SD Mintobasuki 01, 1987…
SD Mintobasuki 01 yang tidak terurus karena sudah tidak lagi difungsikan sejak 4 tahun yang lalu. |
Hari ini hari Senin, seperti biasa SD Mintobasuki 01 mengadakan upacara bendera. Murid-murid berbaris menghadap Selatan. Dimulai dari siswa kelas 1 di sebelah paling kiri, Timur. Kemudian kelas 2, kelas 3, kelas 4 dan kelas 6. Kelas 5 menjadi petugas upacara. Ada yang menjadi pemimpin upacara, protokol, pengibar bendera, pembaca do’a, pembawa teks Pancasila dan koor paduan suara. Ada sekitar 130an siswa dari semua kelas. Pemimpin upacaranya Pak Lasiman Hadimarjoko alm, beliau guru dari desa Banjarsari sekaligus kepala sekolah di sini. Staf guru berdiri di sebelah selatan halaman menghadap utara, berhadapan dengan barisan siswa. Guru pengajar kala itu ada Bu Sunami, Bu Mayawati, Bu Siti Muayanah, Bu Kotrini, Pak Supri (Suami Bu Siti Muayyanah)Pak Sularto (guru olah raga), Pak Ikhwan Idris (guru agama) dan Pak Joko Suprapto, guru paling favorit kala itu yang selalu berada dibarisan belakang murid-murid tiap kali upacara bendera untuk mengawasi anak-anak yang ramai. Penjaga sekolahnya Pak Siman (Sekdes desa saat ini).
Inilah hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang selama sebulan. Ada siswa-siswa baru kelas satu yang masih malu-malu dengan guru barunya. Pak Joko Suprapto duduk di depan kelas, membuka absensi dan mulai mengabsen anak-anak baru itu. Jaryanto, Sumardi, Narto, Gunari, Karyanto, Lasmin, Suhardi, Selamet, Sutiyono, Wahyudi, Sutarman, Sri Putriningsih, Sundari, Kusmiati, Leginah, Suwarni, Surati, Sumarsih, Rubiati, Darmi, dan beberapa nama lainnya yang sudah tidak aku ingat lagi. Pak Joko, beliau guru favorit kami saat itu -dan mungkin juga sampai sekarang- , beliau dikenal ramah, jarang sekali marah, bisa membuat anak-anak nyaman belajar, dan yang pasti pinter ndongeng. Kami tak pernah bosan mendengarkan dongeng-dongengnya di sela-sela pelajaran untuk menghilangkan kebosanan. Tak heran bila kelas yang diampu beliau rasanya seperti ‘ketiban pulung’ alias dapat anugerah.
Tapi, ada juga guru yang killer -nggak usah disebutin namanya-. Paling ditakuti anak-anak. Dengar namanya saja anak-anak sudah mengkeret kayak karet. Suasana kelas selalu mencekam, apalagi kalau pelajaran matematika. Maklum, anak-anak yang nakal dan nggak mudengan terkadang membuat tensi naik. Ada anak-anak yang dimarahi sampai pingsan. Bukan cuma sekali. Ada yang orang tuanya nggak terima anaknya dijeweri sampai ‘nglarak’ ke sekolahan sambil marah-marah. Yah…namanya juga anak-anak. Dan guru juga manusia. Kesabaran kadang juga ada habisnya. Terkadang persoalan rumah tangga yang belum terselesaikan bisa mencari pelampiasan jika terbawa ke ruang kelas.
Inilah sekolah kami. Inilah tempat kami belajar dan bermain. Banyak kisah dan cerita yang terukir di sini. Masa-masa tanpa beban, masa dimana beban terberat adalah PR Matematika.
Kala itu, sekolah tanpa bersepatu adalah hal yang biasa. Bahkan yang punya sepatu pun lebih suka nyeker. Mungkin bocah-bocah kampung itu tidak biasa pakai sepatu yang bikin kaki ‘sumuk’ dan berkeringat itu. Ada pula yang pakai sepatu dengan kaus kaki yang dicuci entah berapa bulan sekali, warna putihnya sampai berwarna kecoklatan dilapisi debu.
Kami bagaikan bocah-bocah yang tak terurus. Kebanyakan orang tua kami adalah pekerja perantauan. Dan kami dititipkan ke kakek-nenek. Maklum kalau kurang perawatan dan kurang gizi. Bisa makan pakai tempe tahu atau telur itu sudah istimewa. Kaum marjinal seperti saya dibuatkan sambel goreng yang asinnya minta ampun saja sudah cukup. Bisa dipakai nemenin nasi dua atau tiga hari. Kalau lagi panen jagung, sarapan pagi pun cukup jagung rebus. Atau brabuk (nasi jagung), yang kalau nggak tahan bisa langsung mencret.
Baju seragam pun seminggu sekali dicuci di kali. Kumal itu sudah pasti. Seterika belum dikenal, hanya seterika ‘bahan bakar’ arang yang ada. Itu pun kalangan khos yang pakai. Mandi pagi adalah hal yang istimewa, apalagi gosok gigi, cukup cuci muka tak perlu pakai sabun, pakai baju lalu berangkat ke sekolah. Kulit kaki dan tangan bersisik. Kelihatan putih-putih seperti dicoret kapur kalau digaruk. Biar nggak kelihatan terlalu bersisik biasanya diolesi minyak goreng bekas lalu diratakan di lengan dan di kaki. Kelihatan mengkilap. Begitu saja sudah cukup bergaya-gaya. Teman-teman menyebutnya minyak Jenplin alias ‘Jelantah Pindang’. Celakanya, kalau kena debu langsung menempel dan berkerak di kulit. Rambut cukup diolesi minyak kemiri. Lalu disisir.
Beberapa teman sempat gatal-gatal kudisan, bahkan ada yang sekujur tubuh. Menimbulkan bau amis yang bikin mual. Menyisakan bekas-bekas yang tak sedap dipandang meski sudah sembuh. Produk shampo belumlah menjamur seperti saat ini. Hanya ada shampo tanpa merk. Entah apa namanya orang menyebut, aku sudah lupa. Rambut gimbal penuh kutu, bahkan ada yang sampai menimbulkan koreng di kepala.
Yah, itulah masa-masa kecil di sekolah. Selalu indah untuk dikenang meski kadang ‘ngenes’ menjalaninya. Ada kisah-kisah jenaka, meski ada juga cerita sedih dan keprihatinan.
Sejak empat tahun ini SD Mintobasuki 01 sudah tidak lagi difungsikan karena kekurangan siswa. Semua siswa dijadikan satu di SD Mintobasuki 02. Akibatnya bangunannya menjadi kotor dan tak terurus sebagaimana yang ada di foto ini. Banyak tanaman-tanaman liar dan rumput-rumputan yang meninggi di halamannya. Ruangannya sudah banyak rumah laba-laba. Beberapa kaca jendelanya bahkan pecah.
Oke, ini dulu kisah kami waktu di SD Mintobasuki 01. In sya Alloh, ada kisah lain di tempat yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar