Demikianlah kondisi mereka saat ‘rikinan’.
Para pekerja sadap karet berada dalam kondisi yang dilematis; terlebih dalam sistem pembagian hasil. Secara umum skema bagi hasil antara pekerja dan bos adalah 2 : 1. Artinya kalau harga karet laku 3.000.000 rupiah maka yang 2.000.000 untuk pekerja dan yang 1.000.000 untuk Bos. Sekilas terlihat menggiurkan karena para pekerja hanya bermodalkan dengkul dan pisau sadap sedangkan si Juragan modalnya besar -kebun karet-. Namun yang jadi permasalahan adalah anak buah harus menjual getahnya ke Bos dengan harga dibawah standar, bahkan bisa 30% di bawah harga pasar yang berlaku, bahkan kadang bisa lebih. Misalnya saja harga lelang 15.000/kg Bos karet menetapkan harga anak buahnya berkisar antara 10.000 sampai 12.000 saja. Dari harga penjualan ini masih dikurangi berat kotor biasanya 5%-15% tergantung kandungan kadar air dan serpihan tatal yang terbawa, dikurangi juga dengan biaya operasional semisal beli ZPT / perangsang getah dan dikurangi juga ongkos transportasi dari kebun ke dusun. Dari hasil inilah baru dibagi tiga. Dua bagian untuk pekerja dan satu bagian untuk Bos. Di sini si Bos punya dua keuntungan, keuntungan mendapat 1 bagian dari bagi hasil dengan anak buahnya; dan keuntungan menjual getah dari anak buahnya di pasar lelang dengan harga yang lebih kompetitif. Kalau mau dihitung fair dengan menggunakan patokan harga karet di pasar lelang atau pabrik, bisa jadi bos dapat 2 bagian sedangkan anak buah dapat satu bagian. Ya, bisa saja di daerah lain sistem bagi hasilnya tidak seperti ini, tapi inilah yang berlaku di sini. Namun, apa pun sistemnya, biasanya anak buah hanya dijadikan sapi perah bagi para majikan-majikan itu.
Bos-bos karet di sini punya perkumpulan semacam asosiasi sendiri untuk menetapkan harga getah anak buahnya. Andai ada perbedaan antar Bos dalam menetapkan harga karet anak buah biasanya tidak terlalu mencolok. Tidak sampai lebih dari kisaran seribuan rupiah. Bagaimana pun juga anak buah hanya bisa pasrah dengan keputusan Bos. Mereka tak punya posisi tawar yang kuat. Andai tidak setuju dengan harga yang diberikan, anak buah cuma punya dua pilihan: masih mau kerja atau keluar. Mereka tak punya pilihan lain. Tentu ini sebuah pilihan yang sulit. Anak buah harus puas dengan hasil yang ia peroleh.
Berbeda halnya dengan warga Mintobasuki yang di sini punya kebun karet sendiri. Mereka bebas mau menjual hasil kebunnya kemana pun dia mau tanpa perlu terikat dengan siapa pun dengan harga yang lebih bersaing. Ada dua pasar lelang dengan jadwal hari yang berbeda, di dusun Kotojayo dan di Trans desa Sungai Buluh. Harga kedua tempat ini sama-sama bersaing sehingga penjual punya keleluasaan untuk memilih. Namun tidak banyak warga Mintobasuki yang punya kebun karet sendiri, rata-rata adalah buruh sadap.
Anjloknya harga karet dua tahun terakhir ini dan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok merupakan beban berat bagi para buruh sadap karet. Hasil yang diperoleh tak sebanding untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ditambah lagi kondisi musim yang tidak mendukung dimana curah hujan masih cukup tinggi yang menghalangi mereka untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tahun ini benar-benar menjadi tahun suram bagi mereka. Di pasar lelang harta getah berkisar antara 8.000 sampai 10.000 per kilogram dan itu pun kabarnya terus menurun. Bisa dibayangkan ‘dirikin’ berapa para buruh sadap itu sama Bos-nya, tentunya di bawah kisaran tersebut. Jauh sekali dengan harga karet di tahun 2012 lalu yang masih di kisaran 16.000an per kilogram. Tak jelas apa penyebabnya namun kondisi ini telah melemahkan semangat para perantau untuk tetap bertahan dengan pekerjaannya yang sekarang.
Dampak lesunya harga karet menjadikan mereka banting stir untuk mencari sumber-sumber penghidupan lain. Sebagian mereka tejun menjadi penambang emas liar alias ‘nDompeng’, sebagian lagi pulang ke kampung halaman memulai usaha kecil-kecilan seadanya. Ada yang berjualan di kampung, bertani dan beternak. Apapun dilakukan asal ada pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun ada juga yang tetap gigih bertahan di sana terutama mereka yang memang memiliki kebun sendiri. Mereka tetap berharap kondisi tak menguntungkan ini cepat berlalu.
Kapankah kelesuan ini akan teratasi kita tidak tahu. Akan tetapi melihat kondisi politik dan ekonomi yang semprawut saat ini saya pribadi pesimis harga karet akan bisa normal seperti dua atau tiga tahun yang lalu. Penurunan harga karet ini ternyata tidak hanya dirasakan oleh para petani karet di Indonesia akan tetapi juga di negara-negara lain seperti Malaysia dan Vietnam. Banyak warga Mintobasuki yang bekerja di perkebunan karet Malaysia mengeluhkan hal serupa. Kita tunggu saja hari-hari ke depan. Kita semua tetap berharap kondisi ini akan segera pulih.
Sahabat Netter yang saya cintai, inilah sekilas gambaran kondisi saudara-saudara kita yang ada di perantauan Muarabungo. Bisa jadi kondisi perantau di tempat-tempat lain memiliki cerita yang berbeda pula. Di tulisan mendatang -insya Alloh- saya akan memaparkan bagaiman kehidupan sosial dan kemasyarakatan di sana.
Bersambung…
0 komentar:
Posting Komentar