*** SELAMAT DATANG *** Ini adalah blog pribadi yang dikelola secara independen oleh Netter desa Mintobasuki kec. Gabus kab. Pati. Blog Mintobasuki Gabus Pati bukanlah blog resmi pemerintahan desa Mintobasuki. Blog ini tidak ada hubungan dalam bentuk apa pun dengan organisasi, kelompok dan kepentingan tertentu di desa Mintobasuki. Artikel-artikel yang disajikan adalah tulisan lepas yang berisi uneg-uneg, ide, pemikiran, opini pribadi penulis dan pernik-pernik terkait desa Mintobasuki.

Area Persawahan di sebelah timur Desa Mintobasuki

Lahan pertanian yang cukup luas membentang di bagian timur desa. Hasil pertanian yang dihasilkan antara lain padi, jagung, kacang-kacangan dan beraneka ragam sayuran.

Kali Tambak untuk sarana irigasi pertanian

Sungai kecil yang membujur di sebelah timur desa yang berhulu di Sungai Silugonggo memiliki arti penting sebagai sarana irigasi.

Pesona desa Mintobasuki

Nuansa alam desa yang nyaman, udara yang segar, pemandangan yang indah menjadikan desa Mintobasuki kian anggun dan menyimpan pesona tersendiri.

Sektor pertanian yang perlu dikembangkan

Mintobasuki memiliki lahan pertanian sekitar 90 Hektar terdiri atas lahan basah dan kering. Oleh karenanya perlu ada upaya yang matang untuk mengembangkan sektor ini. Selain itu, pertanian menjadi mata pencaharian sebagian besar warga Mintobasuki sampai saat ini.

Sarana peribadahan yang cukup memadai

Desa Mintobasuki memiliki 5 Musholla dan 1 Masjid Agung Al-Amin yang saat ini dalam tahap pembangunan. Dengan adanya sarana penunjang yang cukup memadai ini diharapkan mampu mengakomodir kebutuhan warga dalam beribadah.

Pertanian merupakan mata pencaharian mayoritas warga

Sektor pertanian tetap menjadi mata pencaharian dan primadona bagi masyarakat desa Mintobasuki, meski dengan seiring bertambahnya waktu, profesi dan mata pencaharian warga kian heterogen.

Sektor Perikanan di Mintobasuki

Sungai Silugonggo yang bermuara ke laut utara ternyata memberi berkah tersendiri bagi warga Mintobasuki. Hasil tangkapan ikannya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warga yang berprofesi sebagai nelayan.

Rabu, 29 April 2015

Hari ini Pelantikan Kepala Desa Mintobasuki Terpilih


11151017_1017858574915692_3123457930531467124_nHari ini Kepala Desa Mintobasuki terpilih – Bapak Santoso – resmi di lantik. Pelantikan ini bersamaan dengan pelantikan 51 Kades terpilih dari 4 kecamatan, yaitu Kayen, Gabus, Tambakromo dan  Sukolilo. Upacara pelantikan yang dilaksanakan di kantor Kecamatan Kayen pagi tadi berjalan dengan tertib dan lancar. Pemerintahan Kabupaten Pati memang telah menjadwalkan pelantikan secara serentak pada tanggal 28 dan 29 April di seluruh Kabupaten Pati. Pelantikan dilakukan di 4 tempat terpisah sesuai kedekatan wilayah masing-masing kecamatan. Tanggal 28 April kemarin dilakukan pelantikan di pendopo Kemiri dan Kantor kecamatan Tayu. Sedangkan hari ini 29 April dilakukan pelantikan di Kantor Kecamatan Kayen dan Jakenan. Total seluruh kepala desa terpilih yang dilantik sebanyak 219 orang. Pelantikan dilakukan langsung oleh Bapak Bupati Pati, Haryanto, SH, MM dan wakilnya  H Budiyono.



Pelantikan kali ini juga dihadiri oleh Camat masing-masing wilayah, Wakapolres Pati, Kapolsek masing-masing kecamatan , Danramil, SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) Pati, BPD, PLT dan ketua panitia Pilkades. Acara dimulai pukul 08.00 sampai 11.00 WIB. Susunan acaranya dimulai dengan pembukaan , dilanjutkan pengambilan sumpah jabatan Kades terpilih, kemudian pendandatangan dan penyerahan SK , diteruskan sambutan Bupati Pati-Bp Haryanto , lalu istirahat , dan dilanjutkan pengucapan selamat oleh Bupati dan Wakil Bupati , serta penutupan.
Dengan demikian Bapak Santoso resmi menjabat Kepala Desa Mintobasuki untuk periode 6 tahun ke depan. Harapannya ke depan desa Mintobasuki akan menjadi lebih baik, lebih maju dan lebih berkembang, serta mampu meneruskan program pembangunan yang telah dicapai oleh Kepala Desa sebelumnya, Ibu Dwi K. Tentunya dukungan dari seluruh lapisan masyarakat sangat dibutuhkan demi tercapainya tujuan-tujuan pembangunan tersebut. Kerjasama dan saling membantu sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing demi terwujudnya harapan yang lebih baik di masa-masa mendatang.

Sudah saatnya kita saling merapatkan barisan dan melangkah bersama, menghangatkan kembali keakraban yang sempat membeku, merajut kembali kebersamaan yang sempat terkoyak, menyambung kembali hubungan yang sempat terputus, dan menghapuskan sisa-sisa duri yang masih melekat di hati tuk bersama-sama menuju Mintobasuki ASRI, Aman – Sejahtera – Ramah dan Islami. Aman desanya, Sejahtera penduduknya, Ramah warganya dan Islami masyarakatnya. (yos)

Rabu, 22 April 2015

Sebuah Catatan: Warga Mintobasuki di Perantauan – Bag 6 (Selesai)


Image0254
Bocah-bocah perantauan

Berbicara tentang perantauan adalah berbicara tentang perjuangan. Dan berbicara tentang perjuangan adalah berbicara tentang pengorbanan. Perjuangan untuk mengejar mimpi dan harapan di hari esok yang lebih baik. Untuk menggapai impian itu dia harus rela meninggalkan kampung halaman; tempat dimana ia dilahirkan; tempat dimana dia tumbuh; dan tempat dimana kenangan-kenangan indah itu pernah ia lalui. Dia harus tegar tatkala harus meninggalkan orang-orang yang  yang di cintainya; anak-anak yang menjadi penghibur hatinya; istri yang setia mendampinginya; orang tua yang selalu membimbingnya; dan para kerabat yang dikasihinya. Dia harus berani membunuh kerinduan tatkala kerinduan itu menyeruak hadir dalam jiwanya. Hanya mereka yang punya nyali besar yang berani menghadapi tantangan sebagai perantau. Karena perantauan adalah perjuangan tanpa kenal kata menyerah…

Berbicara tentang perantauan adalah berbicara tentang hidup di pengasingan. Hidup tanpa sanak saudara dan handai taulan. Hidup di suatu negeri yang penghuninya tak mengenal dirinya begitu pun dia tidak mengenal para penghuninya. Terkadang dia harus rela menjadi orang yang terpinggirkan dalam kancah pergaulan. Tak ada mata yang peduli padanya. Tak ada hati yang menaruh iba untuknya. Tak ada tangan yang terjulur menolongnya. Dan tak ada pundak tempat bersandar baginya. Ya…karena mereka adalah orang asing. Deritanya hanyalah dirasakan sendiri, perihnya hanya dipendam sendiri, dan keluh kesahnya hanya disimpan di hati. Hanya pada Allohlah tempatnya mengadu. Namun ia harus tetap kokoh dan kuat.


Berbicara tentang perantauan adalah berbicara tentang tempaan hidup, kerja keras dan perjuangan yang sarat dengan suka duka tuk menggapai asa. Jika kita mendengar kisah-kisah mereka tentulah ada berjuta inspirasi yang kita dapati. Inspirasi untuk tetap kokoh dan tegar dalam menghadapi berbagai terpaan dan hempasan badai cobaan. Ya, tiada kesuksesan dalam ranah apa pun tanpa diwarnai pengorbanan, kerja keras, kesungguhan, ketekunan, cucuran keringat bahkan uraian air mata. Ini bukanlah omong kosong para pembual. Juga bukan kata-kata retorika para orator. Tapi ini adalah kenyataan. Tidak ada istilah keajaiban untuk bisa meraih kesuksesan. Tak ada keberhasilan bagi mereka yang duduk berpangku tangan.

Berbicara tentang perantauan adalah berbicara tentang pengalaman-pengalaman baru yang tidak pernah ia dapatkan di tanah kelahirannya. Alam telah menjadi kampus kulih untuknya. Perjalanan panjang yang dilaluinya menjadi mata kuliah baginya. Dan semua itu akan menjadi mutiara-mutiara berharga di masa-masa yang akan di laluinya.

Perantau Mintobasuki di tanah seberang.
 Mereka tinggalkan kampung kelahirannya dan orang-orang yang ia cintai. Ia harus rela meninggalkan wajah-wajah yang penuh kesedihan dengan kepergiannya. Ia harus pura-pura tersenyum sambil berucap: “Jangan sedih, aku akan kembali”. Kawan, tahukah engkau apa yang ada di dada mereka tatkala mengucapkan kata-kata itu? Dada itu bergemuruh menahan sesaknya kesedihan yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang mengalaminya.
Kemudian dengan berat hati ia harus melangkah pergi dengan satu harapan bisa berjumpa dengan mereka suatu hari nanti. Ya, berjumpa dengan sesuatu yang berbeda dengan perpisahan hari ini. Berjumpa dengan membawa keceriaan untuk mereka. Pulang dengan membawa harapan indah yang diidamkan.

Kawan, perjalanan perantau adalah perjalanan yang penuh siksaan. Berhari-hari dia harus berguncang-guncang di atas kendaraan yang membuat badan serasa remuk redam. Terkadang harus menahan lapar dan dahaga. Terkadang harus bertemu dengan orang-orang yang buruk akhlak dan perangainya. Melintasi lautan menuju tanah seberang, menuju negeri yang akan memberikan harapan baru untuknya dan orang-orang yang ia cintai. Di sanalah ia menjadi orang asing dan terbuang. Ia tidak tahu akan bahagia ataukah celaka di sana. Yang ia punya hanya harapan…

Jauh-jauh dia meninggalkan tanah kelahirannya bukanlah untuk tinggal di tengah kota metropolitan yang terang benderang dengan lampu-lampu jalanan. Akan tetapi ini adalah hutan belantara yang gelap gulita dengaan diterangi lampu temaram. Jauh-jauh ia tinggalkan rumahnya yang nyaman dan berpindah di sebuah gubug tua berdinding papan dan beratap rumbia. Jauh-jauh ia tinggalkan kehangatan bersama keluarga menuju tempat yang dingin dan sepi seorang diri. Di sinilah dia harus memulai hidup baru demi mendapatkan sebongkah mutiara harapan yang ia impikan tatkala meninggalkan negerinya. Tidak ada waktu untuk berleha-leha dan bersantai-santai di sini. Yang ada hanyalah berlari tuk segera mewujudkan mimpi.

Ia torehkan harapan-harapannya dibatang-batang karet itu dan berharap ada keberuntungan yang akan mengalir untuknya. Mengalir memenuhi pundi-pundi mimpinya. Di situlah ia berteduh; di situ kadang ia terlelap dalam pelukan mimpi. Dan terkadang rasa lemah itu datang. Ketika kelemahan itu datang terbayanglah wajah-wajah orang yang ia cintai; seolah menguatkan hatinya. Wajah-wajah yang merindukannya dan wajah-wajah yang ia ridukan. Kelemahan hanya akan menjadikannya kian lama tinggal di tempat ini. Siapa orangnya yang rela berlama-lama di tempat ini, dia harus segera bangkit lagi tuk berlari mengejar mimpi.
Ketika tiba waktunya, ia pun akan meninggalkan tempat itu dan kembali ke kampung halamannya; kembali ke tengah-tengah orang yang dicintai dan mencintainya. Ia akan kembali dengan senyum sebagaimana dulu ia telah meninggalkan mereka dengan tangis dan kesedihan. Ia akan bercerita tentang hari-harinya di perantauan. Ia akan berkisah tentang siang-siangnya yang panjang dan malam-malamnya yang kelam.

Ya, dia telah melewati masa-masa pengasingan di perantauan. Ia telah melewati hari-hari berat penuh tempaan dan perjuangan. Dan kini ia harus kembali ke negeri kelahirannya dengan penuh suka cita. Bagi para perantau perjalanan menuju kampung halaman adalah perjalanan menuju ‘surga’. Telah hilang keletihan; telah sirna kesedihan dan telah pudar hari-hari penantian. Semuanya akan terbayar di hari ini; terbayar dengan perjumpaan dengan orang-orang yang ia cintai.
Jangan kau iri dengan keberhasilan mereka sebelum engkau tahu kesedihan dan kepedihan yang mereka rasakan. Karena mereka tidaklah membeli semua itu dengan harga murah. Ada perjuangan, ada pengorbanan, ada keringat dan dan ada air mata.

Demikianlah sekelumit gambaran para perantau Mintobasuki yang ada di Pulau Sumatra, semoga bisa memberikan inspirasi kepada kita agar lebih termotifasi dalam menggapai asa dan harapan untuk hidup yang lebih baik.
Wassalam…

Sebuah Catatan: Warga Mintobasuki di Perantauan – Bag 5


Kebersamaan di Perantauan…
Image0533
Selepas menunaikan sholat Idul Adha mereka saling bercengkerama

Hari itu tanggal 10 Dzulhijjah 1432H atau bertepatan dengan tanggal 6 November 2011. Saat itu warga Mintobasuki berbondong-bondong menuju Masjid Al-Amin untuk menunaikan sholat Idul Adha dan dilanjutkan menyembelih hewan qurban.
Nun jauh di sana, di pulau seberang di tanah Sumatra beberapa warga Mintobasuki juga melakukan hal yang sama. Pagi itu mereka menuju Mushalla mereka yang sederhana; yang dindingnya dari papan-papan kayu dan beratapkan seng. Mushalla itu berdiri di tengah rawa yang diapit dua bukit kecil yang rimbun oleh pohon karet. Rawa itu sudah tidak lagi berupa rawa karena sudah diubah para pen-Dompeng menjadi dataran berpasir. Di sebelahnya ada sungai kecil yang airnya selalu mengalir. Tak pernah kering meski musim kemarau. Ikan-ikan kecil berenang-renang di airnya yang jernih tuk mencari makan. Gemercik airnya terdengar sampai di dalam Mushalla. Di belakang Mushalla itu ada sebuah kolam nila milik warga yang sudah tidak terurus.

Mushalla itu berdiri di akhir tahun 2010 yang lalu dengan dana dan tenaga dari warga sini. Meski sederhana namun Mushalla itu cukup berarti bagi warga yang akan melakukan aktivitas ibadah misalnya sholat Jum’at daan sholat Ied semacam ini. Dulu, sebelum mushalla ini berdiri warga yang akan sholat Jum’at atau sholat Id harus pergi ke Masjid Trans atau ke dusun Kotojayo. Terkadang harus jalan kaki menempuh perjalanan yang cukup jauh. Dengan kondisi semacam ini banyak warga yang akhirnya tidak melakukan sholat Jum’at. Alhamdulillah, dengan adanya Mushalla sederhana ini aktivitas ibadah terfasilitasi.



Image0461
Bincang-bincang sehabis sholat Jumat


Pagi itu yang bertindak sebagai khotib sekaligus imam sholat adalah Purwanto (Abu Shofiyyah) asal Lampung menikah dengan warga Mintobasuki dan ber-KTP Mintobasuki. Mereka melaksanakan sholat Idul Adha di halaman Mushalla dengan beralaskan sak plastik. Meski sederhana namun aktivitas ibadah pagi itu berlangsung khidmat. Selesai melaksanakan sholat Id dilanjutkan dengan bincang-bincang sambil menikmati hidangan seadanya yang disediakan. Hari itu mereka tidak pergi ke kebun seperti hari-hari biasanya. Hari ini adalah hari raya kami. Kehangatan dan persaudaraan antar sesama warga perantauan begitu terasa.

Beginilah kebersamaan warga mintobasuki yang ada di perantauan. Rasa persaudaraan itu terpupuk karena adanya perasaan senasib sebagai anak-anak rantau yang jauh dari kampung halaman. Kebiasaan saling mengunjungi dan saling berbagi mewarnai pergaulan mereka sehari-hari. Saling tolong dan saling dukung sudah merupakan kewajiban di antara mereka. Jika di antara mereka ada yang sakit seolah semuanya merasa turut merasakan. Mereka berusaha membantu dengan apa pun yang mereka punya. Begitu pula jika ada di antara mereka yang lagi punya hajat dengan suka rela mereka berbondong-bondong untuk membantu. Bahkan mereka rela meninggalkan pekerjaannya di hari itu demi untuk membantunya. Semisal membuat bedeng baru untuk tempat tinggal, atau ada yang nikahan, atau pun kebutuhan lainnya. Demikian pula jika ada kesusahan yang dialami salah seorang di antara mereka; mereka berusaha mengunjunginya untuk menenangkan hatinya.

*********

Pasar menjadi tempat saling ketemu…
05
Suasana pasar Atas Muara Bungo yang menjadi tempat belanja kebutuhan pokok para pekerja karet.


Pasar Atas Muarabungo selain sebagai tempat berjual beli kebutuhan sehari-hari juga sebagai tempat saling bertemu dan berkumpul warga Mintobasuki yang ada di seantero Kab Muarabungo ini. Biasanya mereka berbelanja di hari Jum’at karena kebiasaan ‘rikinan’ (baca: terima gaji) juga di hari Jum’at. Bukan hanya warga Mintobasuki yang ada di Darat, Kulim atau Kayu Arao saja yang datang ke sini tapi juga dari tempat-tempat lain. Di sinilah tempat mereka saling tukar pikiran dan menanyakan keadaan antara satu dengan yang lainnya. Sunguh terasa kehangatan dan keakraban di sini. Biasanya mereka baru kembali ke rumah (baca: bedeng) sehabis ashar atau sebelumnya.
Dulu, sebelum motor bisa masuk ke hutan karet, pasar yang menjadi tujuan belanja adalah pasar Jum’at di dusun Danau. Dengan jalan kaki mereka ke sana menerobos semak-semak hutan karet mengambil jalan pintas. Berangkat sehabis subuh dan pulang menjelang maghrib dengan memikul barang-barang kebutuhan harian. Namun kini sudah tidak zamannya lagi, mereka bisa bawa motor ketika belanja. Lebih hemat waktu dan tenaga. Mereka pun bisa memilih ke Danau atau Muarabungo.

******
Tiga puluh tahun silam, di pedalaman hutan karet yang luasnya ribuan hektar ini hanya ada beberapa orang saja yang berani tinggal. Semuanya dari desa Mintobasuki. Merekalah generasi perintis di sini. Di bedeng yang sangat sederhana dari bilah-bilah papan dan atap welit. Bisa dibayangkan betapa beratnya hidup seorang diri di tengah hutan karet seperti itu. Trans Sungai Buluh belumlah dibuka oleh pemerintah. Saat itu kawasan tersebut masih berupa hutan dan semak belukar. Satu-satunya akses ke luar adalah ke dusun Kotojayo yang berjarak sekitar 7 Km dengan menerobos hutan. Jalan utama saat itu belum ada, yang ada hanya jalan setapak. Hanya lorong-lorong bersemak yang ada. Terkadang harus menghindari binatang buas seperti harimau atau pun ular-ular hutan yang berbisa. Benar-benar hanya orang yang bernyali besar yang berani tinggal di sini. Yaah, semuanya mereka jalani demi sebuah harapan untuk hidup yang lebih baik; untuk mereka dan demi keluarga mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, tempat itu kini lebih baik dari masa-masa itu. Hampir tiap bidang Kebun karet sudah ada bedeng-bedeng yang ditempati pekerja. Meski jarak antar bedeng saling berjauhan tapi kondisi ini jauh lebih baik dari pada 30 tahun yang lalu. Saat ini ada belasan warga yang tinggal di kawasan ini, dan banyak di ataranya adalah warga MintobasukiKec Gabus Kab Pati.

Foto-foto keakraban warga di perantauan
Foto0252 Foto0240  Image0864Foto0244

Senin, 20 April 2015

Sebuah Catatan: Warga Mintobasuki di Perantauan – Bag 4



Kondisi Pekerja Sadap Karet yang Dilematis… Rumah besar yang menghadap jalan perkampungan itu pagi ini nampak ramai. Belasan orang terlihat duduk-duduk di teras dan bangku-bangku yang ada di situ sambil asik ngobrol dan merokok. Hampir seluruhnya warga Mintobasuki, pekerja dari kampung Darat, Kulim dan Kayu Arao. Satu persatu dipanggil si Bos untuk totalan hasil kerja selama sebulan ini. Terdengar saling tawar menawar harga. Beberapa kali si Bos suaranya meninggi menolak permintaan anak buah. Namun juga kadang terdengar tawa kelakar. Pagi itu ada wajah berseri, ada wajah muram dan ada pula yang tanpa ekspresi menerima ‘raport’ kerja mereka. Orang sini menyebutnya ‘rikinan’ atau mungkin kalau bahasa kita totalan. Biasanya sebulan sekali, di hari Jum’at atau Kamis sore bersamaan dengan pembukaan harga pasar lelang di dusun Kotojayo. Terkadang habis rikinan malah hasilnya masih hutang sama Bos karena uangnya sudah diambil duluan di depan. Ada yang seri, alias impas sama hutangnya. Ada pula yang punya lebihan untuk digunakan memenuhi kebutuhan mereka.
Demikianlah kondisi mereka saat ‘rikinan’.

Para pekerja sadap karet berada dalam kondisi yang dilematis; terlebih dalam sistem pembagian hasil. Secara umum skema bagi hasil antara pekerja dan bos adalah 2 : 1. Artinya kalau harga karet laku 3.000.000 rupiah maka yang 2.000.000 untuk pekerja dan yang 1.000.000 untuk Bos. Sekilas terlihat menggiurkan karena para pekerja hanya bermodalkan dengkul dan pisau sadap sedangkan si Juragan modalnya besar -kebun karet-. Namun yang jadi permasalahan adalah anak buah harus menjual getahnya ke Bos dengan harga dibawah standar, bahkan bisa 30% di bawah harga pasar yang berlaku, bahkan kadang bisa lebih. Misalnya saja harga lelang 15.000/kg Bos karet menetapkan harga anak buahnya berkisar antara 10.000 sampai 12.000 saja. Dari harga penjualan ini masih dikurangi berat kotor biasanya 5%-15% tergantung kandungan kadar air dan serpihan tatal yang terbawa, dikurangi juga dengan biaya operasional semisal beli ZPT / perangsang getah dan dikurangi juga ongkos transportasi dari kebun ke dusun. Dari hasil inilah baru dibagi tiga. Dua bagian untuk pekerja dan satu bagian untuk Bos. Di sini si Bos punya dua keuntungan, keuntungan mendapat 1 bagian dari bagi hasil dengan anak buahnya; dan keuntungan menjual getah dari anak buahnya di pasar lelang dengan harga yang lebih kompetitif. Kalau mau dihitung fair dengan menggunakan patokan harga karet di pasar lelang atau pabrik, bisa jadi bos dapat 2 bagian sedangkan anak buah dapat satu bagian. Ya, bisa saja di daerah lain sistem bagi hasilnya tidak seperti ini, tapi inilah yang berlaku di sini. Namun, apa pun sistemnya, biasanya anak buah hanya dijadikan sapi perah bagi para majikan-majikan itu.

Bos-bos karet di sini punya perkumpulan semacam asosiasi sendiri untuk menetapkan harga getah anak buahnya. Andai ada perbedaan antar Bos dalam menetapkan harga karet anak buah biasanya tidak terlalu mencolok. Tidak sampai lebih dari kisaran seribuan rupiah. Bagaimana pun juga anak buah hanya bisa pasrah dengan keputusan Bos. Mereka tak punya posisi tawar yang kuat. Andai tidak setuju dengan harga yang diberikan, anak buah cuma punya dua pilihan: masih mau kerja atau keluar. Mereka tak punya pilihan lain. Tentu ini sebuah pilihan yang sulit. Anak buah harus puas dengan hasil yang ia peroleh.
Berbeda halnya dengan warga Mintobasuki yang di sini punya kebun karet sendiri. Mereka bebas mau menjual hasil kebunnya kemana pun dia mau tanpa perlu terikat dengan siapa pun dengan harga yang lebih bersaing. Ada dua pasar lelang dengan jadwal hari yang berbeda, di dusun Kotojayo dan di Trans desa Sungai Buluh. Harga kedua tempat ini sama-sama bersaing sehingga penjual punya keleluasaan untuk memilih. Namun tidak banyak warga Mintobasuki yang punya kebun karet sendiri, rata-rata adalah buruh sadap.

Anjloknya harga karet dua tahun terakhir ini dan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok merupakan beban berat bagi para buruh sadap karet. Hasil yang diperoleh tak sebanding untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Ditambah lagi kondisi musim yang tidak mendukung dimana curah hujan masih cukup tinggi yang menghalangi mereka untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tahun ini benar-benar menjadi tahun suram bagi mereka. Di pasar lelang harta getah berkisar antara 8.000 sampai 10.000 per kilogram dan itu pun kabarnya terus menurun. Bisa dibayangkan ‘dirikin’ berapa para buruh sadap itu sama Bos-nya, tentunya di bawah kisaran tersebut.  Jauh sekali dengan harga karet di tahun 2012 lalu yang masih di kisaran 16.000an per kilogram. Tak jelas apa penyebabnya namun kondisi ini telah melemahkan semangat para perantau untuk tetap bertahan dengan pekerjaannya yang sekarang.

Dampak lesunya harga karet menjadikan mereka banting stir untuk mencari sumber-sumber penghidupan lain. Sebagian mereka tejun menjadi penambang emas liar alias ‘nDompeng’, sebagian lagi pulang ke kampung halaman memulai usaha kecil-kecilan seadanya. Ada yang berjualan di kampung, bertani dan beternak. Apapun dilakukan asal ada pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun ada juga yang tetap gigih bertahan di sana terutama mereka yang memang memiliki kebun sendiri. Mereka tetap berharap kondisi tak menguntungkan ini cepat berlalu.

Kapankah kelesuan ini akan teratasi kita tidak tahu. Akan tetapi melihat kondisi politik dan ekonomi yang semprawut saat ini saya pribadi pesimis harga karet akan bisa normal seperti dua atau tiga tahun yang lalu. Penurunan harga karet ini ternyata tidak hanya dirasakan oleh para petani karet di Indonesia akan tetapi juga di negara-negara lain seperti Malaysia dan Vietnam. Banyak warga Mintobasuki yang bekerja di perkebunan karet Malaysia mengeluhkan hal serupa. Kita tunggu saja hari-hari ke depan. Kita semua tetap berharap kondisi ini akan segera pulih.

Sahabat Netter yang saya cintai, inilah sekilas gambaran kondisi saudara-saudara kita yang ada di perantauan Muarabungo. Bisa jadi kondisi perantau di tempat-tempat lain memiliki cerita yang berbeda pula. Di tulisan mendatang -insya Alloh- saya akan memaparkan bagaiman kehidupan sosial dan kemasyarakatan di sana.
Bersambung…

Minggu, 19 April 2015

Sebuah Catatan: Warga Mintobasuki di Perantauan – Bag 3


Mari kita menyadap karet…
Image0915
Perkebunan karet yang masih berusia muda dan belum bisa disadap

Pagi yang sempurna…. Sang mentari mulai memancarkan kemilau sinarnya yang menghangatkan bumi. Langit biru cerah tanpa awan yang berarti. Kabut tipis yang menutupi lereng perkebunan karet berangsur-angsur memudar. Kicau burung-burung di atas rimbun pepohonan seolah bernyayi menyambut hari ini. Simpai-simpai berbulu coklat pirang bergelantungan di pepohonan mencari makan biji-bijian karet muda. Di kejauhan sana terdengar sayup-sayup suara Ungko bersahutan seperti ko-or paduan suara. Sesekali terdengar koar burung rangkok yang terbang di angkasa. Suara kepakkan sayapnya turut meramaikan simponi pagi ini.
Bedeng tua dari bilah papan itu sudah sepi ditinggal penghuninya sejak lepas subuh tadi. Mereka sudah sibuk berlari-lari kecil dari satu batang ke batang karet berikutnya. Menorehkan pisau sadapnya, menyayat kulit-kulit bergetah itu. Cairan putih pun mengucur ke sayak-sayak tempurung kelapa. Sebilah golok terselip di pinggangnya. Wadah obat nyamuk tak lupa terikat di punggungnya. Sepatu kebun dan tutup kepala menjadi pakaian dinas hariannya. Terkadang harus mengoleskan racun pestisida ke kaki untuk menghalangi ulah pacet-pacet penghisap darah. Tak jarang pacet-pacet itu naik sampai ke kepala untuk cari minum darah segar, terlebih jika habis hujan dan suasana hutan lembab seolah mereka ingin pesta pora darah manusia.


Biasanya siang hari mereka istirahat sebentar untuk makan dan sholat, setelah cukup melepas penat mereka melanjutkan lagi pekerjaannya sampai habis ashar. Sehari bisa menyelesaikan 400-600 batang, tergantung keahlian masing-masing pekerja. Selain itu kondisi umur pohon karet juga berpengaruh terhadap kecepatan penyadapan. Sadapan kulit pohon karet muda lebih mudah dari pada karet tua sebab kulit karet muda masih virgin belum ada bekas kulit pulihan, beda dengan karet tua yang sudah berupa kulit pulihan yang kadang tidak sempurna sehingga timbul benjolan sana sini. Sayatan mengikuti kontur yang tidak rata ini yang memperlama pekerjaan.
Image0269
Bedeng dari papan kayu yang menjadi tempat tinggal para pekerja

Terkadang yang menjadi masalah adalah ketika hujan turun sedangkan getah encer di sayak belum membeku. Akibatnya getah bercampur air hujan menjadi rusak dan banyak terbuang. Beruntung kalau masih tersisa, terkadang hujan yang lebat menghabiskan seluruh getah cair di sayak dan hanya menyisakan lapisan-lapisan tipis latex. Di sini hujan turun sepanjang tahun, bahkan kemarau pun masih sering turun hujan. Tapi pekerja sini tidak kekurangan akal, mereka percepat proses pembekuan getah dengan menyemprotkan pupuk TSP yang dilarutkan ke air. Memang langkah ini tidak efisien karena dua kali kerja, tetapi sebagai antisipasi jika hujan turun atau antisipasi ulah babi-babi hutan kelaparan yang sering mengobrak-abrik sayak wadah getah tentu sangat efektif. Di malam hari biasanya babi-babi hutan secara berkoloni mencari makan cacing-cacing tanah dengan mendongkel-dongkelkan moncongnya. Celakanya jika si babi-babi itu menyerbu perkebunan karet, alamat banyak sayak yang kebalik kena gusur moncongnya yang seperti bulldoser itu. Tumpah semua hasil sadapan sehari karena belum membeku. Secara alami getah akan membeku sempurna setelah sekitar 24 jam. Namun juga tergantung varietas karet, ada yang cepat beku ada pula yang lambat.

Hasil getah sadapan tidak langsung diambil hari itu juga. Getah-getah beku baru dikumpulkan satu atau dua minggu sekali tergantung kebutuhan. Namun ada juga di daerah tertentu seperti Lubuk Linggau getah dikumpulkan harian karena banyak kasus pencurian di sana. Tentu hal itu sangat melelahkan. Syukurlah kasus pencurian getah di sini tidaklah seperti di Linggau. Bukannya tidak ada kasus seperti itu, tetap ada tapi tidak separah di sana.

Jika tiba waktunya ‘mbangkit’ getah-getah beku yang bercampur dengan getah encer hasil sadapan hari itu dikumpulkan dalam sebuah wadah bak kayu untuk direkatkan dengan ditambah asam cuka untuk mempercepat pembekuan getah encer sehingga berbentuk kepingan balok. Biasanya satu keping beratnya kurang lebih 100 kg, tergantung si pembuatnya mau dibuat berepa kiloan. Kepingan getah ini yang siap dijual ke pasar lelang atau toke (bos karet). Terkadang si pembeli yang datang langsung ke kebon atau kadang juga si penjual yang harus membawanya ke pasar lelang atau pembeli lainnya. Getah di jual kiloan. Terkadang ada juga penjual yang memperberat timbangan dengan mencampurkan tatal-tatal bekas sadapan kulit karet. Bahkan yang lebih ekstrim lagi dengan memperbanyak air sewaktu mbangkit lalu dijual sebagai getah basah. Cara ini bisa menambah bobot lebih dari 20an kilo dari bobot normal dengan sarat langsung dijual karena kalau harus nunggu sehari atau dua hari kadar airnya akan berkurang dan bobot getah menyusut. Tapi perhitungan harganya juga beda. Getah kering dan bersih dari tatal harganya lebih tinggi dari pada getah basah dan bertatal.
Bagi mereka yang punya kebon sendiri bebas mau jual hasilnya ke siapa dengan harga yang lebih bagus. Tentu beda halnya dengan buruh sadap karet yang mau tak mau harus ia jual ke juragannya. Tentu sudah bisa ditebak, harga jual tak mungkin bisa bersaing karena tidak punya posisi tawar kuat. In sya Alloh di tulisan berikutnya akan saya ceritakan lebih lanjut tentang bagaimana sistem bagi hasil antara pekerja dan juragan di sini.

Image0171
Proses pembuatan kepingan getah dengan mencampurkan antara getah encer dengan kering dalam sebuah bak kayu

Banyak atau sedikitnya hasil getah sadapan dipengaruhi beberapa faktor. Varietas karet alam yang hidup di hutan bercampur pohon-pohon liar biasanya hanya menghasilkan sedikit getah dibandingkan varietas karet unggul yang dikelola secara profesional. Namun varietas unggul biasanya umurnya lebih pendek jika dilakukan penyadapan intensif bila dibanding dengan karet alam yang bisa bertahan sampai lebih 30an tahun dengan intensitas penyadapan yang sama. Selain itu kondisi musim juga mempengaruhi. Musim kemarau biasanya hasilnya lebih sedikit dibanding sadapan dimana curah hujan cukup memadai. Musim gugur daun juga berpengaruh terhadap hasil sadapan dibanding musim semi. Keahlian dan skill pekerja, demikian pula intensitas pemberian ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) yang asal-asalan juga berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh.

Pada musim hujan dimana curah hujan cukup tinggi, para pekerja menghindari penyadapan intensif. Udara yang lembab di musim itu menjadikan jamur batang kerap menyerang bekas sadapan baru. Akibatnya kulit membusuk dan sulit untuk bisa pulih lagi, bahkan terkadang tidak bisa disadap lagi karena jamur menyerang sampai bagian kayu. Pada kasus yang sudah parah batang karet bisa membusuk dan akhirnya bisa mati.

Kerja di sini memang lebih banyak menggunakan otot dari pada otak, tapi dengan otot semata tanpa tahu teknik dan ilmunya juga tidak akan banyak hasil. Butuh pengalaman dan butuh terbiasa agar bisa beradaptasi dengan pekerjaan ini. Dua orang yang bekerja di lahan yang sama dengan intensitas penyadapan yang sama belum tentu hasilnya sama. Di sinilah pentingnya mempelajari ‘seni’ penyadapan yang benar tidak asal menggarukkan pisau ke kulit batang karet. Penyadapan terlalu dalam akan merusak kambium akibatnya kulit sulit untuk bisa pulih. Sedangkan penyadapan terlalu tipis getah tak mau keluar. Nah, butuh ilmu juga, kan?

Inilah sekelumit gambaran aktivitas harian saudara-saudara kita yang tinggal di perantauan bekerja sebagai buruh sadap karet. Usaha apa pun asal halal tentu akan menghasilkan keberkahan dalam kehidupan. Yang terpenting adalah tetap berikhtiar dengan cara-cara yang halal, bekerja dengan sungguh-sungguh, ulet, disiplin dan bertanggung jawab. Ada pun hasil, Alloh yang akan membagi dan menentukan untuk kita.
Image0477
Suasana pasar lelang getah dusun Kotojayo

Di tulisan mendatang in sya Alloh akan saya kupas bagaimana kondisi sosial masyarakat Mintobasuki yang ada di sini.

Sebuah Catatan: Warga Mintobasuki di Perantauan – Bag 2


Welcome to the Junggle, Man! Pertama-tama saya akan ajak anda untuk melihat kondisi lingkungan fisik di sini yang benar-benar beda dengan kondisi desa kita, Mintobasuki Asri.
Image0489
Salah satu ruas jalan masuk ke kampung Darat dari dusun Kotojayo

Orang dusun biasa menyebutnya kampung Darat. Letaknya sekitar 7 KM dari dusun Kotojayo ke arah utara masuk jalan kecil menembus hutan karet. Bisa ditempuh dengan naik motor sekitar 20-30 menit. Jalan selebar 3 meteran itu kian tak terawat. Beberapa titik mungkin kurang dari 2 meter karena lebatnya semak belukar di kanan kirinya yang tak pernah dibersihkan. Inilah jalan akses utama menuju hutan karet sekaligus penghubung menuju pemukiman transmigrasi desa Sungai Buluh, kec Rimbo Tengah. Jangan bayangkan jalanan beraspal, cuma tanah yang diratakan dan dipadatkan  dengan sirtu. Beberapa tanjakan tidak bisa dilewati motor jika hujan turun karena sangat licinnya. Kanan dan kiri jalan hanyalah batang-batang pohon karet yang terlihat. Tidak ada rumah penduduk di sini, hanya bedeng-bedeng kecil dari bilah-bilah papan yang ditempati para pekerja kebun karet. Itu pun jaraknya berjauhan, satu atau dua kilometer baru ketemu satu bedeng. Listrik? Jangan harap, itu hanya bisa dinikmati warga dusun. Bisa dibayangkan ketika malam tiba tempat ini benar-benar menjadi rimba yang sempurna.

Masih ada satu akses jalan lagi untuk menjangkau kampung Darat ini. Kalau tadi dari arah selatan, yang ini dari arah utara. Tepatnya dari pemukiman transmigrasi Sungai Buluh, Rimbo Tengah. Orang sini cukup menyebutnya Trans saja. Pemukiman ini banyak ditempati orang-orang jawa yang bertransmigrasi era Orde Baru. Kampung Darat bisa diakses dari Trans melalui jalan kecil sekitar 4 KM ke arah selatan dengan menembus hutan karet. Setelah melewati perkebunan Sawit, jalan masuk hanya berupa jalanan setapak melintasi perkebunan karet warga dan hanya bisa dilewati motor roda dua atau jalan kaki. Jika hujan turun, jalan ini penuh lumpur dan licin. Untuk menuju Kota Muarabungo warga juga lewat sini dengan jarak tempuh sekitar 45an menit lewat Trans. Dari Trans ini akses ke kota sudah lancar karena melewati jalan utama Muarabungo-Kuamang Kuning.
Image0454
Salah satu jalan tanjakan di kampung Darat yang telah di cor.

Sebelum tahun 2007an, kampung Darat nyaris tidak bisa dijangkau dengan kendaraan roda dua. Jika akan ke pasar membeli barang-barang kebutuhan harian mereka harus berjalan kaki menembus hutan yang penuh semak belukar. Bahkan, menurut cerita mereka yang di sini, dulu kalau ke pasar berangkat pagi-pagi dan pulangnya bisa sampai maghrib karena jauhnya jarak tempuh. Dengan memikul bahan sembako mereka harus menerobos rimbunnya semak dan pekatnya hutan dengan jalan kaki. Jalanan yang naik turun dan kadang berlumpur menjadi hambatan tersendiri bagi mereka. Pasar yang terdekat saat itu pasar dusun Danau. Tepatnya sebelah timur dusun Kotojayo yang bisa ditempuh sekitar 20 menit dengan kendaraan melewati jalan beraspal. Namun, jika ditempuh dari kampung Darat bisa sampai setengah hari karena aksesnya yang sulit.

Dengan kondisi fisik alam yang demian ekstrim tentu bisa kita bayangkan jika ada warga yang sakit dan secepatnya butuh perawatan medis. Dulu, untuk mengantar orang sakit haruslah dengan jalan kaki menuju dusun terdekat yang ada fasilitas pelayanan medis. Atau jika si sakit kondisinya benar-benar parah baru dipikul bersama-sama dengan bergantian untuk pergi ke dokter atau rumah sakit. Setelah motor bisa masuk wilayah sini penanganan si sakit pun lebih mudah, bisa langsung di antar ke dokter terdekat atau ke rumah sakit yang ada di kota Muarabungo.
Infrastruktur yang demikian parah ini menjadikan warga Kampung Darat yang mayoritasnya adalah warga Mintobasuki berinisiatif memperbaiki akses masuk yang ada. Sedikit demi sedikit jalan setapak diperbaiki. Sampai kemudian kendaraan roda dua bisa menjangkau bedeng-bedeng tempat tinggal mereka. Ini merupakan titik awal yang baik karena bisa memperlancar mobilitas warga. Akhirnya banyak warga yang kemudian membeli motor untuk menunjang aktifitas mereka sehari-hari, semisal pergi ke dusun, belanja ke pasar, berangkat kerja atau pun untuk saling mengunjungi sesama mereka.

Banyak hal yang berubah ketika sarana tranportasi bisa menjangkau daerah ini. Kalau dulu untuk ke pasar harus sebulan sekali, saat ini kapan pun mereka bisa pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhan harian. Alternatif belanja pun tidak hanya di pasar Danau, yang nota benenya pasar mingguan, tapi mereka juga bisa pergi belanja ke pasar kota Muarabungo. Di sana kebutuhan sehari-hari lebih lengkap dan harganya pun bisa lebih bersaing. Bukan hanya kebutuhan konsumsi saja yang ada di pasar Bungo, tapi juga kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti pakaian, perlengkapan kerja, perabotan rumah tangga, bahkan gadget dan semisalnya. Di sini ada dua pasar yang terkenal, Pasar atas dan pasar bawah. Umumnya untuk membeli kebutuhan pokok dan sayuran Pasar Atas yang jadi alternatif pertama.

Kembali ke kampung Darat…Sebenarnya ada satu lokasi lagi yang menjadi tempat tinggal warga Mintobasuki di sini yaitu Kulim. Lokasinya terpisah jauh dari Darat sekitar 5 KM arah ke Timur. Kondisi lingkungan fisiknya pun sama dengan Darat. Kelebihannya adalah untuk menjangkau jalan besar Muarabungo-Kuamang Kuning lebih dekat, sekitar 1 Km saja dengan akses yang memadai. Dari Darat menuju ke Kulim harus melewati rawa-rawa yang cukup luas yang sekarang sudah berubah menjadi dataran dengan hamparan pasir putih dan semak belukar serta kolam-kolam air. Dari mana asal muasalnya pasir putih dan kolam-kolam ini?

Penambang emas liar ketika masuk wilayah ini mereka mengeruk tanah sampai kedalaman tertentu untuk mendapatkan butir-butir emas dengan menembakkan air berkekuatan besar melalui mesin-mesin diesel. Orang disini menyebut aktivitas penambangan emas liar ini dengan nDompeng. Entah mengapa disebut demikian, mungkin karena umumnya mesin diesel yang mereka gunakan adalah merk Don Feng produk dari China sehingga untuk mempermudah penyebutannya diganti Dompeng. Dan kemudian nama ini dipakai untuk aktivitas mereka. Hasil yang ditinggalkannya adalah kolam-kolam lebar dan pasir-pasir putih yang menghampar. Hampir semua rawa-rawa di sini telah dijamah tangan-tangan para pen-Dompeng. Bahkan ketika lahan ‘perawan’ sudah habis, lahan bekas dompengannya pun di keruk lagi, berharap masih ada sisa-sisa yang tertinggal. Satu tim biasanya terdiri antara 5 sampai 7 orang.

Perbaikan Jalan Masuk Darat
Foto0237 Foto0138
Warga menyadari bahwa semakin baik infrastruktur akan semakin mempermudah aktivitas sehari-hari dan meningkatkan kegiatan ekonomi. Langkah yang ditempuh adalah dengan melakukan perbaikan jalan masuk yang ada dengan dilakukan pengecoran. Warga bergotong royong membangun pengecoran jalan di titik-titik yang dianggap rawan saat musim hujan, terlebih di lokasi-lokasi tanjakan. Tidak kurang dari dua belas titik lokasi berbahaya yang telah dilakukan pengerasan yang didanai secara suka rela oleh warga sekitar. Untuk mendapatkan bahan baku semen mereka membeli dari toko bangunan di Trans, sedangkan pasirnya cukup dari rawa-rawa bekas penambangan liar. Hasilnya memang cukup memuaskan. Berkendara saat musim hujan pun tak lagi menjadi masalah.
Perbaikan ini tidak sekaligus, tapi dilakukan secara bertahap sejak tahun 2010. Mereka biasa saling bermusyawarah untuk menentukan segala kebutuhan untuk perbaikan, lokasi mana yang akan di-cor, kebutuhan material dan tenaga kerja, bahkan sampai kebutuhan konsumsi nantinya. Namun karena kurangnya perawatan, setelah beberapa tahun berlalu beberapa titik telah mengalami kerusakan yang parah sehingga butuh perbaikan.

Demikianlah sekilas gambaran kondisi lingkungan fisik  yang ditempati warga Mintobasuki. Di tulisan mendatang insya Alloh akan kita telusuri aktifitas harian mereka…

Sabtu, 18 April 2015

Sebuah Catatan: Warga Mintobasuki di Perantauan – Bag 1

Image0941
Masjid Al Mubarak-Muarabungo-Jambi
Sahabat Netter yang saya cintai, semoga kesehatan dan keselamatan senantiasa tercurahkan untuk kita semua. Demikian pula semoga kesuksesan dan keberkahan dari setiap usaha yang kita ikhtiarkan senantiasa didekatkan kepada kita. Amiiiin…
Tulisan kita kali ini akan sedikit mengupas kondisi warga desa Mintobasuki, Gabus, Pati yang hidup di perantauan. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa banyak juga warga desa kita yang menggantungkan harapannya di negeri orang dengan beragam alasan. Sempitnya lapangan pekerjaan, kurangnya skill, dan harapan yang lebih baik di tanah rantau menjadi faktor-faktor yang memotivasi sedulur-sedulur kita untuk mengadu nasib di perantauan. Bak pepatah, anak panah tak akan mengenai sasaran jika tidak lepas dari busurnya. Sebagian mereka berhasil memperbaiki kondisi perekonomian keluarga setelah pulang dari rantau, meski ada juga yang tetap biasa-biasa saja.
Belum ada data statistik resmi berapa prosentase warga desa kita yang bekerja merantau ke daerah lain, akan tetapi perkiraan kasar adalah sekitar 36% dari total penduduk usia produktif. Data ini kami peroleh dari data Pilkades kemarin dimana jumlah DPT (daftar Pemilih Tetap) warga Mintobasuki adalah 1710 orang sedangkan yang telah menggunakan hak pilihnya sejumlah 1071 orang termasuk pemilih dengan suara tidak sah. Dengan demikian ada sejumlah 639 warga Mintobasuki yang tidak menggunakan hak pilihnya. Kita asumsikan saja bahwa angka ini adalah jumlah warga Mintobasuki yang berada di perantauan. Namun jumlah ini juga perlu ditinjau ulang karena pada Pilkades kemarin banyak juga warga diperantauan yang menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya untuk ikut berpartisipasi dalam pencoblosan. Bisa jadi jumlah warga yang ada diperantauan melebihi prosentase tersebut.
Tulisan kali ini hanya akan menyoroti warga Mintobasuki yang merantau di pulau Sumatra sebagai buruh sadap karet. Sebenarnya banyak juga warga desa kita yang sukses merantau di kota-kota besar seperti Jakarta, Tangerang dan sebagainya, bahkan ada pula yang merantau ke luar negeri seperti di Malaysia dan Korea. Namun, karena penulis hanya punya pengalaman berinteraksi dengan warga perantauan Mintobasuki di pulau Sumatra maka ini dulu yang kita bahas. Semoga tulisan ini bisa memberikan gambaran singkat pembaca untuk mengetahui bagaimana keseharian dan aktivitas mereka di sana.

Sekilas Kabupaten Muara Bungo – Jambi
Kenapa saya mengangkat Kabupaten Muarabungo? Ya, karena saya pernah tinggal di sini jadi sedikit banyak saya punya gambaran tentang daerah ini.
Muarabungo adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jambi dari sebelas kabupaten yang ada dan merupakan pemekaran Kabupaten Bungo Tebo pada tanggal 12 Oktober 1999 silam. Saat ini Bungo dan Tebo menjadi dua kabupaten yang terpisah. Luas kabupaten ini sekitar 4.659 km2 dengan rata -rata kepadatan penduduk 65 jiwa/km2 berdasarkan hasil perhitungan tahun 2010. Sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Merangin. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kerinci dan Sumatra Barat. Sebelah utara berbatasan dengan Prop Sumatra Barat. Sebelah barat berbatasan dengan Kab Tebo.
Muarabungo kaya dengan hasil alamnya, baik dari sektor perkebunan maupun pertambangan. Perkebunan yang menjadi komoditas utamanya adalah kelapa sawit dan karet. Perkebunan kelapa sawit biasanya dikembangkan oleh mereka yang memiliki modal besar baik perorangan maupun badan usaha. Berbeda halnya dengan perkebunan karet yang bisa dikelola oleh masyarakat meski dengan modal kecil karena memang biaya perawatan dan operasionalnya yang minim. Namun sayangnya kebanyakan perkebunan karet di sini tidak dikelola secara profesional sehingga hasil yang diperoleh pun kurang maksimal. Sedangkan hasil tambangnya adalah batu bara dan emas yang hampir merata di seluruh wilayah.
Muarabungo juga memiliki bandar udara yang berlokasi di desa Sungai Buluh kec Rimbo Tengah. Bandara ini mulai diresmikan pada 12 Juni 2012 yang lalu. Proses pembangunan molor sekitar 3 tahun dari taget yang direncanakan, karena seharusnya sudah bisa beroperasi mulai tahun 2009 yang lalu. Dengan bandara baru ini diharapkan mampu menunjang aktivitas transportasi wilayah Muarabungo dan sekitarnya.
Mengunjungi Desa Kotojayo, Kec Pelepat
29022012878
Agroforest, tanaman karet yang bercampur dengan pepohonan hutan

Nah, sekarang kita sedikt masuk kampung Kotojayo. Di sinilah banyak warga Mintobasuki yang bekerja sebagai buruh sadap karet. Tidak banyak data yang bisa saya peroleh dari desa ini, hanya saja banyak warga Mintobasuki yang tinggal di sini sejak lama, bahkan sudah ada yang sampai selama 40an tahun lebih. Dari batang-batang pohon karet mereka menggantungkan penghidupan yang lebih baik. Usaha mereka tentunya tidak sia-sia, dengan keuletan dan kegigihan mereka berhasil memperbaiki taraf hidup yang lebih baik. Mereka bisa membeli tanah, membangun rumah dan bahkan punya perkebunan karet sendiri. Sebagian mereka memilih menetap menjadi warga sini, tapi banyak juga yang  lebih suka jadi perantau saja sehingga hasil jerih payahnya dikirim ke kampung halaman dan sekali waktu mereka menengok keluarga dan handaitaulannya di Jawa.

Perlu diketahui bahwa warga Mintobasuki yang merantau sebagai pekerja perkebunan bukan cuma di Kotojayo, Pelepat saja bahkan banyak juga ditempat-tempat lain. Mereka tersebar diberbagai Kabupaten di Jambi ini bahkan kabarnya yang terbanyak adalah di kabupaten Merangin dengan kota Bangkonya. Namun karena minimnya informasi di sana saya hanya akan ‘berkisah’ warga Mintobasuki yang ada di wilayah sini.
Nah, bagaimana aktivitas mereka di sana, insya Alloh akan hadir di tulisan selanjutnya.

Selasa, 14 April 2015

Pemuda Mintobasuki, Bagaimana Kabarmu…?


Masa muda merupakan masa keemasan bagi perjalanan hidup seseorang. Masa dimana cita-cita dan harapan-harapan tinggi digantungkan. Masa yang penuh semangat, gairah dan energi dalam menjalani kehidupan. Sekaligus masa-masa terbaik untuk mengembangkan segala potensi diri. Ini adalah nikmat Alloh yang layak disyukuri dan digunakan untuk melakukan aktifitas-aktifitas positif yang membawa manfaat di dunia maupun di akhirat kelak. Masa muda tidak akan datang dua kali. Kita akan benar-benar menyesalnya ketika masa tua datang sedangkan masa muda habis disia-siakan. Tidak akan bisa merasakan realita ini kecuali bagi mereka yang saat ini sudah memasuki masa uzur. Namun apa hendak dikata, masa muda tidak akan datang dua kali.

Sebagaimana nikmat-nikmat yang lain, maka nikmat masa muda juga akan dimintakan pertanggunggjawaban oleh Alloh -ta’ala- kelak di hari kiamat, kemanakah engkau habiskan masa mudamu? Masa muda merupakan sesuatu yang spesial yang Alloh  karuniakan untuk hamba-hamba-Nya oleh karenanya Alloh-pun secara khusus menanyakan kemana masa muda kita habiskan. Ini bukan berarti masa tua tidak diperhitungkan oleh Alloh. Pengkhususan penghisab-an masa muda karena istimewanya.

Dari Ibnu Mas’ud radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ مِنْ  عِنْدِ  رَبِّهِ  حَتىَّ يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَ عَنْ شَبَابِهِ فِيْمَا أَبْلاَهُ وَ عَنْ  مَالِهِ  مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَ فِيْمَا أَنْفَقَهُ وَ مَا ذَا عَمِلَ فِيْمَا عَلِمَ
“Kedua kaki anak Adam tidak akan beranjak pada hari kiamat dari sisi Rabb-nya sehingga ditanya tentang lima perkara; tentang umur pada apa ia habiskan, kepemudaannya pada apa ia hancurkan, hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan dan apa yang telah ia kerjakan pada apa yang telah ia ketahui. [HR at-Turmudziy: 2416, Abu Ya’la, ath-Thabraniy, Ibnu ‘Adiy dan Ibnu Asakir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan ].

Dalam sebuah hadits shahih yang lain disebutkan tentang tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Alloh -ta’ala- di tengah panasnya padang Mahsyar di hari kiamat di saat tidak ada naungan lain selain naungan dari Alloh -azza wa jalla-, dan satu di antara tujuh tersebut adalah seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Alloh.
Nah, jika engkau merasa sebagai pemuda sejati, apakah engkau punya kriteria berikut ini? Inilah beberapa kriteria pemuda sejati yang layak menyandang predikat sebagai ‘agent of change’ sebenarnya:

1. Syuja’ah (Pemberani)
Ini adalah karakter seorang pemuda sejati. Sifat pemberani, tidak takut mengambil resiko dan siap menghadapi tantangan. Baginya adalah aib jika dalam hatinya ada sikap pengecut dan bernyali ciut. Teladan yang pas untuk menjelaskan karakter ini dari kehidupan kemerlapan tokoh-tokoh Islam banyak bertebaran di buku-buku sirah (sejarah) Islam.

Satu di antaranya adalah Nabi Alloh Ibrahim -alaihissalam- yang dengan keberaniannya dalam menegakkan kalimat tauhid, bahwa tidak ada yang berhak disembah melainkan Alloh, maka beliau -alaihissalam- menghancurkan patung-patung yang disembah oleh kaumnya dengan menyisakan satu patung saja yang paling besar. Beliau tahu bahwa konsekwensi dari perbuatannya adalah hukuman mati. Dan benar saja, tatkala raja mengetahui bahwa beliaulah yang telah menghancurkan berhala-berhala sesembahannya hukuman mati pun dijatuhkan. Akan tetapi Alloh menyelamatkan beliau ‘alaihissalam- dari hukum bakar yang beliau terima.

Contoh lain dari sifat pemberani ini adalah kisah keberaniannya Muhammad Al-Fatih rahimahulloh dalam mengobrak abrik pasukan Romawi Timur di  Bizantium yang merupakan pasukan terbaik di dunia yang ada saat itu yang telah berkuasa selama 11 abad lamanya. Dengan strategi dan keberaniannya, akhirnya Alloh -ta’ala- menganugerahi kemenangan kepada kaum muslimin. Kala itu usia Muhammad Al-Fatih barulah menginjak 19 atau 20 tahun. Sebuah usia yang tergolong belia untuk melakukan hal yang spektakuler seperti itu.

2. Dzaki (Cerdas)
Masa muda merupakan masa-masa perkembangan akal dan nalar seseorang. Ibarat pisau, setajam apa pun kalau tidak pernah diasah lama kelamaan akan menjadi tumpul dan berkarat. Demikian pula akal dan penalaran manusia, jika jarang difungsikan dan diasah dengan hal-hal yang bisa mempertajam pemikiran juga akan tumpul. Akal akan mandul dalam berkreasi dan miskin dalam berinisiatif. Seorang pemuda sejati adalah mereka yang aktif dan dinamis dalam mengikuti setiap perkembangan yang ada. Dengan kemampuan penalaran dan kecerdasan yang dimilikinya dia bisa melihat hakikat segala sesuatu yang disodorkan kehadapannya untuk kemudian memilah dan memilih mana yang maslahat untuk dirinya dan mana yang tidak. Dengan kecerdasannya tersebut ia mampu mewarnai masyarakat sekitarnya, tidak hanyut terbawa arus yang ada dan terwarnai dengan lingkungan yang akan membawanya kepada sesuatu yang membahayakannya.

Kisah paling menarik untuk melukiskan tentang kecemerlangan akal seorang pemuda adalah kisah Nabi Ibrahim tatkala berdebat dengan raja yang disembah-sembah rakyatnya kala itu. Tatkala Nabi Ibrahim telah berhasil menghancurkan patung-patung yang disembah kaumnya, dengan kecerdasannya beliau sisakan sebuah patung besar dan dikalungkan kapak padanya. Tatkala Ibrahim ditanya siapa yang telah menghancurkan patung-patung tersebut, beliau ‘alaihissalam- menjawab bahwa yang telah menghancurkan patung-patung tersebut adalah patung yang paling besar yang membawa kapak.

Raja tersebut menyangkal ucapan Nabi Ibrahim -alaihissalam- karena tidak mungkin patung bisa menghancurkan patung yang lain. Nabi Ibrahim pun menimpali, kenapa engkau sembah patung itu kalau berpindah tempat saja ia tidak bisa. Raja pun terdiam seribu bahasa tak mampu menjawab argumentasi Nabi Alloh Ibrahim -alaihissalam-.

Dalam kisah ini juga, tergambar kecerdasan Nabi Ibrahim -alaihissalam- yang kala itu masih menjadi seorang pemuda. Kala itu Ibrahim berkata kepada raja, bahwa hanya Alloh-lah yang menghidupkan dan mematikan. Raja pun menyahut, aku juga bisa menghidupkan dan mematikan. Raja dengan mendatangkan 2 orang, yang dibunuh adalah yang dimatikan dan yang dibiarkan hidup adalah yang ia hidupkan. Nabi Ibrahim tidak membantah ucapan konyol raja tersebut, akan tetapi berpindah kepada argumentasi lain. Beliau berkata, Alloh telah menerbitkan matahari dari arah timur, maka terbitkanlah -wahai raja- matahari dari arah barat. Raja pun terbungkam tanpa bisa berkata-kata apa pun.

Masih banyak bertaburan kisah-kisah yang menceritakan kecerdasan dan keberanian para pengawal-pengawal Islam dari dahulu sampai sekarang. Dengan ilmu dan kecerdasannya itu Islam menjadi bersinar cemerlang karena debu-debu yang mengotorinya ia bersihkan. Tirai yang menghalanginya ia singkap.

Beginilah semestinya karakter seorang pemuda yang digadang-gadang akan menjadi agent of change di Mintobasuki. Pemuda yang selalu aktif berfikir, mengembangkan nalar dan pemikirinnya untuk kemaslahatan bersama, bukan sekedar untuk kepentingan pribadi. Dia punya skill dan keahlian; dan dengan skill-nya tersebut ia mampu berkarya dengan sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakatnya.
Seorang pemuda yang handal, tatkala dihadapkan kepada suatu permasalahan akalnya langsung bekerja cepat, mencermatinya, menganalisanya, dan menemukan jalan keluarnya. Kuat dalam berfikir. Cerdas dalam menganalisa. Dan cepat dalam mengambil keputusan.

3. Akhlaqul Karimah (Budi pekerti yang mulia)
Jangan pernah menaruh kepercayaan kepada orang-orang yang buruk akhlak dan perangainya. Orang bilang, memiliki musuh orang bertaqwa itu lebih baik dari pada memiliki teman dekat tapi fasiq. Kenapa? Meskipun musuh kita, tapi kalau dia orang yang bertaqwa akan senantiasa berbuat adil dan tidak akan mendzolimi kita. Sebaliknya, berteman dengan orang fasiq resikonya kalau kita tidak diajak kepada kefasikkannya kemungkinan lain dia akan berbuat fasiq kepada kita. Dua-duanya merugikan kita.

Seorang remaja dan pemuda yang diharapkan kedepannya bisa menjadi ‘agent of change’ membawa perubahan di Mintobasuki hendaklah mereka yang senantiasa terdidik dengan akhlak yang mulia. Akhlak mulia memiliki pengertian yang luas, baik akhlak kepada Kholik (Alloh -ta’ala) maupun makhluk Alloh yang ada di alam ini. Jangan katakan seseorang itu berakhlak baik jika kepada Rabb-nya (Alloh ta’ala) saja dia berani mendurhakainya dengan kemaksiatan-kemaksiatan; laranganNya diterjang dan perintahNya ditinggalkan. Tidak perduli halal dan haram dan jauh dari Dien. Kalau Sang Pencipta langit dan bumi dan seluruh makhluk yang ada saja dia berani berbuat durhaka, apalagi durhaka terhadap makhluk. Tentu lebih bisa lagi.
Khosy-yah (rasa takut kepada Alloh) dan muroqobah (merasa selalu diawasi Alloh) yang ada pada diri seorang pemuda akan menjadikannya senantiasa hati-hati dalam menapaki jalan hidup ini. Karena dia yakin bahwa segala sesuatu yang ia kerjakan di atas muka bumi ini pada akhirnya nanti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Alloh. Keyakinan semacam ini yang akan mendorong lahirnya akhlak-akhlaq mulia. Jujur, amanah, bertanggung jawab, menjaga lisan dari menyakiti hati orang, menjaga anggota badan dari menyakiti fisik orang lain, sabar, dan sebagainya. Pemuda semacam inilah yang pantas diletakkan amanah di pundaknya untuk menjadi mujaddid (pembaharu) di tengah masyarakat.

4. Tangguh dalam menghadapi rintangan
Sifat yang keempat yang merupakan indikator bahwa seorang pemuda itu layak dijadikan pembaharu adalah tangguh, ulet, militan, tahan banting dan pantang untuk berputus asa. Masalah bukanlah sesuatu yang harus dihindari, akan tetapi masalah adalah sesuatu yang harus dicarikan solusi. Masalah-masalah yang  mendera diri pemuda ibaratnya adalah pupuk pada tanaman yang akan menguatkan akarnya dan mengokohkan batangnya. Dengan adanya musibah, masalah, kesulitan dan rintangan yang dihadapi dalam meraih sebuah harapan, justru akan menjadikan pemuda lebih tangguh dan kuat dalam menapaki kehidupan. Jamu memang pahit, akan tetapi menyehatkan. Untuk bisa tumbuh, sebutir biji harus dikubur di dalam tanah. Pesawat tidak akan bisa terbang kecuali melawan arah angin.

Rintangan jika seorang pemuda mampu menghadapinya dengan sabar dan tabah akan menjadikan dirinya meraih kedewasaan dalam menapaki terjalnya jurang-jurang dunia. Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa bersabar dan mengharap pertolongan Alloh -ta’ala- dalam menghadapi segala permasalahan yang menimpanya. Kesabaran dalam menghadapi permasalahan inilah yang akan menjadi penguat mental.

Seorang mujaddid mestilah memiliki karakter ini, tidak mudah lemah menghadapi musibah, tidak mudah goyah menghadapi masalah, dan tidak berputus asa dari pertolongan Alloh -ta’ala-. Bacalah kisah-kisah orang terdahulu yang pernah hidup dalam naungan Islam yang mereka dengan kesabaran dan ketangguhan tekadnya menjadikan permasalahan yang dihadapinya terasa kecil dan tak berarti sampai kemudian datang pertolongan Alloh.

Tentu kita ingat tentang ashabul kahfi , para pemuda yang rela menjalani hidup terusir dari kampung halamannya untuk menyelamatkan agamanya. Mereka rela hidup di dalam gua, sampai Alloh kemudian menidurkan mereka dalam waktu yang sangat panjang sebagai bukti keMaha Kuasaan Alloh yang berkehendak sesuai keinginanNya. Kisah hidup mereka yang penuh ketabahan dan keteguhan di atas keimanan telah  diabadikan Alloh dalam Al-Qur’an. Mereka bukanlah sekumpulan pemuda cengeng yang mudah mengeluhkan kesulitan hidupnya. Mereka adalah orang-orang yang tangguh. Al-Qur’an menceritakan kisah mereka agar kita bisa mengambil ibrah (pelajaran) dan qudwah (teladan) dari perjalanan hidup mereka yang mulia. Kesabaran, ketabahan, dan keteguhan di atas iman akan menjadikan seseorang mendapatkan kemuliaan, di dunia dan diakhirat kelak.

Kawan…
Inilah diantara karakter-karakter pemuda yang layak menjadi ‘agent of change’ di mana pun ia berada. Harapannya, kita semua diberi taufiq oleh Alloh untuk menjadi pemuda yang tidak hanya maju dari sisi intelektualitasnya semata akan tetapi juga pemuda yang punya integritas untuk Diennya, Islam yang kita cintai ini. Amin…
Wassalamu ‘alaikum.

Sabtu, 11 April 2015

Ikhlas Dalam Setiap Amal


Orang awam sering mengartikan ikhlas dengan beramal tanpa mengharapkan pamrih dari orang lain. Artian ini tidaklah salah. Namun ada definisi yang lebih luas untuk menjelaskan ikhlas ini, yaitu beramal semata-mata mengharapkan keridhaan Alloh -ta’ala- dan membersihkannya dari tujuan-tujuan duniawi maupun pengharapan kepada manusia. Seseorang tatkala beramal dengan sesuatu yang disyariatkan hendaklah benar-benar diniatkan murni hanya untuk Alloh dan tidak mencampurinya dengan tujuan-tujuan lain. Ikhlas adalah salah satu syarat mutlak bagi diterimanya sebuah amal. Tanpa keihlasan amalan yang dikerjakan akan sia-sia tanpa mendapat ganjaran apa pun dari Alloh ta’ala bahkan bisa menjerumuskun pelakunya kepada dosa dan kemurkaanNya.
Terkait bercampurnya keikhlasan dengan tujuan-tujuan lain bisa diklasifikasikan menjadi tiga golongan:

Pertama: Seseorang beramal dengan suatu amalan untuk mendekatkan diri kepada Alloh akan tetapi tercampuri dengan harapan mendapat pujian dan sanjungan dari manusia. Amal yang demikian ini tertolak, bahkan pelakunya terjerumus pada syirik kecil, yaitu riya, sebab amalan yang semestinya ia tujukan hanya untuk mengharap keridhaan Alloh ta’ala ia tujukan juga untuk manusia. Riya’ , meski syirik kecil, akan tetapi besar dosanya.


Kedua: Seseorang yang beramal dengan amalan yang disyariatkan tapi niatnya hanya untuk mendapatkan dunia, semisal untuk memperoleh harta, jabatan, kedudukan, wanita dan sebagainya, meski dia tidak mengharap sanjungan dan pujian dari manusia. Amalan seperti ini pun tertolak dan tidak mendapat balasan apa pun di sisi Alloh -ta’ala-.

Ketiga: Seseorang beramal dengan niat mendekatkan diri kepada Alloh, akan tetapi dibarengi juga dengan niatan mendapatkan dunia. Semisal seseorang sholat selain mengharapkan pahala juga berniatagar sehat, puasa  selain untuk mendekatkan diri kepada Alloh juga agar langsing, bersuci selain niat ibadah juga diniatkan untuk menjaga kebersihan. Dalam permasalahan ini ulama menjelaskan, jika niat taqarrub (ibadahnya) lebih besar, maka dia mendapatkan luput baginya pahala yang sempurna. Akan tetapi jika niat keduniaannya yang lebih besar, maka ia hanya akan mendapatkan apa yang diniatkannya tanpa mendapat pahala apa-apa. Bahkan perbuatannya ini bisa menjerumuskannya kepada perbuatan dosa.

عَنْ أمِيرِ المُؤْمِنِينَ أبي حَفْصِ ” عُمَرَ بْنِ الخَطَاب ” رَضيَ الله عَنْهُ قَال: سَمِعت رسُولَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُول:
“إنَّمَا الأعْمَالُ بَالْنيَاتِ، وَإنَّمَا لِكل امرئ مَا نَوَى، فمَنْ كَانَتْ هِجْرَتهُ إلَى الله وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتهُ إلَى الله وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرتُهُ لِدُنيا يُصيبُهَا، أو امْرَأة يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُه إلَى مَا هَاجَرَ إليهِ “.

“Dari Amirul Mukminin Abu Hafshoh, Umar ibn Khothob -rodhiyallohu ‘anhu berkata: aku mendengar Rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niat-niatnya. Dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan. Barang siapa yang hijrahnya menuju Alloh dan Rasulnya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rasulnya. Dan barang siapa yang hijrahnya untuk urusan dunia yang ia usahakan, atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan” (HR Bukhari dan Muslim)

Para ulama dahulu sangatlah intent dalam memperhatikan berbolak-baliknya hati mereka karena keikhlasan adalah sesuatu yang berat. Bahkan, ada ulama yang mengatakan bahwa yang paling berat baginya adalah menata hati agar senantiasa istiqomah dalam keikhlasan. Syaitan sangatlah lihai dalam memperdaya hati anak-anak adam, dia selalu punya cara untuk menjerumuskan manusia agar terjebak kepada dosa dan maksiat termasuk meninggalkan keikhlasan. Ketika seseorang merasa sudah bisa ikhlas dan bersih dari riya, maka saat itu riya’ datang lagi dengan bentuk yang lain.
Marilah kita jaga hati agar senantiasa ikhlas dalam beribadah kepada Alloh. Baik dalam ibadah – ibadah mahdhoh (yang telah ditentukan tata cara dan kaifiyatnya) seperti sholat, puasa, haji dsb; maupun yang ghairu mahdhoh (tidak dijelaskan tata caranya) seperti senyum, shodaqoh, mencari nafkah, berbuat baik kepada orang lain, dsb. Salah satu kiat agar ibadah kita bisa ikhlas adalah dengan menyembunyikannya dari pandangan manusia. Menyembunyikan amal ibadah memiliki keutamaan tersendiri di sisi Alloh ta’ala.

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”(QS Al-Baqarah: 271)


Seeorang yang ikhlas dalam beribadah akan nampak dalam tingkah lakunya. Baginya, dipuji maupun tidak, tidaklah berpengaruh terhadap amalnya. Tidak penting baginya apakah dirinya diperhitungkan di tengah-tengah manusia ataukah tidak,  karena itu bukanlah tujuannya. Tak menyedihkan hatinya orang-orang yang mengabaikannya. Tak merisaukan jiwanya orang-orang yang mencelanya. Dan tak peduli baginya tempat di hati-hati manusia. Keikhlasan akan mengantarkan pada keistiqomahan dalam beramal karena yang dituju di setiap amalnya adalah ridha Alloh semata.

Sebaliknya, seseorang yang dihatinya selalu diliputi riya dalam beramal akan menjadikan jiwanya tersiksa dan batinnya senantiasa diliputi kesedihan. Jiwanya tersiksa jika dia tidak mendapatkan tempat di hati-hati manusia. Hatinya sedih karena selalu berharap mendapatkan ridha dari manusia. Seandainya harapan-harapannya tak terpenuhi kesedihan dan kegalauan senantiasa melanda batinnya. Semangat jika mendapat sanjungan dan pujian, futur (lemah) jika tidak mendapatkan apa-apa dari manusia. Ini yang menjadikan amalnya tidak bisa langgeng dan konsisten.
Kita senantiasa berlindung kepada Alloh dari amal-amal yang tidak didasari keikhlasan, dan semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk bisa ikhlas mengharap ridha Alloh semata dalam setiap amalan kita.
Allohu a’lam.

Jumat, 10 April 2015

Seputar Masjid Agung Al-Amin Mintobasuki


wpid-20141226094226.jpg
Masjid Agung Al Amin Desa Mintobasuki

Alhamdulillah saat ini kita telah memiliki Masjid Agung Al-Amin yang berlokasi sebelah timur desa tepatnya di komplek SD Mintobasuki 02. Masjid yang diperkirakan menghabiskan dana sebesar 2 Miliar rupiah ini rencananya dibangun dengan 2 lantai. Lantai pertama telah selesai sehingga bisa difungsikan sebagai sarana kegiatan keagamaan.  Sedangkan lantai kedua dan pengatapannya sampai saat ini masih terhenti karena terkendala dana. Semua dana pembangunannya diperoleh dari iuran warga yang berkisar antara 500 ribu sampai 1 juta rupiah per KK disesuaikan kemampuan warga. Dana ini tidak ditarik sekaligus akan tetapi diangsur selama 2 tahun sehingga diharapan tidak membebani masyarakat.
Bermula dari usulan sebagian warga untuk memperluas masjid jami’ Al-Amin yang berlokasi di RW 03 karena tiap hari jum’at ruangan masjid sudah tidak mampu menampung jama’ah kemudian berlanjut dengan rencana relokasi masjid ke lokasi yang lebih strategis. Pilihan pun jatuh di halaman barat SD Mintobasuki 02 yang saat itu masih berdiri perpustakaan sekolah. Sempat terjadi kontra dengan pihak sekolah, namun rencana relokasi masjid tetap bergulir. Sebagian warga pun berkeberatan dengan rencana tersebut karena masjid yang ada saat itu dinilai masih cukup layak untuk melakukan aktivitas keagamaan sehingga relokasi dinilai akan membebani warga. Menurut mereka, jika memang dinilai kurang layak cukup direnovasi saja untuk penghematan biaya. Namun pemerintahan desa Mintobasuki telah ‘ketok palu’ untuk melanjutkan relokasi tersebut.
Image0761
Masjid Al Amin lama yang telah dirubuhkan dan direlokasi

Awalnya warga berharap agar pembangunan masjid baru tidak perlu membongkar masjid lama karena masih bisa dimanfaatkan warga sekitar. Namun pemerintahan desa punya rencana lain, masjid yang lama tetap harus dibongkar. Hal inilah yang memicu kekecewaan dan mendorong warga jamaah masjid Al-Amin lama berinisiatif membangun mushalla sendiri sebab relokasi masjid baru jaraknya cukup jauh dari lingkungan mereka. Kerenggangan antar warga pun tidak bisa dihindari. Bahkan sebagian warga menunda iuran pembangunan masjid dengan alasan keuangan. Pendanaan pun sempat terhambat karena dana yang terkumpul belum mencukupi sedangkan eksekusi proyek terus berjalan. Hal ini menjadi persoalan yang pelik bagi tim penyelenggara proyek.Meski dengan tertatih-tatih akhirnya masjid agung Al-Amin pun berdiri. Segala usaha dan dana yang dicurahkan menampakkan hasil meski baru sekitar 50%.
Saat ini yang paling mungkin kita lakukan adalah meneruskan pembangunan proyek tersebut sampai selesai. Ini menjadi PR bersama warga Mintobasuki. Sudah bukan waktunya lagi untuk lempar tanggung jawab yang berdampak mandegnya proses-proses pembangunan yang akan merugikan kita sendiri. Segala ego pribadi sudah semestinya kita kubur dalam-dalam demi kemaslahatan bersama. Pemerintahan desa hendaklah mampu merangkul seluruh masyarakat sehingga tidak perlu ada yang merasa jadi ‘anak tiri’ di Mintobasuki. Kerenggangan antar warga beberapa tahun terakhir hendaklah direkatkan kembali dengan pendekatan-pendekatan persuasif.
Diharapkan dengan kepemimpinan kepala desa yang baru mampu mengakomodir seluruh aspirasi masyarakat  dalam setiap pengambilan keputusan yang berimplikasi pada kepentingan orang banyak. Pengambilan keputusan dengan mengutamakan suara terbanyak melalui voting terbukti tidak efektif untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada karena metode tersebut hanya akan melahirkan kelompok minoritas yang merasa terabaikan. Seyogyanya segala permasalahan yang menyangkut kepentingan orang banyak dimusyawarahkan terlebih dahulu agar semua usulan dan keluhan bisa tertampung untuk dicarikan solusi.
20141005060238Tulisan ini sekaligus menjadi counter beberapa media online yang menurunkan berita sekitar pembangunan masjid di Mintobasuki yang dinilai kurang proporsional. Misal di tempo.co dan jatengtime.com. yang menurunkan berita bahwa pendirian masjid dipersulit yang mengesankan di Mintobasuki belum berdiri satu masjid pun, padahal kenyataan yang ada di Mintobasuki saat itu sudah ada 4 Mushalla dan 1 Masjid jami’. Adapun rencana yang ada adalah relokasi masjid yang kebetulan berada di lahan sekolah sehingga perlu ada perizinan yang matang dari pihak Dinas Pendidikan terkait.
Suasana Sholat Ied perdana di Masjid Al-Amin. Barisan Ibu-ibu.

Sebagai penutup, perlu kita garis bawahi bahwa yang terpenting adalah bukan semangat membangun masjid yang  perlu kita tumbuh kembangkan akan tetapi semangat memakmurkan masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan yang positif itulah yang mesti kita galakkan. Jangan sampai membangun masjid hanya dijadikan proyek berbangga-banggaan namun tujuan inti dari pembangunan tersebut tidak tercapai. Membangun masjid asal tersedia dana dan tenaga akan selesai di waktu yang ditentukan, akan tetapi memakmurkan masjid dengan mengajak masyarakat sholat jama’ah, ngaji dan belajar agama itu yang butuh waktu lama. Tidak cukup setahun atau dua tahun. Jangan sampai proyek yang telah kita kerjakan dengan susah payah, yang telah menyedot biaya dan tenaga tidak sedikit ini  hanya menjadi pajangan sia-sia tanpa kita fungsikan dengan semestinya.
Semoga kita menjadi orang-orang yang senantiasa memakmurkan masjid. Mari kita makmurkan dengan aktifitas diiniyah. Semoga masjid ini membawa keberkahan bagi warga Mintobasuki khususnya, dan seluruh kaum muslimin pada umumnya. Bersama kita jaga Ukhuwah di lingkungan kita.
Foto-foto interior Masjid Agung Al-Amin Mintobasuki.
2014906095654 2014906095707 2014906095728 2014906095737 2014906095750 2014906095809

Kamis, 09 April 2015

Den Baguse Ngarso “Mbangun Deso”

Sobat netter sekalian, masih ingat program acara “Mbangun Deso” yang disiarkan di TVRI di tahun 90-an? Monggo kita bernostalgia sejenak ke masa-masa itu. Masa-masa dimana televisi yang ada masih 2 warna, hitam sama putih. Buat menyalakan TV harus pakai aki yang mesti di cas-kan seminggu sekali. Itu pun hanya kalangan khos yang punya. Belum banyak orang di kampung kita yang punya ‘kotak ajaib’ itu. Saya pun kalau nonton di tetangga harus booking tempat dulu karena yang pengen lihat juga banyak, kayak nonton bioskop saja. Stasiun tv swasta belum pada lahir. Antena UHV belum dikenal. Listrik baru masuk tiang sama kabelnya, setrum-nya belum. Itu pun baru di daerah tengahan. Kulonan, Loran dan Koripan masih berada di masa ‘kegelapan’ yang tak tahu kapan terangnya lampu neon bisa dinikmati.

Kembali ke acara “mBangun Deso” yang pernah jadi favorit saya dan tentunya juga sobat sekalian. Acara yang dikemas sedemikian apik dalam format sinetron komedi pendek berdurasi 30 menit, tanpa iklan, yang mengangkat tema permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat desa sehari-hari. ALur ceritanya sederhana, tak berbelit-belit sehingga pemirsa dari segala usia pun bisa mencernanya. Pesan-pesan yang disampaikan pun mudah ditangkap. Tanpa ada unsur menggurui. Tokoh-tokoh yang diperankan pun kental sekali dengan karakter-karakter wong nDeso.

Den Baguse Ngarso (diperankan oleh Drs Susilo Nugraha) mewakili karakter wong ndeso yang mriyayeni (sok bangsawan), tingkahnya nyebahi (menyebalkan), cemlolo, keminter (sok pandai), ngayelke (menjengkelkan), semugeh (sok kaya), gumedhe (sombong), keras kepala, gila hormat, kalau bicara cemplekit (bikin orang sakit hati), ngeyelan, ceplas-ceplos seolah tanpa mikir. Namun disisi lain dia juga punya mental pengecut bernyali ciut. Semua karakter-karakter negatif itu dikemas sedemikian rupa sehingga hilang kesan angkernya malah yang ada kesan jenaka. Tak jarang aktingnya dengan karakter-karakter tersebut malah mengundang gelak tawa. Nah…Apakah dalam diri anda ada karakter Den Baguse Ngarso, si Priyayi Luhur kang dowo Ususe?
Pak Bina (diperankan oleh Heru Kesawamurti) memerankan karakter seorang yang bijaksana, berwibawa, berwawasan kekinian, logis dalam berfikir, menjadi panutan, menjadi hakim dalam permasalahan-permasalahan yang di hadapi orang-orang sekitarnya.

Kuriman (Sepnu Heriyanto) dengan tampang khas orang deso, rambut agak gondrong. Mewakili wong deso yang mudah emosi, gampang ngamukan, ngeyelan, dan bicaranya kadang atos (kasar).
Tokoh lainnya yaitu kang Sronto (Sudiharjo) yang memerankan karakter wong ndeso yang bisanya pasrah, nrimo ing pandum, nggak neko-neko, tidak mudah emosi, tak punya inisiatif. Diperlakukan apa pun manut, asal bisa hidup. Dan Yu Sronto (Muji Rahayu) memerankan aktivis desa yang kadang hilang kontrol.

Karakter masing-masing tokoh memang sudah diseting sedemikian rupa yang menggambarkan watak-watak khas orang desa. Tema yang dipilih pun mengangkat kondisi riil masyarakat desa. Setiap episode memiliki alur yang sama, yaitu adanya sebuah kasus tertentu, lalu timbul konflik, kemudian diselesaikan oleh para penyuluh. Meski alurnya sederhana, tapi ceritanya tetap enak diikuti karena permasalahan yang diangkat pun bervariasi.

Saat ini kita miskin acara-acara televisi yang bertema pendidikan dan penyuluhan semacam ini. Kita tidak katakan acara ‘mbangun deso’ ini ideal, tapi paling tidak ada unsur-unsur positif yang disajikan kepada pemirsa. Tayangan-tayangan yang ada saat ini lebih banyak unsur hiburan semata untuk memuaskan penontonnya. Bahkan tidak jarang tayangan-tayangan yang ada mengandung unsur yang bisa merusak moral masyarakat. Sebut saja sinetron-sinetron yang ada saat ini yang lebih banyak menampilkan perilaku negatif, alkohol, freesex, pacaran, perkelahian, kebencian, hedonisme, dll yang sangat berpotensi merusak tatanan nilai di masyarakat. Sayangnya, KPI kurang ada ada kepedulian untuk melakukan kontrol terhadap siaran-siaran yang berdampak buruk tersebut.
Demikan, selamat malam…

Memaknai “Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa”


Mari kita simak terlebih dahulu definisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan oleh ahlinya agar tidak salah memaknai istilah ini:

Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada dimasyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi (Isbandi Rukminto Adi.)
Dalam Wibisana (1989:41) partisipasi masyarakat sering diartikan sebagai keikutsertaan, keterlibatan dan kebersamaan anggota masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak dari gagasan, perumusan kebijaksanaan hingga pelaksanan program. Partisipasi secara langsung berarti anggota masyarakat tersebut ikut memberikan bantuan tenaga dalam kegiatan yang dilaksanakan. Sedangkan partisipasi tidak langsung berupa keuangan, pemikiran dan material yang diperlukan. (Mulyono, Agus. 2008. Studi partisipasi masyarakat pada program desa mandiri pangan di desa Muntuk, Kabupaten Bantul . Tesis magister teknik pembangunan wilayah dan kota universitas diponegorp Semarang: tidak diterbitkan)


Dari dua definisi di atas paling tidak kita punya gambaran yang cukup untuk memahami makna ‘partisipasi masyarakat dalam pembangunan’ , wa bil khusus pembangunan di desa Mintobasuki Gabus Pati tercinta ini. Kenapa saya angkat bahasan ini? Saya rasa ini penting agar kita bisa memahami makna ‘partisipasi’ dalam artian luas dan komprehensif. Adanya pandangan sempit tentang makna ‘partisipasi’, bahwa partisipasi haruslah terjun langsung dalam menganalisa, mengambil keputusan, dan mengatasi masalah yang ada; ini yang perlu diluruskan.

Sebagaimana penjelasan di atas, partisipasi dalam sebuah misi pembangunan terbagi atas dua bagian, langsung dan tidak langsung. Partisipasi langsung dengan memberikan pemikiran dan tenaga terhadap permasalahan yang dihadapi. Ini adalah tugas para penyelenggara pemerintahan desa dan/atau individu atau tim berkompeten yang ditunjuk. Sedangkan partisipasi tidak langsung bisa diberikan dalam bentuk memberikan pemikiran, dukungan, keuangan dan material yang dibutuhkan, yang hal ini bisa dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Partisipasi masyarakat pada hakikatnya adalah proses pemberdayaan masyarakat untuk diikutseratakan dalam proyek-proyek pembangunan. Hal ini mengingat karena masyarakat merupakan subyek sekaligus obyek dari pembangunan itu sendiri.  Tingkat partisipasi masyarakat dalam sebuah proyek pembangunan tentu berbeda-beda menyesuaikan tingkat kemampuan masing-masing individu, baik dari segi pemikiran, tenaga, maupun pendanaan. Oleh karenanya adalah sebuah kekeliruan jika kita menuntut seluruh individu dalam masyarakat untuk terjun langsung dalam proyek-proyek tersebut tanpa melihat kemampuan yang ada pada mereka. Adakalanya individu dalam masyarakat tersebut layak menjadi subyek (pelaku) dalam sebuah proses pembangunan namun di lain pihak ada pula individu yang selayaknya dijadikan objek dalam sebuah proses pembangunan. Dengan demikian, setiap individu bisa menjalankan perannya masing-masing sesuai kemampuan yang mereka miliki.  Salah menempatkan posisi menjadikan program yang direncanakan tidak bisa berjalan mulus.

Dengan demikian, kita tidak perlu sinis terhadap mereka yang saat ini belum bisa terjun langsung ambil bagian dalam menyelesaikan tahap-tahap pembangunan. Dukungan moril dan dana dari mereka sudah cukup membuktikan partisipasi dalam penyelenggaraan pembangunan. Setiap kita bekerja sebaik-baiknya sesuai profesinya. Memaksakan seseorang yang tidak berkompeten dalam bidangnya dalam proyek-proyek tertentu justru akan menjadi beban dan hambatan pembangunan itu sendiri.
Secara umum, partisipasi dalam pembangunan terbagi atas tiga hal; Pertama: Partisipasi dalam tahap perencanaan, yaitu partisipasi dalam memberikan usulan terhadap perencanaan sebuah proyek, pembentukan tim kerja, dan semisalnya. Kedua: Partisipasi dalam pelaksanaan, yaitu pelibatan seseorang dalam proyek pembangunan dengan tenaga maupun dana yang dimiliki. Ketiga: Partisipasi dalam pemanfaatan, yaitu partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan dan memelihara proyek-proyek pembangunan. Dengan demikian, setiap individu bisa berpartisipasi dalam sebuah proyek pembangunan sesuai dengan kompetensinya masing-masing, sehingga tidak perlu ada istilah superior dan inferior terkait keikutsertaan individu dalam pembangunan. Setiap individu dalam masyarakat hendaklah saling dukung satu sama lain dalam mewujudkan harapan dan cita-cita bersama.

Silahkan posisikan diri kita masing-masing dalam berpartisipasi membangun Mintobasuki.

Selasa, 07 April 2015

Cerdas Memaknai Arti “Pembangunan”


Definisi Pembangunan
Image0779Para pakar berbeda-beda dalam mendefinisikan arti pembangungunan. Namun secara umum mereka memaknai pembangunan sebagai perubahan ke arah yang lebih baik dengan upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana. Perubahan di sini meliputi berbagai bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, keamanan dan lain-lainnya. Sedangkan maksud sadar dan terencana adalah bahwa pembangunan itu bukanlah hasil dari sebuah kebetulan melainkan terwujud melalui mekanisme yang terkonsep dan terarah.

Titik berat pembangunan biasanya berorientasi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Meski ada pula yang menambahkan perbaikan aspek nilai-nilai moral dan etika umat. Barometer kemajuan berbeda-beda untuk setiap daerah. Daerah yang terpencil dan terisolir -misalnya- ukuran kemajuannya bisa saja dinilai dari tersedianya akses jalan yang memadai untuk memperlancar distribusi hasil produksi, aliran listrik yang terjangkau untuk peningkatan produksi, dan perbaikan taraf hidup dengan tercukupinya kebutuhan primer. Berbeda halnya dengan daerah yang sudah mapan ukuran kemajuan bisa saja dinilai dari tercukupinya kebutuhan tersier.

Namun bila kita cermati ulasan para pakar dalam mendefinisikan arti pembangunan di sini hanya menyentuh aspek yang bersifat keduniawian tanpa memperhatikan aspek spiritual. Meski -sebagaimana di atas- ada juga yang memasukkan tata nilai dan moral sebagai barometernya. Sebagai makhluk dan hamba Alloh tentu kita tidak mendefinisikan pencapaian pembangunan hanya pada tataran duniawi saja akan tetapi juga -yang terpenting- pada tataran ukhrawi. Sebab, sebagai seorang muslim kita berkeyakinan bahwa kehidupan tidaklah berakhir di atas dunia ini saja akan tetapi berkelanjutan sampai di negeri akhirat. Kehidupan akhirat itulah yang lebih baik, lebih kekal dan lebih abadi. Dengan demikian, upaya untuk meraih ‘kesejahteraan’ ukhrawi sudah semestinya mendapatkan porsi lebih untuk diperhatikan.

Kembali ke topik pembangunan di atas, bahwa tujuan pembangunan adalah meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan dalam arti luas. Setiap pembangunan dalam sebuah komunitas pada umumnya berorientasi ke sana. Ada pun sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan tersebut tentulah berbeda-beda dan sangat kondisional dengan waktu dan tempat. Ini penting kita pahami terlebih dahulu agar kita tidak terjebak memaknai pembangunan dari sudut pandang yang sempit dan parsial.

Mintobasuki Membangun
Selama dasawarsa terakhir kita melihat adanya geliat yang positif di Mintobasuki yang semuanya itu tidak lepas dari peran serta aktif masyarakat yang bersinergi dengan para penyelenggara pemerintahan desa. Infrastruktur desa yang memadai untuk meningkatkan produktivitas warga, tingkat perekonomian yang membaik, kesadaran keberagamaan yang mulai tumbuh, kehidupan sosial yang hangat, tingkat pendidikan warga yang kian meningkat, dll yang semuanya itu bisa menjadi indikator bagi sebuah pencapaian pembangunan desa.

Infrastruktur yang merupakan faktor penopang kemajuan pembangunan desa telah tersedia. Jalan-jalan desa yang hampir 80%-nya telah dikeraskan, baik dengan pengaspalan maupun cor semen sehingga mempermudah mobilisasi warga. Sarana pendidikan yang memadai dengan berdirinya gedung-gedung sekolah dan madrasah TPQ beserta tenaga pengajarnya. Fasilitas pemerintahan desa berupa gedung balai desa dan sarana penunjangnya. Ketersediannya bidan desa untuk memfasilitasi warga yang hamil dan melahirkan. Dibangunnya PAM Simas di RW 2 yang menyediakan supplai air untuk warga Mintobasuki. Dibangunnya masjid-masjid untuk memfasilitasi warga guna melakukan aktifitas keagamaan dan peribadahan. Terhitung ada 6 Musholla dan 1 masjid induk yang telah berdiri. Pembangunan tanggul air di tiga titik kali tambak untuk memfasilitasi petani mendapat pengairan lahan pertanian. Dan mungkin masih ada  infrastruktur lainnya yang lepas dari pengamatan kami. Semua sarana fisik tersebut diharapkan mampu mempercepat laju kemajuan pembangunan desa Mintobasuki.

Sebuah Catatan…
Permasalahan yang perlu dicermati bersama adalah bahwa pembangunan hendaklah berwawasan kependudukan yang berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Penduduk merupakan subyek sekaligus obyek pembangunan. Jadi, tidak bisa kita menitikberatkan pembangunan pada infrastruktur semata dengan mengesampingkan sisi peningkatan sumber daya manusia. Harus ada keseimbangan dalam hal ini. Inilah yang disebut pembangunan manusia seutuhnya. Sudah saatnya kita merubah pola pikir kita selama ini yang menitikberatkan pencapaian pembangunan pada aspek fisik materiil semata, namun yang lebih penting adalah pembangunan non fisik yang melekat pada diri manusia itu sendiri. Kita tidak katakan bahwa pembangunan fisik itu tidak penting, akan tetapi perlu adanya penyeimbangan dari aspek sumber daya manusianya.
Tentu kita sering mendengar istilah ‘masyarakat madani’, yang biasa digambarkan sebagai sebuah masyarakat ideal yang mapan di segala segi. Namun tahukah kita dari mana istilah kata madani ini diperoleh? Kata ini diambil dari kata Madinah, yaitu kota dimana Rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- membangun peradaban baru di tengah masyarakat yang carut marut dalam suasana jahiliyyah. Peradaban baru itu bernama Islam, agama yang kemudian menyebar ke seluruh penjuru bumi. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah merubah masyarakat yang serba terpuruk dan terbelakang menjadi masyarakat yang gilang gemilang. Kesejahteraan hampir merata. Hukum ditegakkan. Keadilan bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Yang kuat membantu yang lemah. Si kaya membantu si miskin. Kestabilan pemerintahan. Keamanan yang bisa dirasakan setiap orang. Kesyirikan dihancurkan, tauhid ditegakkan, kalimat-kalimat Alloh ditinggikan. Sungguh kota Madinah kala itu mengalami masa gilang gemilang dalam tataran peradaban manusia. Dengan apa mereka jaya? Apakah dengan pembangunan infrastruktur semata? Tentu saja tidak, karena mereka jaya dengan Al-Islam. Islam yang merupakan kunci kejayaan mereka. Mereka benar-benar berusaha membumikan Islam dalam jiwa-jiwa mereka. Kejayaan ini bisa kita baca dari buku-buku literatur Islam yang banyak terdapat di perpustakaan-perpustakaan kaum muslimin.

Inilah yang perlu menjadi catatan dan renungan kita bersama agar kita tidak terjebak pada pemikiran yang dangkal bahwa keberhasilan pembangunan semata-mata diukur dari aspek fisik karena yang lebih sulit dari itu adalah pembangunan aspek non fisik yang ada pada diri manusianya. Manusia yang tidak terbina dan terdidik segi mental dan spiritualnya justru akan menjadi beban dan hambatan bagi pembangunan itu sendiri. Contoh ekstrimnya, jika kita punya dana 2 Milyar untuk membangun masjid, dalam waktu kurang dari 1 tahun masjid itu bisa berdiri. Namun, seumpama kita punya dana semisal itu untuk mengajak masyarakat memakmurkan masjid dengan menegakkan jamaah sholat dengan konsisten dan istiqomah dengan kesadaran pribadinya, apakah bisa terlaksana dalam waktu 1 tahun? Tentu tidak! Bahkan kita butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadarkan masyarakat tentang hakekat sholat dan kewajibannya. Membangun manusia tidaklah semudah membangun bangunan fisik. Jika kita tidak memulai membangun manusianya, justru manusia itulah nantinya yang akan jadi penghambat pembangunan.
Allohu a’lam.

Sekapur Sirih Dari Admin


Assalamu ‘alaikum wa rahmatullohi wa barakatuh…

Sahabat Netter Mintobasuki yang saya cintai,
Terhitung sejak Februari 2010, Blog Mintobasuki Gabus Pati sudah menapaki tahun ke-5 eksis di dunia maya. Blog kecil ini awalnya saya rintis untuk menuliskan uneg-uneg saya tentang desa tercinta, terlebih saat saya jauh di negeri orang. Saya tidak punya banyak waktu untuk meng-update blog ini, sekedar memanfaatkan waktu luang di selal-sela kesibukan. Disamping itu, kondisi pekerjaan yang mengharuskan saya selalu jauh dari desa Mintobasuki menjadikan kurangnya informasi untuk bahan tulisan di sini.

Blog ini murni inisiatif sendiri, saya kelola secara pribadi dengan bantuan beberapa teman netter Mintobasuki. Blog ini tidak ada kaitan apa pun dengan Pemerintahan desa Mintobasuki. Meski saat ini Mintobasuki telah memiliki Kepala Desa baru (Bp Santoso)tapi content blog tidaklah berpindah haluan dari sikap netralnya. Semua kami kelola secara independen tanpa intervensi dari pihak-pihak yang punya kepentingan-kepantingan tertentu di Mintobasuki.


Tulisan-tulisan yang terkait persoalan di desa Mintobasuki semaksimal mungkin kami sajikan secara objektif. Jika ada kritik, sanggahan maupun opini, semua itu tidak lepas dari fakta dan data akurat di lapangan yang kami dapatkan. Kami menyadari, informasi yang menyesatkan, tidak proporsional dan tidak profesional serta mengabaikan maslahat orang banyak sangatlah berbahaya dan rentan menimbulkan keresahan, bahkan konflik. Disini, yang menjadi prioritas bukan sekedar otentisitas berita, akan tetapi juga kajian dampak yang mungkin timbul jika informasi tersebut dikonsumsi publik. Pepatah Arab mengatakan “Likulli Maqoomin Maqool, wa likulli maqoolin maqoom” artinya setiap tempat ada pembicaraannya tersendiri, dan setiap pembicaraan ada tempatnya tersendiri. Tidak setiap berita yang kita dengar  mesti kita sampaikan. Atau orang Jawa mengatakan dalam menyampaikan sesuatu harus ’empan papan’, maksudnya harus tahu situasi dan kondisi. Bisa jadi berita yang valid, namun ketika kita sembarangan menyampaikan justru bisa menjadi bencana. Prinsip kehati-hatian ini pula yang menjadi pegangan kami.

Harapan ke depannya, blog ini bisa memberikan sumbangsih nyata bagi kemajuan desa Mintobasuki. Minimal bisa memberikan informasi-informasi positif bagi para warga Mintobasuki , baik yang berdomisili di dalam maupun di luar Mintobasuki. Kami juga membuka tangan lebar bagi siapa pun yang ingin berkontribusi dalam pengembangan blog ini. Akhir kata, kami haturkan terima kasih kepada setiap pembaca yang berkenan meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini.
Wassalamu ‘alaikum,
Admin

 
*MUTIARA HADITS NABI SHOLLALLOHU 'ALAIHI WA SALLAM* Abu Sa'id al-Khudri mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, "Apabila seorang hamba (manusia) masuk Islam dan bagus keislamannya, maka Allah menghapuskan darinya segala kejelekan yang dilakukannya pada masa lalu. Sesudah itu berlaku hukum pembalasan. Yaitu, suatu kebaikan (dibalas) dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat; sedangkan kejelekan hanya dibalas sepadan dengan kejelekan itu, kecuali jika Allah memaafkannya."(HR BUKHARI) Anas رضي الله عنه mengatakan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda, "Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah' dan di dalam hatinya ada kebaikan (7 - di dalam riwayat yang mu'alaaq: iman [17] ) seberat biji gandum. Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di dalam hatinya ada kebaikan seberat biji burr. Dan, akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di hatinya ada kebaikan seberat atom."(HR BUKHARI)