Sekitar
tahun 1999 tersebar kabar bahwa di Mintobasuki ada sekelompok pemuda
yang terpengaruh aliran sesat. Tepatnya di dukuh Kulonan. Konon aliran
ini mengajarkan islam yang berbeda dengan Islam yang dianut kebanyakan
masyarakat. Ciri-cirinya celana cingkrang, kadang berjubah dan tidak
memotong jenggot bagi laki-lakinya. Sedangkan wanitanya selalu menutup
kakinya dengan kaus kaki, berjilbab besar bahkan mengenakan tutup
wajah(cadar) . Mereka tidak mau menghadiri tahlilan, tidak mau berzanji,
tidak mau qunut subuh, tidak mau yasinan, tidak mau ikut sholawatan,
tidak mau bersalaman dengan lawan jenis, tidak mau pergi ke
tempat-tempat yang dikeramatkan warga seperti Cengek, Nyemeh, Gayam dsb
yang semuanya itu telah menjadi tradisi turun-temurun masyarakat.
Bahkan, ketika salah seorang anggota jamaah mereka melaksanakan
pernikahan, dalam akad nikahnya si wanitanya tidak keluar dan hanya
diwakili walinya saja. Hanya mempelai laki-lakinya saja yang berhadapan
dengan penghulu, dengan ditemani saksi dan wali. Kejadian yang dinilai
ganjil ini tentu saja mengundang tanda tanya bagi warga.
Jumlah pengikut aliran ini tidak banyak, sekitar 7 sampai 8 orang.
Usia mereka masih muda, sekitar 20-an tahun ke bawah. Namun meski usia
mereka masih relatif muda akan tetapi kehadiran aliran Islam ‘aneh’ ini
cukup meresahkan warga. Berita heboh tentang mereka ini pun dengan cepat
tersebar dari mulut ke mulut, tidak hanya di wilayah mintobasuki tapi
juga di desa-desa lain.
Keberadaan sekelompok pemuda ini telah menjadi bahan pembicaraan di
forum-forum rapat, baik tingkat desa maupun RT/RW. Bahkan menjadi
obrolan hangat di warung-warung dan tempat-tempat keramaian. Berbagai
langkah antisipasi dan proteksi terhadap keyakinan yang dianggap sesat
ini pun dilakukan agar tidak menular ke warga yang lain. Kepala Desa
saat itu menghibau kepada warganya agar mereka kembali menghidupkan
masjid dan mushalla yang ada untuk melakukan aktifitas keagamaan. Dalam
seketika masjid dan mushalla menjadi penuh ketika sholat maghrib dan
Isya seperti layaknya di bulan Ramadhan. Akan tetapi hal itu tidak
berlangsung lama.
Tokoh-tokoh agama pun tak ketinggalan dihimbau untuk memberikan
wejangan kepada masyarakat akan bahayanya aliran ini. Anak-anak dilarang
ngaji kepada mereka karena kebetulan di antara mereka ada yang dulunya
pengasuh TPA dilingkungannya sekaligus aktifis masjid sehingga sosok
mereka demikian dekat dengan anak-anak. Bahkan mereka sempat dilarang
sholat berjamaah di dalamnya untuk beberapa waktu dengan ijin dari
kepala desa. Langkah ini dilakukan karena mereka dinilai sangat aktif
melakukan sholat lima waktu dengan berjamaah di Masjid.
Tersiar isu juga bahwa salah seorang diantara mereka adalah pemabok,
menganggap selain alirannya najis seperti pengikut LDII dan mereka
melakukan aktifitas ta’lim di malam hari ketika orang-orang sudah
tertidur. Sehingga ada seseorang yang memata-matai mereka pada malam
hari, hal ini diketahui karena si mata-mata ini mengaku sendiri. Julukan
sampah masyarakat pun ditujukan kepada sekelompok pemuda ini. Berbagai
cercaan dan celaan datang bertubi-tubi kepada mereka, bukan hanya dari
para warga akan tetapi juga dari pihak keluarga mereka sendiri.
Langkah-langkah proteksi ini pun sangat efektif, ruang gerak mereka
bisa dipersempit dan aktivitas mereka bisa dihentikan kecuali jamaah
sholat di masjid yang biasa mereka lakukan. Akan tetapi bagaimana pun
juga kehadiran mereka ini tetaplah menjadi duri dalam daging bagi
masyarakat Mintobasuki. Sikap mereka yang nampak militan dan tidak
peduli dengan celotehan orang sangatlah tidak membuat nyaman hati.
Berbagai opini pun bermunculan, sebenarnya aliran apa yang di anut
para pemuda ini? Pada awalnya warga menduga mereka adalah pengikut
Muhammadiyyah, akan tetapi kenyataannya tidak. Dugaan lain mereka adalah
pengikut aliran LDII, akan tetapi juga tidak benar karena mereka tidak
pernah sekalipun diketahui melakukan ta’lim atau sholat di pondok LDII
yang ada di Ngeluk(tempat yang cukup dekat dengan Mintobasuki), bahkan
mereka melakukan aktivitas sholat 5 waktu dan sholat jum’at di masjid
umum bersama warga. Dan ketika muncul tragedi bom Bali I yang didalangi
oleh para teroris maka warga seolah mendapat pembenaran bahwa mereka ini
juga adalah komplotan para tukang bom itu. Ciri-cirinya sama persis,
bahkan cadar yang dikenakan istri tokoh teroris itu sama dengan cadar
yang dikenakan wanita mereka. Jadi tepatlah sudah bahwa sebenarnya
mereka ini adalah aliran JI yang banyak disebut-sebut diberbagai media
telah melakukan aksi bom Bali. Akan tetapi dugaan ini pun sirna karena
mereka beberapa kali menyebarkan pernyataan-pernyataan yang menentang
aksi-aksi teror semacam itu.
Lalu aliran apakah mereka ini?
0 komentar:
Posting Komentar