Welcome to the Junggle, Man! Pertama-tama saya
akan ajak anda untuk melihat kondisi lingkungan fisik di sini yang
benar-benar beda dengan kondisi desa kita, Mintobasuki Asri.
Salah satu ruas jalan masuk ke kampung Darat dari dusun Kotojayo |
Masih ada satu akses jalan lagi untuk menjangkau kampung Darat ini. Kalau tadi dari arah selatan, yang ini dari arah utara. Tepatnya dari pemukiman transmigrasi Sungai Buluh, Rimbo Tengah. Orang sini cukup menyebutnya Trans saja. Pemukiman ini banyak ditempati orang-orang jawa yang bertransmigrasi era Orde Baru. Kampung Darat bisa diakses dari Trans melalui jalan kecil sekitar 4 KM ke arah selatan dengan menembus hutan karet. Setelah melewati perkebunan Sawit, jalan masuk hanya berupa jalanan setapak melintasi perkebunan karet warga dan hanya bisa dilewati motor roda dua atau jalan kaki. Jika hujan turun, jalan ini penuh lumpur dan licin. Untuk menuju Kota Muarabungo warga juga lewat sini dengan jarak tempuh sekitar 45an menit lewat Trans. Dari Trans ini akses ke kota sudah lancar karena melewati jalan utama Muarabungo-Kuamang Kuning.
Salah satu jalan tanjakan di kampung Darat yang telah di cor. |
Dengan kondisi fisik alam yang demian ekstrim tentu bisa kita bayangkan jika ada warga yang sakit dan secepatnya butuh perawatan medis. Dulu, untuk mengantar orang sakit haruslah dengan jalan kaki menuju dusun terdekat yang ada fasilitas pelayanan medis. Atau jika si sakit kondisinya benar-benar parah baru dipikul bersama-sama dengan bergantian untuk pergi ke dokter atau rumah sakit. Setelah motor bisa masuk wilayah sini penanganan si sakit pun lebih mudah, bisa langsung di antar ke dokter terdekat atau ke rumah sakit yang ada di kota Muarabungo.
Infrastruktur yang demikian parah ini menjadikan warga Kampung Darat yang mayoritasnya adalah warga Mintobasuki berinisiatif memperbaiki akses masuk yang ada. Sedikit demi sedikit jalan setapak diperbaiki. Sampai kemudian kendaraan roda dua bisa menjangkau bedeng-bedeng tempat tinggal mereka. Ini merupakan titik awal yang baik karena bisa memperlancar mobilitas warga. Akhirnya banyak warga yang kemudian membeli motor untuk menunjang aktifitas mereka sehari-hari, semisal pergi ke dusun, belanja ke pasar, berangkat kerja atau pun untuk saling mengunjungi sesama mereka.
Banyak hal yang berubah ketika sarana tranportasi bisa menjangkau daerah ini. Kalau dulu untuk ke pasar harus sebulan sekali, saat ini kapan pun mereka bisa pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhan harian. Alternatif belanja pun tidak hanya di pasar Danau, yang nota benenya pasar mingguan, tapi mereka juga bisa pergi belanja ke pasar kota Muarabungo. Di sana kebutuhan sehari-hari lebih lengkap dan harganya pun bisa lebih bersaing. Bukan hanya kebutuhan konsumsi saja yang ada di pasar Bungo, tapi juga kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti pakaian, perlengkapan kerja, perabotan rumah tangga, bahkan gadget dan semisalnya. Di sini ada dua pasar yang terkenal, Pasar atas dan pasar bawah. Umumnya untuk membeli kebutuhan pokok dan sayuran Pasar Atas yang jadi alternatif pertama.
Kembali ke kampung Darat…Sebenarnya ada satu lokasi lagi yang menjadi tempat tinggal warga Mintobasuki di sini yaitu Kulim. Lokasinya terpisah jauh dari Darat sekitar 5 KM arah ke Timur. Kondisi lingkungan fisiknya pun sama dengan Darat. Kelebihannya adalah untuk menjangkau jalan besar Muarabungo-Kuamang Kuning lebih dekat, sekitar 1 Km saja dengan akses yang memadai. Dari Darat menuju ke Kulim harus melewati rawa-rawa yang cukup luas yang sekarang sudah berubah menjadi dataran dengan hamparan pasir putih dan semak belukar serta kolam-kolam air. Dari mana asal muasalnya pasir putih dan kolam-kolam ini?
Penambang emas liar ketika masuk wilayah ini mereka mengeruk tanah sampai kedalaman tertentu untuk mendapatkan butir-butir emas dengan menembakkan air berkekuatan besar melalui mesin-mesin diesel. Orang disini menyebut aktivitas penambangan emas liar ini dengan nDompeng. Entah mengapa disebut demikian, mungkin karena umumnya mesin diesel yang mereka gunakan adalah merk Don Feng produk dari China sehingga untuk mempermudah penyebutannya diganti Dompeng. Dan kemudian nama ini dipakai untuk aktivitas mereka. Hasil yang ditinggalkannya adalah kolam-kolam lebar dan pasir-pasir putih yang menghampar. Hampir semua rawa-rawa di sini telah dijamah tangan-tangan para pen-Dompeng. Bahkan ketika lahan ‘perawan’ sudah habis, lahan bekas dompengannya pun di keruk lagi, berharap masih ada sisa-sisa yang tertinggal. Satu tim biasanya terdiri antara 5 sampai 7 orang.
Perbaikan Jalan Masuk Darat
Warga menyadari bahwa semakin baik infrastruktur akan semakin mempermudah aktivitas sehari-hari dan meningkatkan kegiatan ekonomi. Langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan perbaikan jalan masuk yang ada dengan dilakukan pengecoran. Warga bergotong royong membangun pengecoran jalan di titik-titik yang dianggap rawan saat musim hujan, terlebih di lokasi-lokasi tanjakan. Tidak kurang dari dua belas titik lokasi berbahaya yang telah dilakukan pengerasan yang didanai secara suka rela oleh warga sekitar. Untuk mendapatkan bahan baku semen mereka membeli dari toko bangunan di Trans, sedangkan pasirnya cukup dari rawa-rawa bekas penambangan liar. Hasilnya memang cukup memuaskan. Berkendara saat musim hujan pun tak lagi menjadi masalah.
Perbaikan ini tidak sekaligus, tapi dilakukan secara bertahap sejak tahun 2010. Mereka biasa saling bermusyawarah untuk menentukan segala kebutuhan untuk perbaikan, lokasi mana yang akan di-cor, kebutuhan material dan tenaga kerja, bahkan sampai kebutuhan konsumsi nantinya. Namun karena kurangnya perawatan, setelah beberapa tahun berlalu beberapa titik telah mengalami kerusakan yang parah sehingga butuh perbaikan.
Demikianlah sekilas gambaran kondisi lingkungan fisik yang ditempati warga Mintobasuki. Di tulisan mendatang insya Alloh akan kita telusuri aktifitas harian mereka…
0 komentar:
Posting Komentar