Kebersamaan di Perantauan…
Selepas menunaikan sholat Idul Adha mereka saling bercengkerama |
Nun jauh di sana, di pulau seberang di tanah Sumatra beberapa warga Mintobasuki juga melakukan hal yang sama. Pagi itu mereka menuju Mushalla mereka yang sederhana; yang dindingnya dari papan-papan kayu dan beratapkan seng. Mushalla itu berdiri di tengah rawa yang diapit dua bukit kecil yang rimbun oleh pohon karet. Rawa itu sudah tidak lagi berupa rawa karena sudah diubah para pen-Dompeng menjadi dataran berpasir. Di sebelahnya ada sungai kecil yang airnya selalu mengalir. Tak pernah kering meski musim kemarau. Ikan-ikan kecil berenang-renang di airnya yang jernih tuk mencari makan. Gemercik airnya terdengar sampai di dalam Mushalla. Di belakang Mushalla itu ada sebuah kolam nila milik warga yang sudah tidak terurus.
Mushalla itu berdiri di akhir tahun 2010 yang lalu dengan dana dan tenaga dari warga sini. Meski sederhana namun Mushalla itu cukup berarti bagi warga yang akan melakukan aktivitas ibadah misalnya sholat Jum’at daan sholat Ied semacam ini. Dulu, sebelum mushalla ini berdiri warga yang akan sholat Jum’at atau sholat Id harus pergi ke Masjid Trans atau ke dusun Kotojayo. Terkadang harus jalan kaki menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dengan kondisi semacam ini banyak warga yang akhirnya tidak melakukan sholat Jum’at. Alhamdulillah, dengan adanya Mushalla sederhana ini aktivitas ibadah terfasilitasi.
Pagi itu yang bertindak sebagai khotib sekaligus imam sholat adalah Purwanto (Abu Shofiyyah) asal Lampung menikah dengan warga Mintobasuki dan ber-KTP Mintobasuki. Mereka melaksanakan sholat Idul Adha di halaman Mushalla dengan beralaskan sak plastik. Meski sederhana namun aktivitas ibadah pagi itu berlangsung khidmat. Selesai melaksanakan sholat Id dilanjutkan dengan bincang-bincang sambil menikmati hidangan seadanya yang disediakan. Hari itu mereka tidak pergi ke kebun seperti hari-hari biasanya. Hari ini adalah hari raya kami. Kehangatan dan persaudaraan antar sesama warga perantauan begitu terasa.
Beginilah kebersamaan warga mintobasuki yang ada di perantauan. Rasa persaudaraan itu terpupuk karena adanya perasaan senasib sebagai anak-anak rantau yang jauh dari kampung halaman. Kebiasaan saling mengunjungi dan saling berbagi mewarnai pergaulan mereka sehari-hari. Saling tolong dan saling dukung sudah merupakan kewajiban di antara mereka. Jika di antara mereka ada yang sakit seolah semuanya merasa turut merasakan. Mereka berusaha membantu dengan apa pun yang mereka punya. Begitu pula jika ada di antara mereka yang lagi punya hajat dengan suka rela mereka berbondong-bondong untuk membantu. Bahkan mereka rela meninggalkan pekerjaannya di hari itu demi untuk membantunya. Semisal membuat bedeng baru untuk tempat tinggal, atau ada yang nikahan, atau pun kebutuhan lainnya. Demikian pula jika ada kesusahan yang dialami salah seorang di antara mereka; mereka berusaha mengunjunginya untuk menenangkan hatinya.
*********
Suasana pasar Atas Muara Bungo yang menjadi tempat belanja kebutuhan pokok para pekerja karet. |
Pasar Atas Muarabungo selain sebagai tempat berjual beli kebutuhan sehari-hari juga sebagai tempat saling bertemu dan berkumpul warga Mintobasuki yang ada di seantero Kab Muarabungo ini. Biasanya mereka berbelanja di hari Jum’at karena kebiasaan ‘rikinan’ (baca: terima gaji) juga di hari Jum’at. Bukan hanya warga Mintobasuki yang ada di Darat, Kulim atau Kayu Arao saja yang datang ke sini tapi juga dari tempat-tempat lain. Di sinilah tempat mereka saling tukar pikiran dan menanyakan keadaan antara satu dengan yang lainnya. Sunguh terasa kehangatan dan keakraban di sini. Biasanya mereka baru kembali ke rumah (baca: bedeng) sehabis ashar atau sebelumnya.
Dulu, sebelum motor bisa masuk ke hutan karet, pasar yang menjadi tujuan belanja adalah pasar Jum’at di dusun Danau. Dengan jalan kaki mereka ke sana menerobos semak-semak hutan karet mengambil jalan pintas. Berangkat sehabis subuh dan pulang menjelang maghrib dengan memikul barang-barang kebutuhan harian. Namun kini sudah tidak zamannya lagi, mereka bisa bawa motor ketika belanja. Lebih hemat waktu dan tenaga. Mereka pun bisa memilih ke Danau atau Muarabungo.
******
Tiga puluh tahun silam, di pedalaman hutan karet yang luasnya ribuan
hektar ini hanya ada beberapa orang saja yang berani tinggal. Semuanya
dari desa Mintobasuki. Merekalah generasi perintis di sini. Di bedeng
yang sangat sederhana dari bilah-bilah papan dan atap welit. Bisa
dibayangkan betapa beratnya hidup seorang diri di tengah hutan karet
seperti itu. Trans Sungai Buluh belumlah dibuka oleh pemerintah. Saat
itu kawasan tersebut masih berupa hutan dan semak belukar. Satu-satunya
akses ke luar adalah ke dusun Kotojayo yang berjarak sekitar 7 Km dengan
menerobos hutan. Jalan utama saat itu belum ada, yang ada hanya jalan
setapak. Hanya lorong-lorong bersemak yang ada. Terkadang harus
menghindari binatang buas seperti harimau atau pun ular-ular hutan yang
berbisa. Benar-benar hanya orang yang bernyali besar yang berani tinggal
di sini. Yaah, semuanya mereka jalani demi sebuah harapan untuk hidup
yang lebih baik; untuk mereka dan demi keluarga mereka.Namun, seiring berjalannya waktu, tempat itu kini lebih baik dari masa-masa itu. Hampir tiap bidang Kebun karet sudah ada bedeng-bedeng yang ditempati pekerja. Meski jarak antar bedeng saling berjauhan tapi kondisi ini jauh lebih baik dari pada 30 tahun yang lalu. Saat ini ada belasan warga yang tinggal di kawasan ini, dan banyak di ataranya adalah warga MintobasukiKec Gabus Kab Pati.
Foto-foto keakraban warga di perantauan
0 komentar:
Posting Komentar