. Tak ada setangkai
awan pun di langit sana. Hanya ada warna biru tua yang menghampar dari
ufuk ke ufuk. Sang surya seolah sedang memamerkan keperkasaannya kepada
penghuni bumi. Hembusan angin menerbangkan debu-debu jalanan tak tentu
arah. Mengotori dinding-dinding, pintu-pintu dan jendela-jendela.
Pepohonan meranggas kekurangan air seperti kayu lapuk yang sudah mati.
Daun-daun menguning, lalu mengering dan berguguran. Rerumputan pun
kering kecoklatan terpapar panas matahari. Menjadi hari-hari berat bagi
perumput. Petak-petak persawahan menjadi hamparan tanah tanpa tanaman.
Sejauh mata memandang, bumi seolah gersang, kering kerontang. Ya,
kemarau panjang belum juga berakhir.
Seorang gadis kecil duduk di teras depan rumah joglo yang menghadap
ke selatan itu. Ia sengaja agak menepi, menghindari kerumunan
orang-orang dewasa yang sedang antri untuk mendapatkan air. Sebuah ember
air telah ia siapkan dari rumah. Sebagaimana mereka, gadis kecil 10an
tahun ini pun sedang menunggu antriannya. Rumahnya tidak jauh, hanya di
seberang jalan sana, tak lebih 20m dari sini. Inilah tugasnya tiap
pulang dari sekolah, ‘ngangsu’ (ambil air) dari tetangga sebelah yang
sumurnya masih keluar airnya. Genuk-genuk wadah air yang telah kosong
harus dipenuhi hari ini. Untuk masak, minum, mandi, dan kebutuhan
lainnya.
Bergantian mereka meng-engkol tuas pompa sumur bor itu. Sejak siang
tadi nyaris sumur bor ini tak berhenti berderit-derit. Menghisap air
dari perut bumi untuk dimuntahkan di ember-ember dan galon-galon yang
berjejer di depannya. Ini adalah sumur satu-satunya yang masih
mengeluarkan air di sini. Rata-rata sumur ‘selonthong’ telah mengering
karena kemarau panjang tahun ini. Andai pun ada airnya tak seberapa.
Bukan hanya warga Koripan sampi saja yang antri, tapi juga warga dari
dukuh-dukuh lain di luar Koripan Sampi Mintobasuki.
Pemandangan seperti ini adalah hal biasa saat kemarau panjang melanda
dan persediaan air menipis. Untuk mendapatkan air mereka harus rela
menempuh perjalanan ke kampung-kampung lain yang masih ada sumber-sumber
air. Mereka yang datang kesini berombongan dengan sepeda onthel dan
galon terikat karet ban dibelakangnya. Terkadang harus datang ke sini
dua atau tiga kali sesuai kebutuhan.
Kala itu sumur bor dengan pompa listrik belum dikenal, paling bagus
dengan pompa manual yang sering rusak karena seringnysa dipakai. Kadang
sealnya jebol, klepnya rusak atau tuasnya patah. Maklumlah, di musim
kemarau seperti ini hampir sumur yang ada airnya selalu menjadi serbuan
‘umat manusia’. Hampir tidak ada tenggangnya. Seharian bisa dipakai non
stop.
Di tempat lain yang jaraknya sekitar 2 km dari tempat ini. Tiga bocah
kecil tengah mendayung perahu kayunya di sungai Silugonggo. Mereka
membawa ember-ember air yang telah disiapkan. Angin utara yang bertiup
cukup deras ke arah selatan menjadikan panas terik siang itu agak
terkurangi, namun membuat kewalahan mereka karena harus menerobos angin
yang berlawanan arah. Perahu itu melaju menuju utara, membelah
ombak-ombak kecil air sungai yang sudah berasa asin, menyisakan
riak-riak berbuih di belakangnya. Sungai ini sudah tak sejernih seperti
beberapa waktu lalu. Warnanya sekarang menjadi coklat tua pertanda kadar
garamnya tinggi. Memang seperti inilah sungai Silugonggo jika kemarau
panjang tiba.
Perahu itu terus melaju hingga sampai ke persawahan Sebrang Lor,
menyusuri aliran sungai yang berjarak sekitar 500an meter. Disebut
‘Sebrang Lor’ karena letaknya yang berada di selah utara (Lor) desa
Mintobasuki, dibatasi sungai Silugonggo. Untuk mencapai daerah itu harus
menyebrangi sungai dengan perahu atau berenang. Dari situlah tempat ini
disebut Sebrang Lor atau Branglor. Daerah ini tidak termasuk wilayah
Mintobasuki tapi masuk wilayah desa Mustoko Harja dan desa Dengkek,
Pati. Tapi -kala itu- banyak juga warga Mintobasuki Kulonan yang bekerja
sebagai petani penggarap di sana.
Sungai Silugonggo punya arti penting bagi penduduk sekitar. Mereka
memanfaatkan air sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dari
masak, minum, mandi dan cuci. Namun kemarau panjang telah menjadikan air
sungai asin karena air laut masuk ke sungai dari muara. Dan hal ini
bisa berlangsung lama, sampai kemarau berakhir dan musim penghujan tiba.
Lalu, mau kemana bocah-bocah itu? Ternyata, mereka tidak sendirian.
Di seberang sana banyak juga perahu-perahu yang sudah ditambatkan di
tepian sungai. Ada anak-anak sebaya mereka juga ada orang dewasa. Mereka
sebenarnya mau mencari air tawar untuk dibawa pulang. Di tepian sungai
itu ada belik-belik (sumur-sumur kecil) yang sengaja dibuat untuk
menampung rembesan air sawah di atasnya. Sawah-sawah itu tidak pernah
kering sepanjang tahun karena sistem irigasi yang memadai. Sisa-sisa air
sawah inilah yang mereka manfaatkan untuk keperluan sehari-hari.
Mereka belum pulang sebelum wadah-wadah air yang mereka bawa penuh
terisi air. Terkadang air di belik itu habis sebelum ember-ember air
yang mereka bawa penuh. Harus menunggu belik-belik itu terisi air lagi.
Tapi jika beruntung, air bisa saja melimpah dan mereka bisa mengisi
perahu mereka dengan air belik itu. Biasanya sebelum senja mereka sudah
sampai rumah. Dan besok siang mereka harus ada di sini lagi, ‘ngangsu’
lagi.
Tentu saja air belik itu sangat tidak layak, selain keruh karena
lumpur juga bercampur pupuk-pupuk dan pestisida dari sawah, atau bahkan
pengotor-pengotor lainnya. Bisa menimbulkan dampak yang berbahaya bagi
kesehatan. Tapi, mereka tidak ada pilihan lain selain memanfaatkan
belik-belik air itu.
Inilah sekilas gambaran perjuangan warga Mintobasuki untuk
mendapatkan air bersih saat kemarau panjang melanda, sekitar 20an tahun
yang lalu. Saat ini kita hidup di jaman yang serba mudah. Meski kemarau
panjang, saat ini kita tidak perlu antri air kayak dulu. Sudah ada PAM
SIMAS yang mensuplai kebutuhan air sepanjang tahun. Sudah banyak warga
yang membuat sumur pompa sendiri, hampir setiap rumah ada. Bahkan, untuk
kebutuhan minum sudah ada yang jualan air minum isi ulang keliling. Ada
juga warga yang jualan air dari PDAM yang masuk ke kampung-kampung.
Alhamdulillah…
0 komentar:
Posting Komentar