Mintobasuki 1990…
Sungai Silugonggo |
Pada saat peralihan dari pasang ke surut inilah para nelayan banyak memanfaatkannya untuk memasang jaring untuk menangkap ikan karena aliran air relatif lambat bahkan berhenti sama sekali. Nelayan tidak mungkin memasang jaringnya ketika arus sungai mengalir karena jaring-jaring yang mereka pasang bisa terseret arus. Banyak jenis ikan air tawar hasil tangkapan para nelayan, ada lundu, wering, kecel, jepet, nduri, lele, sampai benggel atau tageh, dll. Terkadang mereka jual jika hasilnya banyak, atau buat konsumsi sendiri jika hasilnya sedikit.
Saat kemarau panjang air sungai pun menjadi asin karena pengaruh pasang surut air laut tadi. Padahal kita tahu arti penting sungai Silugonggo bagi warga sekitar yang memanfaatkannya untuk kebutuhan sehari-hari. In sya Alloh akan ada tulisan tersendiri tentang bagaimana ‘perjuangan’ warga Mintobasuki untuk mendapatkan air tawar saat kemarau panjang melanda.
Sejenak, mari kita tengok tepian sungai Silugonggo yang berada di tepi barat desa Mintobasuki. Airnya cukup jernih dan alirannya cukup tenang.
Matahari mulai meninggi di pagi itu ketika tepian sungai Silugonggo riuh dengan suara bocah-bocah yang tengah asik mencari kerang. Liburan Minggu ini mereka punya acara spesial di ‘markas besar ‘. Sudah sejak beberapa hari yang lalu mereka membuat janji untuk hari ini, untuk mencari kerang di sungai, dimasak bareng-bareng dan dinikmati bareng-bareng. Ada belasan anak yang telah berkumpul dengan tugas masing-masing. Mencari kerang di sungai, mempersiapkan ranting-ranting kering untuk kayu bakar, dan menyediakan perlengkapan masak. Canda tawa dan teriakan-teriakan kecil kadang terdengar memecahkan kesunyian tepian sungai yang airnya tenang itu.
Dengan sigap beberapa anak laki-laki yang jago renang terjun ke sungai dengan bertelanjang dada, menyelam sampai ke dasarnya. Mengeruk dasar sungai yang berlumpur dengan serok kecil dari jaring nylon tuk mengambil kerang-kerang itu. Tak selang beberapa lama mereka kembali menyembul ke permukaan dengan nafas terengah-engah. Lalu menepi, menyerahkan hasil ‘tangkapannya’ ke anak-anak perempuan yang menunggu di tepian dengan ember kecil untuk menampungnya. Berulang-ulang mereka menyelam ke dasar untuk mengumpulkan kerang-kerang itu. Mata penyelam-penyelam kecil itu nampak memerah karena iritasi air sungai yang sudah mulai asin karena kemarau panjang tahun ini. Badannya pun sudah nampak ‘lumuten’ karena terlalu lama berendam di air. Setelah dirasa cukup mereka pun meninggalkan tepian sungai itu dan kembali ke markasnya.
Inilah markas besar mereka. Jaraknya sekitar 150an meter dari tepian Silugonggo. Berdiri di pekarangan belakang rumah sang ketua. Markas besar Elang Putih. Elang Putih sebuah nama yang diambilkan dari novel anak yang berjudul “Jago-jago Bandung Selatan”yang pernah ia baca dari perpustakaan sekolah. Sebuah novel yang menceritakan tentang persahabatan dan kebersamaan bocah-bocah Bandung Selatan dengan grup Elang Putihnya. Dikemas dengan bahasa yang lugas, santai dan penuh humor segar. Kisah ini yang menginspirasi mereka.
Markas ini mereka bangun bersama dengan tangan-tangan mungil mereka sendiri. Di bawah rerimbunan pohon-pohon bambu yang lebat dengan hawa udara yang sejuk. Angin yang bertiup semilir menggoyangkan pucuk-pucuk bambu mengeluarkan suara gemerisik nyanyian alam. Sesekali terdengar derit batang-batang bambu yang saling bergesekan diterpa angin. Kicau burung-burung kecil bersahutan di ranting-rantingnya seolah sedang mengawasi belasan bocah yang sedang asyik bermain di bawahnya.
Sebuah gubug kecil, ukuran panjang dan lebarnya sekira 4m x 1,5m, dan tingginya sekira 1,5 m atau kurang dari itu, tiang-tiangnya dari bambu-bambu kecil, demikian pula penguat-penguatnya. Atapnya adalah kelaras (daun pisang yang telah mengering) yang mereka susun rapi. Demikian pula dindingnya juga dari kelaras yang telah dianyam sedemikian rupa. Berhari-hari bocah-bocah kecil itu membangun markas mereka bersama-sama sampai akhirnya jadi tempat berkumpul yang nyaman.
Di sinilah mereka sering berkumpul dan bermain bersama, terlebih jika liburan sekolah tiba. Terkadang mereka juga belajar kelompok di tempat ini sepulang sekolah. Nyaris tidak pernah sepi dari suara bocah-bocah kecil yang sedang asyik bermain. Canda riang dan gelak tawa mereka selalu menjadikan hidup tempat sunyi ini. Tak jarang mereka di teriaki warga karena bermain ‘tongtek’ dari kenthongan bambu dengan suara keras. Tapi dasar bocah, mereka tak pernah jera diomeli simbah-simbah yang merasa terganggu dengan suara ‘musik’ mereka.
Siang itu, saat matahari tepat di ubun-ubun hidangan kerang kuwek pun telah siap. Sebuah tungku kecil dari batu bata yang ditumpuk di depan gubug dengan sisa-sisa api yang masih menyala. Sebuah periuk kecil berisi kerang kuwek yang telah matang dengan hanya dibumbui garam dapur dan motto cap mobil. Aroma sedapnya membuat mereka harus menelan ludah sambil mengantri. Masing-masing telah siap dengan daun pisang di tangan sebagai piringnya. Seorang juru masak membagi-bagi jatah kepada mereka. Terkadang ada yang protes karena merasa pembagian tidak adil.
Ya, hari itu adalah hari yang indah bagi mereka. Liburan yang sangat menyenangkan. Kebersamaan, kekompakan, kerjasama, petualangan dan keakraban yang mewarnai persahabatan mereka.
Masa-masa indah bagi bocah-bocah itu. Bebas dan lepas tanpa beban. Dimana beban berat hanya PR matematika. Berbeda dengan bocah-bocah sekarang yang telah terampas ‘kemerdekaannya’ karena kurikulum yang padat. Pagi berangkat sekolah, pulang sekolah persiapan ngaji di TPQ, habis ngaji persiapan les Privat. Malam hari mengerjakan PR dari sekolah. TV dan tablet jadi teman bermainnya.
Kini anggota Elang Putih telah berpisah, masing-masing melalang buana ke berbagai penjuru sibuk dengan urusannya masing-masing. Semoga senantiasa diberikan kemudahan dan keberkahan dalam setiap urusan kita.
(Dari catatan 90-an)
0 komentar:
Posting Komentar