Sobat netter sekalian, masih ingat program acara “Mbangun Deso” yang
disiarkan di TVRI di tahun 90-an? Monggo kita bernostalgia sejenak ke
masa-masa itu. Masa-masa dimana televisi yang ada masih 2 warna, hitam
sama putih. Buat menyalakan TV harus pakai aki yang mesti di cas-kan
seminggu sekali. Itu pun hanya kalangan khos yang punya. Belum
banyak orang di kampung kita yang punya ‘kotak ajaib’ itu. Saya pun
kalau nonton di tetangga harus booking tempat dulu karena yang pengen
lihat juga banyak, kayak nonton bioskop saja. Stasiun tv swasta belum
pada lahir. Antena UHV belum dikenal. Listrik baru masuk tiang sama
kabelnya, setrum-nya belum. Itu pun baru di daerah tengahan. Kulonan,
Loran dan Koripan masih berada di masa ‘kegelapan’ yang tak tahu kapan
terangnya lampu neon bisa dinikmati.
Kembali ke acara “mBangun Deso” yang pernah jadi favorit saya dan
tentunya juga sobat sekalian. Acara yang dikemas sedemikian apik dalam
format sinetron komedi pendek berdurasi 30 menit, tanpa iklan, yang
mengangkat tema permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat desa
sehari-hari. ALur ceritanya sederhana, tak berbelit-belit sehingga
pemirsa dari segala usia pun bisa mencernanya. Pesan-pesan yang
disampaikan pun mudah ditangkap. Tanpa ada unsur menggurui. Tokoh-tokoh
yang diperankan pun kental sekali dengan karakter-karakter wong nDeso.
Den Baguse Ngarso (diperankan oleh Drs Susilo Nugraha) mewakili karakter wong ndeso yang mriyayeni (sok bangsawan), tingkahnya nyebahi (menyebalkan), cemlolo, keminter (sok pandai), ngayelke (menjengkelkan), semugeh (sok kaya), gumedhe (sombong), keras kepala, gila hormat, kalau bicara cemplekit (bikin orang sakit hati), ngeyelan, ceplas-ceplos
seolah tanpa mikir. Namun disisi lain dia juga punya mental pengecut
bernyali ciut. Semua karakter-karakter negatif itu dikemas sedemikian
rupa sehingga hilang kesan angkernya malah yang ada kesan jenaka. Tak
jarang aktingnya dengan karakter-karakter tersebut malah mengundang
gelak tawa. Nah…Apakah dalam diri anda ada karakter Den Baguse Ngarso,
si Priyayi Luhur kang dowo Ususe?
Pak Bina (diperankan oleh Heru Kesawamurti) memerankan karakter
seorang yang bijaksana, berwibawa, berwawasan kekinian, logis dalam
berfikir, menjadi panutan, menjadi hakim dalam permasalahan-permasalahan
yang di hadapi orang-orang sekitarnya.
Kuriman (Sepnu Heriyanto) dengan tampang khas orang deso, rambut agak
gondrong. Mewakili wong deso yang mudah emosi, gampang ngamukan,
ngeyelan, dan bicaranya kadang atos (kasar).
Tokoh lainnya yaitu kang Sronto (Sudiharjo) yang memerankan karakter
wong ndeso yang bisanya pasrah, nrimo ing pandum, nggak neko-neko, tidak
mudah emosi, tak punya inisiatif. Diperlakukan apa pun manut, asal bisa
hidup. Dan Yu Sronto (Muji Rahayu) memerankan aktivis desa yang kadang
hilang kontrol.
Karakter masing-masing tokoh memang sudah diseting sedemikian rupa
yang menggambarkan watak-watak khas orang desa. Tema yang dipilih pun
mengangkat kondisi riil masyarakat desa. Setiap episode memiliki alur
yang sama, yaitu adanya sebuah kasus tertentu, lalu timbul konflik,
kemudian diselesaikan oleh para penyuluh. Meski alurnya sederhana, tapi
ceritanya tetap enak diikuti karena permasalahan yang diangkat pun
bervariasi.
Saat ini kita miskin acara-acara televisi yang bertema pendidikan dan
penyuluhan semacam ini. Kita tidak katakan acara ‘mbangun deso’ ini
ideal, tapi paling tidak ada unsur-unsur positif yang disajikan kepada
pemirsa. Tayangan-tayangan yang ada saat ini lebih banyak unsur hiburan
semata untuk memuaskan penontonnya. Bahkan tidak jarang
tayangan-tayangan yang ada mengandung unsur yang bisa merusak moral
masyarakat. Sebut saja sinetron-sinetron yang ada saat ini yang lebih
banyak menampilkan perilaku negatif, alkohol, freesex, pacaran,
perkelahian, kebencian, hedonisme, dll yang sangat berpotensi merusak
tatanan nilai di masyarakat. Sayangnya, KPI kurang ada ada kepedulian
untuk melakukan kontrol terhadap siaran-siaran yang berdampak buruk
tersebut.
Demikan, selamat malam…
0 komentar:
Posting Komentar