Pada bagian kedua
dari tulisan ini saya sedikit memaparkan sebuah kaidah bagaimana
menghukumi suatu permasalahan terkait urusan dien Islam – sesuai
kemampuan dan kapaitas ilmu saya yang masih sangat cethek ini-. Setiap
permasalahan dalam urusan Dien (Islam) ini hendaknya dikembalikan kepada
pemilik syariat yaitu Alloh dan Rosul-Nya untuk menghukumi. Ini adalah
kaidah dasar yang mesti kita pahami. Bahkan mengembalikan setiap
permasalahan Dien kepada keputusan Allah dan RasulNya adalah ukuran
keimanan seorang Muslim kepada Allah dan hari akhir. Alloh berfirman:
يا
أيها الذين ءامنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولى الأمرمنكم فإن
تنازعتم في شيئ فردوه الى الله و الرسول إن كنتم تؤمنون بالله و اليوم
الأخر ذلك خير و أحسن تأويلا
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Alloh dan taatilah RosulNya, dan ulil amri (ulama dan
umara’) diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul
(SunnahNya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari Akhir.
Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik bagimu. (QS an-Nisa’: 59)
Dalam ayat yang yang lain Alloh azza wa jalla barfirman:
فلا و ربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت و يسلموا تسليما
“Maka demi Robb-mu,
mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu(Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam)hakim dalam perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya (QS An-Nisa’: 65)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله و سنة رسوله
“Aku tinggalkan
untukmu dua perkara. kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada
keduanya. Yaitu kitab Alloh dan Sunnah RosulNya. (Hadits shahih
lighairihi, HR Malik; al-Hakim; al Baihaqi; Ibnu Nashr; Ibnu Hazm;
dashahihkan Syaikh Salim al Hilali dalam at-Ta’zhim Wal Minnah Fi
Intisharis Sunnah, hal 12-13)b
Inilah dasar-dasar
pijakan perlunya sikap ilmiah dalam menghukumi sebuah bermasalahan
terkait urusan syariat. Jadi, ketika terjadi silang pendapat hendaklah
dikembalikan kepada Alloh (al Qur’an) dan rosulNya (sunnah). Sikap ini
bukan berarti mengesampingkan kedudukan para ulama sebagai pewaris para
nabi untuk dijadikan rujukan. Peran ulama sebagai pembimbing umat
memegang penanan vital sehingga tidak bisa kita abaikan. Akan tetapi
kita juga harus meyakini bahwa yang ma’sum hanya rosulullah sholallahu
alaihi wa sallam. Kita pun harus menempatkan ulama pada porsi yang
semestinya, tidak meremehkan dan merendahkan kedudukan mereka, juga
sebaliknya tidak memposisikan mereka sejajar dengan kedudukan Rosulullah
sholallahu alaihi wa sallam dan menganggap setiap ucapan dan pendapat
mereka selalu benar dan ma’sum. Kita berada diantara dua sikap ini,
yaitu kita ambil pendapat mereka yang sesuai dengan dalil dan dekat
kepada kebenaran dan kita tinggalkan pendapat mereka jika ternyata
menyelisihi dalil-dalil yang shahih tanpa meremehkan dan menjatuhkan
kehormatan mereka. Kita meyakini jika seorang berijtihad dan benar
ijtihadnya maka ia mendapatkan 2 pahala, jika salah ia mendapat 1
pahala. Ini adalah sikap yang wasath (pertengahan) dan adil yang
dipegangi Ahlussunnah wal jamaah. Sudah semestinya kita membiasakan
kerangka berfikir ilmiah dalam menyikapi setiap permasalahan, tak
terkecuali dalam urusan Dien ini. Sebaliknya kita tinggalkan sikap
fanatik terhadap individu tertentu, organisasi maupun aliran tertentu
yàng menjadikan kita meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah karena tidak
sejalan dengan paham, aliran, atau organisasi kita. Karena yang kita
kehendaki adalah al-haqq ( kebenaran) yang bisa menghantarkan kepada
ridho-Nya.
Setelah kita memahami
kaidah ini, mari kita tinjau beberapa permasalahan yang selama ini kita
anggap menyelisihi syariat dan menyelisihi keumuman masyarakat kita.
PERTAMA, CADAR, ADAKAH TUNTUNANNYA DALAM SYARIAT?
Adalah sebuah kekeliruan
jika kita menganggap bahwa cadar adalah identitas aliran dan paham
tertentu dan bukan dari syariat Islam. Lebih aneh lagi mengaitkan jilbab
besar dan cadar dengan teroris hanya karena melihat istri para pelaku
tindak terorisme di negeri kita mengenakan cadar dan jilbab syar’i.
Tentu kita akan menolak jika dikatakan bahwa ciri-ciri teroris adalah
mengerjakan sholat, puasa, membaca Qur’an dsb hanya karena melihat para
pelaku tindak terorisme mengamalkannya? Jika kita menolak anggapan ini
tentu kita juga harus menolak jika syiar-syiar syariat yang lain semisal
jilbab dan cadar ini diidentikkan dengan teroris dan aliran sesat.
Jika kita membuka
kitab-kitab ulama ahlul hadits ternyata kita jumpai banyak atsar dari
para generasi awal Islam yang menunjukkan bahwa cadar ini sudah mereka
kenal dan mereka amalkan. Ini sebagai bantahan bahwa cadar adalah
sesuatu yang bid’ah ( baru) apalagi dikaitka dengan aliran dan paham
sesat. Diantara atsar-atsar tersebut adalah sebagaimana yang dibawakan
oleh syaikh Albany dalam kitab beliau “Hijab al-Mar’ah al-Muslimah fi
al-Kitab wa as-Sunnah”. Berikut ini saya kutipkan beberapa diantara
atsar yang beliau kemukakan untuk menjelaskan bahwa niqob/cadar suda
dikenal pada masa shahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, takhrij
berdasarkan kitab beliau, silahkan merujuk pada kitab beliau.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita yang berihram:
لَا تَنْتَقِبُ المَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ , وَ لَا تَلْبِسُ الْقُفَّازَيْنِ
“ Janganlah wanita yang berihram itu mengenakan niqab (cadar/tutup muka) dan jangan pula mengenakan qaffaz (kaos tangan)”.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV:42),
An-Nasa’i (II:9-10), al-Baihaqi (V: 46-47) dan Ahmad (no. 6003) dari
Ibnu Umar secara marfu’.
Dari ucapan Rosulullah di atas
menunjukkan bahwa cadar/niqab dan qaffaz itu keduanya sudah dikenal di
kalangan wanita yang sedang berihram. Ini berarti para shahabiyah
menutup wajah dan kedua tangan mereka. Hanya saja Rasulullah melarang
mereka (para wanita) untuk mengenakan keduanya di saat ihram.
Dari ‘Aisyah dalam hadits Qisshatul Ifki ia berkata:
فَبَيْنَمَا اَنَا جَالِسَةً فِيْ مَنْزِلِيْ , غَلَبَتْنِيْ عَيْنِي , فَنِمْتُ , و كان صَفْوَانُ ابنُ المُعَطَّلِ السَّلْمِي الذَّكْوَانِي من وَرَاءِالْجَيْشِ , فَأَدْلَجَ, فَأَصْبَحَ عِنْدَ مَنْزِلِي , فَأَرَى سَوَادَ إِنْسَانٍ نَائِمٍ ، فَأَتَانِي ، فَعَرَفَنِيْ حِيْنَ رَآنِيْ ،َوكَانَ يَرَانِي قَبْلَ الحِجَابِ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِيْنَ عَرَفَنِي فَخَمًرْتُ (وفي رواية فَسَتَرْتُ ) وَجْهِيْ عَنْهُ بِجِلْبَابِيْ
“Tatkala aku sedang
duduk di tempat istirahatku, aku tiba-tiba mengantuk dan akhirnya
tertidur Ternyata Shofwan bin al-Mu’atthal as-Silmi adz-Dzakwanidatang
dari belakang pasukan. Ia tiba kesorean. Ia pun menginap di tempat
pe.nginapsnku. ,Aku lihat orang tidur dalam kegelapan malam. Ia lalu
datang kepadaku dan ia pun mengenalku tatkala ia melihatku. Ia melihatku
sebelum aku berhijab. Lalu aku bangun untuk meminta agar ia kembali
tqtkala ia telah mengenaiku. Kemudian aku pun mengkhimari (dalam riwayat
lain: menutupi ) wajahku darinya dengan jilbabku…..”
Diriwayatkan oleh
al-Bukhori (VIII: 365-388 – pada “Fathul Bari”, Muslim (VIII: 113-118),
Ahmad (VI: 194-197), Ibnu Jarir (XVIII: 62-66), dan Abul Qosim al-Hana’i
dalam kitab al-fawaid (IX: 142/2) yang menghasankannya serta riwayatnya
yang lain yang diberi tambahan.
Dari ‘Aisyah juga bahwa ia berkata:
كَانَ
الرُكْبَانُ يَمُرُّوْنَ بِنَا و نَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذُوْا بِنَا أَسْدَلَتْ إِحْدَانَا
جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا على وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا
كَشَفْنَاهُ
“Adalah para
pengendara melewati kami sedangkan kami bersama Rosululloh sholallahu
‘alaihi wa sallam sedang berihram. Maka jika mereka lewat disamping
kami, maka salah satu diantara kami melabuhkan jilbabnya dari kepalanya
agar menutupi wajahnya. Dan tatkala mereka telah berlalu, kami pun
membukanya kembali”
HR Ahmad (VI: 30), Abu Dawud dan Ibnu Jarud (no. 418), serta al-Baihaqi dalam al-Hajja dengan sanad hasan karena adanya syahid.
Dari Asma’ binti Abu Bakar bahwa ia berkata:
كُنَّا نُغَطِّيْ وُجُوْهُنَا من الِرجَالِ و كُنَّا نَمْتَشِطُ قبل ذلك فِي الْإِحْرَامِ
“Kami menutupi wajah-wajah kami dari kaum laki-laki, dan kami sebelum itu menyisir rambut dalam ihram”
Diriwayatkan oleh al-Hakim (I: 454) menurutnya ini adalah hadits shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim.
Dari Shafiyyah binti Syaibah bahwa ia berkata:
رأيت عائشة طافت بالبيت و هي مُنْتَقِبَةً
“Aku pernah meliht ‘Aissyah melakukan thawaf di Ka’bahdengan mengenakan cadar”
HR Ibnu Sa’d (VIII:49), Abdurrozzaq dalam al-Mushonnaf (V:24-25)
Dari ‘Abdullah bin umar bahwa ia berkata:
لَمَّا اجْتَلَى النّبِيُّ صلى الله عليه و سلم صَفِيَةَ ، رَأَى عائشةَ مُنْتَقِبَةً وَسَطَ النَّاسِ فَعَرَفَهَا
“Tatkala Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan Shofiyyah, beliau melihat
‘Aisyah mengenakan cadar di tengah-tengah keumunan manusia, lalu Nabi
pun tahu bahwa itu benar-benar ‘Aisyah”
Ibnu Sa’d (VIII: 90),
hadits ini ada keterputusan pada sanandnya. Namun syaikh alBany
menyebutkan bebrapa syawahid tentang hadits ini.
Setelah kita tahu bahwa
banyak atsar-atsar tentang cadar ini -bahkan diantara shahabiyah dan
istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun ada yang
mengamalkannya- lalu bagaimana pendapat para ulama tentang masalah ini?
Menurut madzhab Hanafi dan
Maliki, wajah bukanlah aurot yang wajib ditutupi, oleh karenanya menurut
mereka cadar hukumnya tidak wajib akan tetapi sunnah (mustahabbah).
Akan tetapi jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah bagi laki-laki maka
wajib baginya menutupi wajahnya. Sebagian ulama-ulama Madzhab Maliki
juga mewajibkannya.
Pendapat ini berseberangan
dengan madzhab Syafi’i dan Hanbali yang mengatakan bahwa seluruh tubuh
wanita adalah aurat jika berhadapan dengan pria ajnabi (bukan
mahram)termasuk wajahnya, bahkan kuku-kukunya. Oleh karenanya menurut
pendapat kedua ini cadar hukumnya wajib dan yang tidak mengamalkannya
mendapatkan dosa.
Demikianlah penjelasan para
ulama terkait permasalahan cadar. Tapi bukan di sini penjelasannya
karena tulisan ini saya buat hanya untuk meyakinkan pembaca bahwa cadar
itu bukanlah perkara baru dalam agama kita akan tetapi sudah ada dan
dikenal sejak zaman Nabi Sholallahu ‘alaihi wa sallam.
Bersambung, Insya Alloh…..