Sekilas Tentang Zakat Fithrah
Zakat
Fitrah adalah shodaqoh wajib yang yang harus dikeluarkan oleh setiap
individu muslim, baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun orang
tua, merdeka maupun hamba sahaya (budak) dengan sebab datangnya ‘Idul
Fithri yang Rosulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam syariatkan
atas umat ini setelah diwajibkannya puasa atas mereka di bulan Ramadhan.
Zakat Fithrah menjadi pensuci jiwa mereka sekaligus penguat puasanya.
Zakat fithrah yang dikeluarkan sebanyak satu sho’ makanan pokok baik
berupa kurma, gandum atau makanan pokok lainnya. Di negeri kita, ukuran
volume satu sho’ dikonversikan dalam satuan berat sekitar 2.5 kg untuk
beras. Dalil bahwa zakat fithrah yang diperintahkan oleh Rasulullah
shalallahu alaihi wa sallam adalah makanan pokok berdasar atsar Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma:
فَرََضَ رَسُلُ الله صلى الله عليه وَ سلم زَكاَةَ الفِطْرِ مِنْ رَمضَانَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا من شَعِيرٍ على العَبْدِ و الحُرِّوالذََّكَرِ و الأُنْثَى وَ الصَّغِيْرِ و الكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Rosulullah Sholallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkaan zakat
fithrah dari Ramadhan satu sha’ dari kurma atau satu sho’ dari gandum
atas setiap hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki, perempuan, anak
kecil dan orang tua dari kaum muslimin” (HR. Muslim, shahih Muslim (III/ 68))
Berdasarkan hadits di atas pula, maka pendapat yang membolehkan zakat
fithrah dengan mengeluarkan harganya berupa selain makanan pokok baik
berupa uang, emas, perak dan lain sebagainya adalah pendapat yang lemah
karena sudah tegas dalam hadits di atas zakat fithrah adalah berupa
makanan pokok.
Kepada siapakah zakat ini dibagikan? Sebagian ulama berpendapat bahwa
yang berhak menerima zakat fithrah adalah 8 golongan yang disebutkan
dalam al-Qur’an sebagaimana zakat-zakat yang lainnya. Akan tetapi yang
benar dalam hal ini adalah bahwa zakat fithrah ini dikhususkan hanya
kepada fakir miskin dengan dasar hadits:
فَرَضَ رَسُلُ الله صلى الله عليه وَ سلم زَكاَةَ الفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِيْنَ مِنَ الَّغْوِ و الرَّفَثِ و طُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ
“
Rosulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat
fithrah sebagai pembersih bagi orang-orang yang berpuasa dari
kesia-siaan dan kejelekan serta makanan bagi orang-orang miskin” (HR.
Abu Dawud, Ibnu Majah, Daruquthni, al-Hakim dan al-Baihaqi, dan di
hasankan imam Nawawi dalam al-Majmu’ (VI/126), Ibnu Qudamah dalam
al-Mughni (III/50), dan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany dalam
Irwa-ul Ghalil (III/333), sebagaimana di rajihkan syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali
‘Abdul Hamid dalam Shifatu Shoumin Naby Sholallahu ‘alaihi wa sallam)
Kapankah diwajibkannya mengeluarkan zakat fithrah? Waktu
diwajibkannya adalah pada waktu terbenamnya matahari malam ‘Idul Fithri
dan batas waktu mengeluarkannya adalah hari raya sebelum sholat ‘Idul
Fithri. Seandainya dikeluarkan sehari atau dua hari sebelum waktunya
juga diperbolehkan jika mengeluarkan pada waktunya ada kesulitan.
Wallahu a’lam.
Diantara hal-hal yang utama seputar zakat fithrah ini adalah
hendaknya seseorang itu memberikan zakat fithrahnya kepada fakir miskin
yang tinggal di daerahnya. Namun, jika zakatnya dikirimkan ke tempat
lain juga tidak mengapa.
Diantara hikmah pensyariatan zakat fitrah adalah:
Pertama : sebagai pembersih/pensuci jiwa seorang
muslim dari bekas kesia-siaan dan kejelekan yang dia lakukan selama
berpuasa di bulan Ramadhan.
Kedua: menjaga kehormatan dan kemuliaan muslim
lainnya yang mungkin karena rasa lapar memaksanya meminta-minta kepada
orang lain di selain hari raya. Dengan zakat fithrah ini dia akan bisa
merasakan juga kebahagiaan dan kegembiraan di hari raya sebagaimana yang
dirasakan oleh orang-orang yang berkecukupan.
Ketiga: zakat fithrah akan memupuk rasa
kebersamaan, saling tolong menolong dan bahu membahu antar sesama
muslim. Memupuk empati untuk bisa merasakan perasaan sebagian yang lain.
Orang yang diberikan keluasan rezeki turut bisa merasakan penderitaan
orang miskin sehingga timbul rasa mengasihi si miskin dan memberi
kemudahan untuk meringankan beban-beban mereka. Dengan demikian
terwujudlah persatuan dan persaudaraan yang kokoh antar sesama muslim
dan terkikis kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Pengelolaan Zakat Fithrah
Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk
saling tolong menolong dalam berbuat birr(kebaikan) dan taqwa,
sebaliknya Alloh sangat melarang tolong-menolong dalam urusan dosa dan
permusuhan. Diantara bentuk tolong menolong yang disyariatkan adalah
tolong menolong dalam pengelolaan zakat dari kaum muslimin untuk
didistribusikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Tidak semua orang
diberikan keleluasaan waktu dan kesempatan sehingga seorang yang
berkewajiban mengeluarkan zakat bisa langsung mendistribusikan zakatnya.
Disinilah peran panitia zakat diperlukan, tak terkecuali zakat fithrah.
Panitia zakat fithrah berkewajiban mengelola zakat fithrah yang
diamanatkan kepadanya sebaik-baiknya kemudian menyalurkannya sesuai yang
dituntunkan syariat. Oleh karenanya, pengelola zakat hendaknya adalah
orang-orang yang memang memahami ilmunya, profesional, jujur dan amanah.
Hal ini penting untuk menjamin bahwa zakat yang dikeluarkan kaum
muslimin telah dikelola sebaik-baiknya sesuai syariat.
Ulama berbeda pendapat
tentang siapa penerima zakat fithrah sebagaimana yang telah disinggung
di atas, yaitu apakah penerima zakat fithrah sama dengan penerima
zakat-zakat lainnya semacam zakat harta, zakat pertanian, zakat binatang
ternak dan lain sebagainya ataukah hanya khusus untuk fakir miskin.
Mereka yang berpendapat bahwa zakat fithrah berbeda dari segi
penerimanya dengan zakat lainnya berdalil dengan hadits di atas.
Sedangkan Ulama yang berpendapat bahwa zakat fithrah sama dengan
zakat-zakat lainnya berdalil dengan keumuman ayat ini.
انّما الصّدقة للفقراء و
المسكين و العاملين عليها و المؤلّفة فلوبهم و في الرقاب و الغارمين و في
سبيل اللهِ و ابنِ السبيل ، فريضة من
الله ، و اللهُ عليم حكيم
“ Sesungguhnya zakat itu
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang
dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk
(membebaskan) orang yang berhutang, untuk fi sabilillah (untuk jalan
Alloh) dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban
dari Alloh. Alloh Maha Mengetahui, Maha Bijaksana (At-Taubah : 60)
Sehingga konsekwensinya, zakat fithrah boleh disalurkan untuk delapan golongan tersebut.
Bagaimana dengan masjid,
apakah bisa mendapatkan bagian dari zakat ini? Jika dikatakan membangun
masjid termasuk sarana fi sabilillah maka boleh mengambil harta zakat
untuk membangun masjid, sedangkan yang berpendapat bahwa masjid tidak
termasuk dalam fi sabilillah maka tidak boleh mengambil zakat untuk
membangun masjid.
Setelah mengetahui masalah ini, kita perlu mencermati dua hal:
Pertama:
Salah satu hikmah disyariatkannya zakat fithrah adalah untuk memberi
makan kepada kaum miskin sehingga mereka bisa turut berbahagia
sebagaimana kaum muslimin pada umumnya. Yang demikian ini secara tegas
dijelaskan oleh Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana
dalam hadits di atas.
Kedua: perlu dipahami bahwa sarana fi
sabilillah bukan cuma masjid, akan tetapi semua sarana yang bisa
menunjang dakwah dan perjuangan meninggikan agama Alloh -ta’ala- adalah
fi sabilillah, semisal pendirian madrasah-madrasah, pesantren, pengadaan
mushaf al-Qur’an, pengadaan sarana-sarana ta’lim, pembangunan sarana
umum yang dibutuhkan oleh umat dan lain-lain. Lalu kenapa sarana fi
sabilillah yang berhak mendapatkan zakat fitrah dibatasi hanya masjid
saja? Disinilah perlu dipertanyakan keabsahan pengalokasian zakat fitrah
untuk membangun masjid.
Ketiga: Bukankah
kita saat ini sudah memiliki masjid-masjid yang cukup nyaman untuk
beribadah kepada Alloh? Jika demikian mengapa kita masih merasa perlu
menyimpan sebagian dari zakat tersebut untuk mengisi kas masjid? Apakah
tidak sebaiknya kita kembalikan penyaluran zakat fithrah tersebut kepada
pihak yang memang paling berhak menerimanya, yaitu fakir miskin?
Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan koreksi dan renungan untuk kita semua. Allahu a’lam.