*** SELAMAT DATANG *** Ini adalah blog pribadi yang dikelola secara independen oleh Netter desa Mintobasuki kec. Gabus kab. Pati. Blog Mintobasuki Gabus Pati bukanlah blog resmi pemerintahan desa Mintobasuki. Blog ini tidak ada hubungan dalam bentuk apa pun dengan organisasi, kelompok dan kepentingan tertentu di desa Mintobasuki. Artikel-artikel yang disajikan adalah tulisan lepas yang berisi uneg-uneg, ide, pemikiran, opini pribadi penulis dan pernik-pernik terkait desa Mintobasuki.

Area Persawahan di sebelah timur Desa Mintobasuki

Lahan pertanian yang cukup luas membentang di bagian timur desa. Hasil pertanian yang dihasilkan antara lain padi, jagung, kacang-kacangan dan beraneka ragam sayuran.

Kali Tambak untuk sarana irigasi pertanian

Sungai kecil yang membujur di sebelah timur desa yang berhulu di Sungai Silugonggo memiliki arti penting sebagai sarana irigasi.

Pesona desa Mintobasuki

Nuansa alam desa yang nyaman, udara yang segar, pemandangan yang indah menjadikan desa Mintobasuki kian anggun dan menyimpan pesona tersendiri.

Sektor pertanian yang perlu dikembangkan

Mintobasuki memiliki lahan pertanian sekitar 90 Hektar terdiri atas lahan basah dan kering. Oleh karenanya perlu ada upaya yang matang untuk mengembangkan sektor ini. Selain itu, pertanian menjadi mata pencaharian sebagian besar warga Mintobasuki sampai saat ini.

Sarana peribadahan yang cukup memadai

Desa Mintobasuki memiliki 5 Musholla dan 1 Masjid Agung Al-Amin yang saat ini dalam tahap pembangunan. Dengan adanya sarana penunjang yang cukup memadai ini diharapkan mampu mengakomodir kebutuhan warga dalam beribadah.

Pertanian merupakan mata pencaharian mayoritas warga

Sektor pertanian tetap menjadi mata pencaharian dan primadona bagi masyarakat desa Mintobasuki, meski dengan seiring bertambahnya waktu, profesi dan mata pencaharian warga kian heterogen.

Sektor Perikanan di Mintobasuki

Sungai Silugonggo yang bermuara ke laut utara ternyata memberi berkah tersendiri bagi warga Mintobasuki. Hasil tangkapan ikannya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warga yang berprofesi sebagai nelayan.

Senin, 22 Februari 2010

Mintobasuki: Banjir Seri kedua

Mendung tebal di hari Sabtu kemarin (20/2/2010) membawa hujan lebat yang hampir semalaman mengguyur Pati dan sekitarnya. Akibatnya Sungai Silugonggo tidak mampu lagi menampung debit air yang demikian besar sehingga terjadi luapan air dengan disertai arus yang deras. Sudah bisa dipastikan, daerah sepanjang DAS akan  terendam tak terkecuali Ds Mintobasuki di bagian barat dan utara dan juga sebagian areal persawahan di sebelah timur desa karena datarannya juga rendah.
Sebenarnya faktor utama penyebab meluapnya sungai adalah karena hujan lebat  di daerah hulu disamping kemungkinan adanya banjir kiriman . Faktor lainnya adalah karena semakin parahnya proses sedimentasi yang menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai.
Sampai pagi ini, Senin 22/2/2010 mendung tebal masih menutupi langit ditambah hujan gerimis yang belum reda sampai saat ini. Air bercampur lumpur semakin meninggi dan menggenangi rumah-rumah warga terlebih bagi warga yang tinggal di dukuh Kulonan dan Loran. Di dalam rumah, ketinggian air bisa mencapai 30 cm sedangkan di jalanan bisa 1 – 1.5 m. Warga yang rumahnya terendam lebih memilih bertahan dengan membuat tempat yang tinggi dengan perlengkapan seadanya atau mengungsi ke tetangga yang belum terjangkau banjir. Sebagian warga mensiasati musibah tahunan ini dengan membuat rumah susun atau dengan meninggikan pondasi sampai pada posisi aman dari jangkauan banjir sehingga mereka tetap bisa bertahan di rumah ketika banjir tiba.
Saat ini yang paling dibutuhkan warga adalah sarana kesehatan seperti obat-obatan dan makanan. Air banjir yang kotor sangat rentan sekali menimbulkan dampak kesehatan yang kurang bagus seperti penyakit gatal-gatal dan diare karena warga biasanya mengkonsumsi air banjir untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, mencuci bahkan untuk memasak dan minum.
Sejak Januari lalu terhitung sudah dua kali ini terjadi banjir. Yang pertama adalah dipertengahan bulan kemarin dan ini adalah yang kedua. Dan banjir kali ini lebih besar dari sebelumnya.

Senin, 15 Februari 2010

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 10 Selesai

Penutup
Sebenarnya masih banyak lagi isu-isu yang beredar di Mintobasuki berkenaan dengan keberadaan kami. Diantaranya adalah bahwa kami pengikut LDII, atau juga anggota teroris, bahwa kami juga dituduh suka mabuk-mabukan, ada juga yang mengatakan wanita-wanita kami suka berganti-ganti pasangan (mungkin maksudnya mut’ah ala Syi’ah), bahwa kami menggunakan sihir untuk memikat anak-anak kecil agar mau ngaji, ada yang mengatakan bahwa kami selalu mengadakan pengajian menjelang tengah malam, dan lain-lain yang tidak kami ketahui yang semuanya itu hanya berita yang dibuat-buat dan tidak benar. Tentunya kami tidak bisa menanggapi semuanya karena keterbatasan ilmu dan waktu yang kami miliki. Paling tidak apa yang telah kami paparkan dalam tulisan-tulisan ini sudah mewakili untuk mengklarifikasi realita sebenarnya.
Melalui tulisan ini kami juga minta maaf kepada seluruh warga Mintobasuki yang saya cintai karena keberadaan kami telah membuat resah dan gerah masyarakat. Seandainya ada komunikasi yang baik antara kami dan masyarakat tentulah tidak akan timbul prasangka-prasangka yang dialamatkan ke kami tersebut. Harapannya, siapa pun yang membaca tulisan ini hendaklah bersedia menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya agar tidak timbul fitnah yang berlarut-larut.
Di bagian penutup ini kami sampaikan, marilah kita sama-sama menumbuhkan semangat dan motivasi dalam belajar dan memahami Dien (Islam) kita ini. Ketidaktahuan dan kebodohan kita terhadap ilmu-ilmu agama menjadikan kita terombang-ambing, tidak memiliki pegangan yang kuat ketika melihat segala perubahan yang ada di sekitar kita. Tanpa ilmu Dien yang sahih kita tidak memiliki takaran yang tepat untuk menentukan mana yan benar dan mana yang salah, mana yang haq mana yang batil, mana yang halal mana yang haram. Semakin luas ilmu yang kita miliki tentu semakin luas pula kita melihat segala permasalahan yang ada terkait masalah Dien. Janganlah kita bak katak dalam tempurung yang merasa cukup dengan apa yang ada di depan mata kita tanpa mau berusaha mengkaji dan mempelajari ilmu-ilmu lainnya.
Ilmu yang sahih adalah ilmu yang bersumberkan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun tentu saja kita akan sesat jika keduanya diserahkan kepada kita untuk memahami sendiri. Semua aliran sesat yang ada di muka bumi ini semuanya mengaku ajarannya berlandaskan kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah, bahkan para teroris pun ketika mereka melakukan pengeboman juga mengeluarkan ayat-ayat dan hadits-hadits Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai pembenaran. Oleh karenanya, kita tidak cukup hanya dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits saja lalu ditelan mentah-mentah, kita butuh kaidah ke-3 yaitu :pemahaman yang benar.
Pemahaman yang benar dalam memahami keduanya adalah pemahaman para sahabat Nabi yang mulia -radhiyallohu ‘anhum-. Mereka adalah murid-murid terbaik Rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang senantiasa menyertai beliau, berjihad bersama beliau dan menjadi tameng hidup bagi beliau. Para shahabat belajar ilmu Dien langsung dari dari sumbernya yaitu Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Pada masa mereka al-Qur’an diturunkan, mereka tahu dalam kedaan apa suatu ayat diturunkan, apa sebab ayat tersebut diturunkan dan mereka paham apa tafsirnya karena dijelaskan langsung oleh Nabi -shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Seandainya mereka melakukan kesalahan Alloh dan Rosulnya langsung menegur sehingga secara umum kondisi mereka adalah maksum, akan tetapi inidividu-individu mereka tidaklah maksum. Alloh telah ridha dengan mereka dan mereka pun telah ridha kepada Alloh. Alloh telah janjikan jannah (surga intuk mereka).
Alloh ta’ala berfirman:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah 100)
Pujian Alloh atas mereka bukanlah karena kehebatan, harta, kepintaran dan lain-lainnya yang bersifat keduniaan, akan tetapi pujian Alloh dalam ayat di atas adalah karena lurusnya cara beragama mereka. Silahkan dibaca tulisan ini dan tulisan ini sebagai tambahan referensi.
Lalu bagaimana cara kita mengikuti mereka padahal jarak kita terbentang belasan abad? Inilah yang menjadi tantangan bagi kita untuk mempelajari Dien. Selama kita mau mengkaji sirah (perjalanan hidup) mereka dengan bimbingan para utadz dan ulama yang kredibel tentu kita akan menemukan gambaran konkrit bagaimana kehidupan mereka dalam segala aspeknya terlebih dalam masalah Dien. Perlu kesungguhan untuk menggali ilmunya, tidak cukup belajar satu atau dua hari, satu atau dua minggu, akan tetapi terus menerus dan kontinyu sampai kita bisa menemukan gambaran yang jelas tentang bagaimana kehidupan beragama mereka, dan bagaimana mereka menjadikan Islam sebagai keseluruhan aktivitas kehidupan mereka baik dalam berumah tangga, bermasyarakat, dan bernegara dengan segala aspek yang melingkupinya baik ekonomi, politik, pertahanan keamanan dan sebagainya.
Demikian klarifikasi dari kami, semoga bisa memberikan sedikit pencerahan untuk kita semua.
Wasollallohu ‘ala nabiyyina muhammad ‘wa ‘ala alihi wa sohbihi…

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 9

Mendo’akan Kaum Muslimin yang Telah Meninggal
pemakaman-baqi-diperuntukan-bagi-jamaah-haji-yang-wafat-di-_121015181142-847Alloh memerintahkan kaum muslimin untuk saling berkasih sayang di antara mereka. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menggambarkan kasih sayang mereka dengan yang lainnya ibarat satu tubuh jika ada satu bagian tubuh yang sakit maka bagian tubuh yang lain pun merasakan sakitnya, mata tidak bisa terpejam dan seluruh badan meriang. Sungguh indah perumpamaan yang diberikan oleh Nabi kita -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Kasih sayang tersebut tidak hanya tatkala mereka masih hidup di dunia saja bahkan ketika mereka sudah meninggal, bahkan sampai kelak di hari kiamat. Kaum mukminin pada hari penghisaban nanti akan saling memberikan syafaat antara satu dengan yang lainnya. Mereka saling berkasih sayang di akhirat sebagaimana mereka saling berkasih sayang tatkala di dunia. Mereka akan gundah jika mengetahui masih ada diantara saudara-saudara sesama muslimnya tatkala di dunia harus menjalani siksa neraka.
Demikianlah kaum muslimin diikat dengan ukhuwah dan rahmat diantara mereka. Tidak hanya tatkala mereka hidup bahkan ketika mereka sudah meninggal. Di antara adab-adab tatkala saudara kita -sesama muslim- meninggal adalah dengan mengurusi jenazahnya, menunaikan tanggungan-tanggungannya dan mendoakannya.
Ulama sepakat bahwa mensholatkan jenazah muslim adalah disyariatkan bahkan wajib. Kaum muslimin seluruhnya berdosa jika tidak ada satu pun yang mensholatkannya dengan sengaja. Dalam bacaan sholat jenazah yang dibaca adalah do’a kepada mayat agar diampuni dosanya, dirahmati Alloh, diberi kebahagiaan di alam kuburnya, dan dimaafkan kesalahan-kesalahannya. Inilah i’tiqad (keyakinan) kami bahwa mendoakan orang yang sudah meninggal adalah masyru’ah (disyariatkan). Do’a orang yang hidup kepada orang yang sudah meninggal adalah sampai. Alloh -ta’ala- berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Hasyr: 10)
Ini adalah dalil kuat bahwa mendoakan orang Islam yang telah meninggal adalah disyariatkan dan do’a tersebut bisa memberi manfaat kepada si mayit. Dalam riwayat yang lain, nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan do’a ketika berziarah kubur :
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَيَرْحَمُ اللهُ الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنَّا وَالْمُسْتَأْخِرِينَ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Semoga keselamatan tercurah kepada kalian, wahai penghuni kubur, dari (golongan) orang-orang beriman dan orang-orang Islam, semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang belakangan. Kami insya Allah akan menyusul kalian, saya meminta keselamatan untuk kami dan kalian.” (HR. Ahmad , Muslim , Ibnu Hibban , dan yang lainnya).
Ini juga merupakan dalil penguat bahwa do’a kepada penghuni kubur  adalah bermanfaat dan sampai. Kalaulah tidak sampai, tentu Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak akan mengajarkannya kepada kita. Dan masih banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan akan hal ini.
Oleh karenanya, hendaklah kita mendoakan saudara-saudara kita sesama muslim yang telah meninggal baik dengan do’a-do’a yang sifatnya umum maupun khusus. Do’a khusus misalnya kita do’akan si fulan yang telah meninggal agar diampuni dosa-dosanya dan diterima amal-amal baiknya. Misalnya juga do’a kita kepada orang tua tua kita yang telah wafat dengan do’a :
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْراً
“Wahai Rabbku rahmatilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka mendidikku sewaktu kecil”. (QS al-Isra’ ayat 24)
Do’a bersifat umum misalnya do’a yang kita baca sewaktu tasyahud: السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ “Ya Alloh berikanlah keselamatan kepada kami dan hamba-hambaMu yang shalih”. Do’a ini umum mencakup seluruh hamba Alloh yang shalih baik yang masih hidup atau pun yang sudah meninggal.
Lalu apa masalahnya dengan kami? Mungkin yang jadi masalah adalah karena kami menolak cara-cara yang tidak pernah diajarkan Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam mendoakan orang meninggal. Cara-cara yang kami maksud adalah dengan mengirimkan bacaan-bacaan kalimat tayyibah kepada mayit, seperti tahlil, tahmid, tasbih, bacaan Qur’an dan sebagainya.
Memang kami akui adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang bacaan Qur’an yang dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal. Sebagian ulama mengatakan sampai namun sebagian lagi mengatakan tidak sampai. Imam Ahmad adalah tokoh yang mengatakan sampainya pahala bacaan Qur’an untuk orang yang sudah meninggal. Pendapat beliau ini berseberangan dengan pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa bacaan Qur’an tidak akan sampai karena hal semacam itu tidak pernah dinukil riwayatnya dari Rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan para shahabatnya -radhiyallohu ‘anhum-. Seandainya hal tersebut baik tentulah mereka yang pertama kali akan mengamalkannya. Pendapat inilah yang menurut saya lebih kuat -Allohu a’lam-.
Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama di atas, hal yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa para ulama yang mengatakan sampainya bacaan Qur’an kepada mayit tidak pernah membuat formula-formula tertentu untuk mendoakannya, semisal harus baca ini sekian dan sekian, harus surat ini dan itu, harus dibaca dihari ini dan itu. Ini semua adalah tidak dikenal dan tidak diajarkan oleh mereka.
Perlu dipahami juga bahwa kami bukanlah orang yang pertama kali yang mengikuti pendapat ini, sebelumnya telah ada organisasi Muhammadiyyah, PERSIS, Al-Irsyad dan lain-lainnya yang juga tidak melakukan ritual-ritual tersebut untuk mendokan orang yang sudah mati. Sehingga mengatakan sesat hanya karena tidak mengikuti cara-cara kaum tradisional dalam mendoakan orang meninggal adalah tidak tepat.
Demikian, semoga bisa memberikan pencerahan bagi kita semua.
Allohu a’lam.

Sabtu, 13 Februari 2010

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 8

Bersalaman Adalah Sunnah Rasululloh -sollallohu ‘alaihi wa sallam-
bersalamanDiantara sekian isu yang ada adalah bahwa kami tidak mau bersalaman kecuali dengan sesama anggota jamaahnya. Buktinya, kalau selesai sholat kami tidak saling bersalaman sebagaimana umumnya kaum muslimin yang saling bersalaman. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kami menajiskan kaum muslimin yang lain dengan alasan karena kami tidak bersalaman seusai sholat fardhu’.
Marilah kita simak hadits yang diriwayatkan oleh Bara’ bin ‘Azib berikut ini:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.“(HR Abu Dawud, at-Tirmidzi , Ibnu Majah dan Ahmad dan dishahihkan Syaikh Albani -rahimahulloh-)
Berjabat tangan ketika bertemu dan berpisah antara dua orang muslim adalah sunnah (ajaran ) Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak perlu ada keraguan lagi. Mushafahah adalah sarana efektif untuk saling merekatkan hati kaum muslimin dan menghangatkan ukhuwah di antara mereka. Alloh bahkan akan mengampuni mereka yang mengamalkan ini sampai mereka saling berpisah. Oleh karenanya, mengamalkan mushafahah adalah bernilai ibadah di sisi Alloh -ta’ala.
Rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menjelaskan pada hadits di atas bahwa jaminan ampunan diberikan kepada mereka yang bersalaman ketika pertama kali bertemu. Meski ada khilaf apakah ketika akan berpisah juga ada anjuran yang kuat juga. Allohu a’lam, sebagian ulama menganjurkan juga bersalaman ketika hendak berpisah -meski anjurannya tidak sekuat ketika bertemu. Amalan yang baik agar bernilai ibadah tentunya juga tidak boleh kita sembarangan dalam mengamalkannya. Dengan demikian, mengkhususkan sendiri waktu, keadaan dan tatacara bersalaman tanpa contoh dari nabi kita -shollallohu ‘alaihi wa sallam- adalah tidak tepat. Semisal selesai sholat fardhu’. Para ulama telah membahas panjang lebar masalah ini dalam kitab-kitab fiqih. Sebagian mereka bahkan menganggapnya bid’ah.
Hal-hal yang perlu kita perhatikan saat bersalaman adalah, bahwa bersalaman yang dicontohkan Nabi dengan menggunakan tangan kanan -bukan kedua tangan-, berjabat tangan ketika bertemu dan berpisah sebagaimana penjelasan di atas, berjabat tangan tidak dengan mencium tangan kecuali jika tidak dijadikan kebiasaan atau menjadikan sombong orang yang dicium tangannya karena yang lebih baik adalah mengikuti cara yang diajarkan oleh rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Adapun berjabat tangan seusai sholat fardhu’ karena memang baru bertemu dan baru bisa berjabatan ketika selesai sholat maka yang demikian tidaklah mengapa -Allohu a’lam-.

Jumat, 12 Februari 2010

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 7

Membaca Sholawat Atas Nabi -shollallaohu ‘alaihi wa sallam-
_11Ada tuduhan kepada kami bahwa kami anti membaca shalawat kepada rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah tuduhan yang tidak berdasar sama sekali. Kami meyakini membaca shalawat atas Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- adalah sebuah keutamaan dan ibadah yang mulia. Hendaknya seorang muslim banyak-banyak membaca sholawat kepada beliau sebagai bentuk penghormatan dan syukur atas diutusnya beliau -shollallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah menunjukkan kita ke pada jalan kebenaran setelah sebelumnya umat manusia terjerembab ke dalam jurang kenistaan. Sudah sepantasnya sholawat dan salam kita tercurahkan kepada beliau dan keluarganya, para shahabatnya -radhiyallohu ‘anhum- dan kepada seluruh pengikutnya yang setia mengikuti jejak langkah beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Kita diperintahkan membaca sholawat kepada Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bukan berarti beliau butuh akan sholawat kita, akan tetapi kitalah yang sebenarnya butuh dengan bacaan sholawat kita kepada beliau. Tanpa kita bershalawat kepada beliau pun kemuliaan, kehormatan dan kedudukan yang tinggi di sisi Alloh pun telah beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam dapatkan. Bukankah Alloh -ta’ala dan seluruh malaikat-malaikatnya seluruhnya bersholawat kepada Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-? Lalu apakah arti sholawat kita, kita membaca sholawat karena kita yang butuh untuk kebaikan untuk diri kita sendiri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [Al-Ahzaab: 56]
Sholawat Alloh atas nabi maksudnya pujian dan sanjungan Alloh -ta’ala- kepada beliau di hadapan para malaikat-malaikatnya. Sholawat malaikat maknanya do’a kepada beliau. Sholawat umatnya kepada beliau maksudnya permohonan ampunan kepada beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Dari uraian singkat di atas, maka sangat tidak beralasan adanya anggapan bahwa kami anti baca shalawat atas Nabi -sholallohu ‘alaihi wa sallam-. Bahkan, dengan membaca tulisan klarifikasi ini tentu pembaca paham bahwa seringkali saya menuliskan lafadz shollallohu ‘alaihi wa sallam– setelah menyebutkan nama beliau sebagai bentuk do’a sholawat dan salam saya kepada beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tak pernah dijumpai satu kali pun dalam tulisan-tulisan saya dengan mencukupkan menulis ‘SAW’ sebagai pengganti sholawat. Orang yang mendengar Nama beliau -shallallohu ‘alaihi wa sallam- disebut namun ia tidak bersholawat, sungguh telah merugilah ia.
Kami juga meyakini bahwa membaca sholawat tatkala tasyahud akhir adalah disyariatkan sehingga kami pun membacanya, meski para ulama berselisih pendapat tentang wajib atau tidaknya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْثِرُوا الصَّلاَةَ عَلَيَّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَلَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَمَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا.
“Perbanyaklah kalian membaca shalawat kepadaku pada hari dan malam Jum’at, barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali niscaya Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR Baihaqi dari Anas bin Malik dan dishahihkan Syaikh Albani)
Kita juga dianjurkan membaca sholawat setelah menjawab adzan, ketika membawa qunut witir, saat khotib berkhotbah (seperti khotabh jum’at, Ied, Istisqo’ dll), ketika masuk dan keluar masjid, ketika berdo’a, dan waktu-waktu yang lain.
Mungkin yang jadi permasalahan adalah karena kami hanya mencukupkan diri dengan tata cara membaca shalawat yang diajarkan Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, baik yang terkait lafadz, jumlah bilangan, waktu, tempat, sebab dan kaifiyahnya. Kami tidak membaca sholawat yang tidak pernah diajarkan nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang berisi sanjungan yang berlebih-lebihan kepada beliau memang benar adanya, semacam sholawat Nariyah dan semacamnya. Kami juga tidak membatasi sholawat dengan membatasinya dengan jumlah bilangan tertentu yang tidak diperintahkan Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Demikian pula kami tidak mengkhususkan membaca sholawat dengan mengaitkannya pada waktu, tempat, sebab dan tata cara yang tidak dicontohkan nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dengan meyakini keutamaannya.
Mungkin juga yang jadi permasalahan munculnya tuduhan ini adalah karena kami tidak melakukan ‘sholawatan’ setelah adzan dikumandangkan di masjid dengan nyanyian lewat pengeras suara. Ada pun hadits berikut ini kami mengakui ke shahihannya:
، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللهَ لِيَ الْوَسِيلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ، لَا تَنْبَغِي إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِي الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ»
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash -rahiyallohu ‘anhuma- bahwasannya Rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda : “Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti yang ia ucapkan, kemudian bersholawatlah kepadaku. Barang siapa yang bersholawat kepadaku sekali maka Alloh akan bersholawat untuknya sepuluh kali. Kemudian, mohonkanlah (kepada Alloh) untukku al-wasilah, yaitu sebuah tempat di surga, yang tidak akan diberikan kecuali kepada hamba Alloh. Dan aku berharap bahwa hamba itu adalah aku. Barang siapa yang memohonkan al-wasilah untukku, maka pasti baginya syafaat”. (HR Muslim dan Ahmad)
Kami meyakini bahwa hadits ini adalah shahih. Kita diperintahkan membaca sholawat setelah mendengar adzan selesai sebelum membaca do’a permohonan al-wasilah kepada beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tapi bukan dengan cara-cara seperti yang ada saat ini, dengan dilagukan dengan pengeras suara yang justru mengganggu kekhusyu’an saudara-saudara kita yang mungkin lagi mengerjakan sholat sunnah atau berdzikir.
Demikian, semoga bisa memberi pencerahan atas tuduhan yang dialamatkan ke kami.

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 6


Penjelasan Tentang Qunut Subuh
doa-478x258Bagaimana pendapat para ulama tentang bacaan qunut ini?
Madzhab Malikiyah berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali di sholat subuh saja. Tidak ada qunut di sholat witir dan sholat-sholat lainnya.
Syafi’iyyah berpendapat tidak ada qunut kecuali di sholat witir di separuh akhir Ramadhan dan tidak ada qunut di sholat yang lain; kecuali sholat subuh dalam segala keadaan. Demikian pula disyariatkan qunut nawazil disholat-sholat fardhu jika jika kaum muslimin tertimpa musibah.
Hanafiyyah berpendapat disyariatkan qunut di sholat witir, dan tidak disyariatkan di sholat-sholat yang lain kecuali bacaan qunut nawazil di sholat-sholat fardhu ketika kaum muslimin ditimpa musibah; akan tetapi qunut ini dibaca bersama imam di sholat subuh dan diaminkan makmum. Adapun kalau sholat sendiri tidak ada bacaan qunut.
Hanabilah (Madzhab Hambali) berpendapat bahwa disyariatkan qunut di sholat witir dan tidak qunut diselainnya kecuali qunut nawazil yang dibaca ketika kaum muslimin tertimba bencana dan musibah selain karena wabah penyakit. Imam atau yang mewakilinya membaca qunut dalam sholat lima waktu selain sholat jum’at.  Adapun Imam Ahmad sendiri mengatakan tidak shahih bahwa qunut dalam witir sebelum atau sesudah ruku’ tersebut dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. (Diambilkan dari majmuu Fatawa wa Rasail Ibn Utsaimin)
Dan inilah pendapat para Ahli Madzhab dan Imam-imam besar kaum muslimin.
Dengan demikian, persolan qunut subuh merupakan permasalahan yang menjadi ranah khilafiyah para ulama. Sebagian mereka mengatakan qunut subuh adalah sunnah, namun sebagian yang lain tidak sunnah. Adapun qunut nazilah adalah disyariatkan yaitu tatkala kaum muslimin ditimpa musibah seperti peperangan, bencana alam dan sebagainya. Qunut ini dikerjakan di sholat fardhu yang lima waktu bersama Imam dan diaminkan makmum. Adapun jika sholat sendiri maka tidak perlu membaca qunut.
Ada pun bacaan sholat witir yang diajarkan Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- kepada cucu beliau Hasan bin Ali bin Abu Tholib -radhiyallohu ‘anhuma- yaitu : “Allohumma ‘hdini fiiman hadaita…dst” sebagian ulama menshahihkan hadits ini sehingga bagi yang mengamalkannya boleh, dan yang meninggalkannya juga boleh.
Mengenai qunut subuh yang khusus dengan bacaan : “Allohuma ‘hdini fiiman hadaita..dst” ini yang diperselisihkan ulama. Meskipun yang lebih menentramkan hati kami adalah bahwa tidak perlu membaca doa qunut ini di sholat subuh. Akan tetapi, jika Imam mengangkat tangan membaca qunut subuh kami pun mengangkat tangan dan mengamininya. Demikian yang dicontohkan oleh Ulama kita seperti Imam Ahmad, meski beliau berpendapat qunut subuh tidak disyariatkan akan tetapi beliau ikut mengamini qunut dibelakang Imam yang qunut. Sikap ini dilakukan untuk menjaga persatuan hati di antara kaum muslimin. Tak sepatutnya kita memperlebar perbedaan ini ke ranah permusuhan sesama muslim yang mengakibatkan perpecahan.
Demikian klarifikasi kami terkait persoalan qunut subuh; bahwa kami tidaklah mengatakan bahwa orang yang mengerjakan qunut subuh sesat dan melakukan bid’ah.
Allohu a’lam.

Kamis, 11 Februari 2010

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 5

Membiarkan Jenggot dan Memotong Kumis
jenggot-sunnahRasululloh -shallallohu ‘alaihi wa sallm- bersabda terkait masalah memanjangkan jenggot dan memotong kumis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ»
Dari Abu Hurairah -radhiyallohu ‘anhu- Rasululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Potonglah kumis kalian, biarkanlah jenggot dan berbedalah dengan orang-orang Majusi” (HR Muslim)
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Selisilah orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot, dan cukur habislah kumis.” (HR. Bukhari)
Bahkan Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang lebat jenggotnya:
كَانَ كَثِيرَ شَعْرِ اللِّحْيَةِ
“Rambut jenggot Nabi banyak (lebat).” (HR. Muslim)
Jenggot bukanlah ciri atau simbol dari kelompok tertentu dalam Islam, akan tetapi memelihara jenggot tanpa memotongnya adalah sunnah dan syariat yang di ajarkan oleh Nabi kita -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Dari hadits – hadits di atas para ulama fiqih menetapkan hukum bahwa memotong jenggot adalah haram hukumnya. Ini adalah pendapat mayoritas para ulama fiqih, diantaranya Ibnu Hazm, Imam Syafi’i dalam Al-Umm, dan Imam Malik -rahimahumulloh-.
Dalam hal merapikan jenggot, ulama berselisih pendapat. Sebagian tidak boleh memotongnya secara total dan sebagian lagi boleh memotongnya jika melebihi genggaman, sebagaimana atsar Ibnu Umar yang hal ini menjadi pendapatnya. Berdasarkan sebuah riwayat dari Nafi’ yang ia riwayatkan dari Ibnu Umar.
«إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَه
“Ibnu Umar apabila berhaji atau umrah maka ia menggenggam jenggotnya, yang lebih panjang dari genggaman dia potong” (HR Bukhari)
Demikianlah, sebagai bukti kecintaan kita kepada Rasululloh shallallohu ‘alaihi wa sallam sudah semestinya kita mentaati apa yang beliau perintahkan semampu kita dan meninggalkan semua yang beliau larang. Termasuk dalam hal ini adalah perintah untuk membiarkan jenggot dan tidak memotongnya.

Rabu, 10 Februari 2010

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 4

no-isbalBerikut ini klarifikasi tentang mengenakan pakaian di atas mata kaki yang dianggap sebagai pengikut LDII atau pengikut jaringan Islam radikal.
Mengenakan Pakaian di Atas Mata Kaki
Rasululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam sebuah haditsnya:
«مَا أَسْفَلَ مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِي النَّارِ»
“Sesuatu yang (dipakai sampai) berada di bawah mata kaki berupa sarung (celana dan semisalnya) maka tempatnya di neraka” (HR Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ» قَالَ: فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا، قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا، مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: «الْمُسْبِلُ، وَالْمَنَّانُ، وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ»
Dari Abu Dzar -radhiyallohu ‘anhu- dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ” Tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Alloh, tidak dilihat (dengan pandangan rahmat), tidak disucikan (dari dosa-dosanya) dan bagi mereka siksa yang pedih”. Abu Dzar berkata: Rasululloh menyebutkannya sampai 3 kali, dan aku berkata: Celaka dan merugilah dia, siapa mereka wahai Rasululloh ? Rasululloh bersabda: “Musbil (orang yang mengenakan pakaian di bawah mata kaki), Mannan (orang yang suka mengundat-undat pemberian) dan orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu” (HR Ahmad dan Muslim)

Masih banyak hadits-hadits lainnya seputar larangan mengenakan pakaian di bawah mata kaki yang sahih dari Rasululloh -shallallohu ‘alaihi wa sallam. Dua hadits di atas sudah cukup bagi kita untuk menjadi dalil bahwa mengenakan pakaian yang berupa sarung, celana, jubah dan yang semisalnya hendaklah tidak sampai di bawah mata kaki. Ada peringatan keras dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bagi yang melanggarnya.
Dengan demikian, memakai pakaian di atas mata kaki adalah sebuah syariat Nabi kita dan bukan merupakan ciri-ciri dari aliran tertentu atau kelompok tertentu. Berdasarkan hadits-hadits tersebut, para ulama mengambil istimbath (hukum) bahwa isbal hukumnya haram dan pelakunya terancam dengan neraka sebagaimana hadits-hadits di atas.
Hanya saja sebagaian ulama ada juga yang berpendapat bahwa memakai pakaian di atas mata kaki tidaklah wajib, hanya sunnah mustahabbah-  tetapi jika dilakukan dengan kesombongan bisa menjadi haram dan berdosa. Diantara yang berpendapat demikian adalah Imam Nawawi -rahimahulloh-.
Terlepas dari pendapat ini, kita meyakini bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi kita -shollallohu ‘alaihi wa sallam. APa yang diperintahkan oleh beliau pastilah akan membawa kemaslahatan di dunia dan akhirat, sedangkan apa yang dilarang beliau tentulah akan membawa kebinasaan di dunia dan akhirat. Dengan demikian, sudah semestinya kita taslim (menerima) apa yang datang dari beliau dan mengamalkannya sebagai bukti kecintaan kepada beliau dan ketundukan kepada syariat yang beliau bawa. Dan inilah cara berbusana yang diajarkan nabi kita -shollallohu ‘alai wa sallam- terkait celana dan sarung yang dikenakan kaum laki-laki yaitu di atas mata kaki atau minimal tepat pada mata kaki dan tidak melebihinya. Tentu saja ini tidak berlaku bagi kaum wanita yang diperintahkan mengenakan pakaian sampai menutupi kaki-kaki mereka karena kaki adalah bagian aurot yang harus ditutup.

Selasa, 09 Februari 2010

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 3


CadarmuslimahbSebelum membaca tulisan ini saya sarankan anda membaca bagian pertama dan kedua dari tulisan ini untuk mengetahui masalah yang sedang kita bahas secara utuh. Pada bagian pertama, saya membeberkan tentang ‘tingkah’ sebagian anak muda di lingkungan kita yang sempat membuat heboh orang sekampung karena sikap beragama mereka yang ‘nyeleneh’ dan ‘aneh’ yang berbeda dengan cara beragama masyarakat pada umumnya. Tak ayal lagi sikap ini membuat keresahan warga sehingga banyak mengundang kecurigaan dan tersebar isu-isu negatif . Sebenarnya kasus ini sudah lama berlalu yaitu sekitar tahun 1999. Saya angkat lagi masalah ini disini untuk klarifikasi agar masalahnya menjadi jelas terkait isu dan tuduhan yang dialamatkan kepada mereka. Ini adalah tulisan klarifikasi ke dua dari pihak mereka:
Pada bagian kedua dari tulisan ini saya sedikit memaparkan sebuah kaidah bagaimana menghukumi suatu permasalahan terkait urusan dien Islam – sesuai kemampuan dan kapaitas ilmu saya yang masih sangat cethek ini-. Setiap permasalahan dalam urusan Dien (Islam) ini hendaknya dikembalikan kepada pemilik syariat yaitu Alloh dan Rosul-Nya untuk menghukumi. Ini adalah kaidah dasar yang mesti kita pahami. Bahkan mengembalikan setiap permasalahan Dien kepada keputusan Allah dan RasulNya adalah ukuran keimanan seorang Muslim kepada Allah dan hari akhir. Alloh berfirman:
يا أيها الذين ءامنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولى الأمرمنكم فإن تنازعتم في شيئ فردوه الى الله و الرسول إن كنتم تؤمنون بالله و اليوم الأخر ذلك خير و أحسن تأويلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah RosulNya, dan ulil amri (ulama dan umara’) diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (SunnahNya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari Akhir. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik bagimu. (QS an-Nisa’: 59)
Dalam ayat yang yang lain Alloh azza wa jalla barfirman:
فلا و ربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت و يسلموا تسليما
Maka demi Robb-mu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu(Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam)hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS An-Nisa’: 65)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله و سنة رسوله
“Aku tinggalkan untukmu dua perkara. kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya. Yaitu kitab Alloh dan Sunnah RosulNya. (Hadits shahih lighairihi, HR Malik; al-Hakim; al Baihaqi; Ibnu Nashr; Ibnu Hazm; dashahihkan Syaikh Salim al Hilali dalam at-Ta’zhim Wal Minnah Fi Intisharis Sunnah, hal 12-13)b
Inilah dasar-dasar pijakan perlunya sikap ilmiah dalam menghukumi sebuah bermasalahan terkait urusan syariat. Jadi, ketika terjadi silang pendapat hendaklah dikembalikan kepada Alloh (al Qur’an) dan rosulNya (sunnah). Sikap ini bukan berarti mengesampingkan kedudukan para ulama sebagai pewaris para nabi untuk dijadikan rujukan. Peran ulama sebagai pembimbing umat memegang penanan vital sehingga tidak bisa kita abaikan. Akan tetapi kita juga harus meyakini bahwa yang ma’sum hanya rosulullah sholallahu alaihi wa sallam. Kita pun harus menempatkan ulama pada porsi yang semestinya, tidak meremehkan dan  merendahkan kedudukan mereka, juga sebaliknya tidak memposisikan mereka sejajar dengan kedudukan Rosulullah sholallahu alaihi wa sallam dan menganggap setiap ucapan dan pendapat mereka selalu benar dan ma’sum. Kita berada diantara dua sikap ini, yaitu kita ambil pendapat mereka yang sesuai dengan dalil dan  dekat kepada kebenaran dan kita tinggalkan pendapat mereka jika ternyata menyelisihi dalil-dalil yang shahih tanpa meremehkan dan menjatuhkan kehormatan mereka. Kita meyakini jika seorang berijtihad dan benar ijtihadnya maka ia mendapatkan 2 pahala, jika salah ia mendapat 1 pahala. Ini adalah sikap yang wasath (pertengahan) dan adil yang dipegangi Ahlussunnah wal jamaah. Sudah semestinya kita membiasakan  kerangka berfikir ilmiah dalam menyikapi setiap permasalahan, tak terkecuali dalam urusan Dien ini. Sebaliknya kita tinggalkan sikap fanatik terhadap individu tertentu, organisasi maupun aliran tertentu yàng menjadikan kita meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah karena tidak sejalan dengan paham, aliran, atau organisasi kita. Karena yang kita kehendaki adalah al-haqq ( kebenaran) yang bisa menghantarkan kepada ridho-Nya.
Setelah kita memahami kaidah ini, mari kita tinjau beberapa permasalahan yang selama ini kita anggap menyelisihi syariat dan menyelisihi keumuman masyarakat kita.
PERTAMA, CADAR, ADAKAH TUNTUNANNYA DALAM SYARIAT?
Adalah sebuah kekeliruan jika kita menganggap bahwa cadar adalah identitas aliran dan paham tertentu dan bukan dari syariat Islam. Lebih aneh lagi mengaitkan jilbab besar dan cadar dengan teroris hanya karena melihat istri para pelaku tindak terorisme di negeri kita mengenakan cadar dan jilbab syar’i. Tentu kita akan menolak jika dikatakan bahwa ciri-ciri teroris adalah mengerjakan sholat, puasa, membaca Qur’an dsb hanya karena melihat para pelaku tindak terorisme mengamalkannya? Jika kita menolak anggapan ini tentu kita juga harus menolak jika syiar-syiar syariat yang lain semisal jilbab dan cadar ini diidentikkan dengan teroris dan aliran sesat.
Jika kita membuka kitab-kitab ulama ahlul hadits ternyata kita jumpai banyak atsar dari para generasi awal Islam yang menunjukkan bahwa cadar ini sudah mereka kenal dan mereka amalkan. Ini sebagai bantahan bahwa cadar adalah sesuatu yang bid’ah ( baru) apalagi dikaitka dengan aliran dan paham sesat. Diantara atsar-atsar tersebut adalah sebagaimana yang dibawakan oleh syaikh Albany dalam kitab beliau “Hijab al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitab wa as-Sunnah”. Berikut ini saya kutipkan beberapa diantara atsar yang beliau kemukakan untuk menjelaskan bahwa niqob/cadar suda dikenal pada masa shahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, takhrij berdasarkan kitab beliau, silahkan merujuk pada kitab beliau.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita yang berihram:
لَا تَنْتَقِبُ المَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ , وَ لَا تَلْبِسُ الْقُفَّازَيْنِ
“ Janganlah wanita yang berihram itu mengenakan niqab (cadar/tutup muka) dan jangan pula mengenakan qaffaz (kaos tangan)”.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV:42), An-Nasa’i (II:9-10), al-Baihaqi (V: 46-47) dan Ahmad (no. 6003) dari Ibnu Umar secara marfu’.
Dari ucapan Rosulullah di atas menunjukkan bahwa cadar/niqab dan qaffaz itu keduanya sudah dikenal di kalangan wanita yang sedang berihram. Ini berarti para shahabiyah menutup wajah dan kedua tangan mereka. Hanya saja Rasulullah melarang mereka (para wanita) untuk mengenakan keduanya di saat ihram.
Dari ‘Aisyah dalam hadits Qisshatul Ifki ia berkata:
فَبَيْنَمَا اَنَا جَالِسَةً فِيْ مَنْزِلِيْ , غَلَبَتْنِيْ عَيْنِي , فَنِمْتُ , و كان صَفْوَانُ ابنُ المُعَطَّلِ السَّلْمِي الذَّكْوَانِي من وَرَاءِالْجَيْشِ , فَأَدْلَجَ, فَأَصْبَحَ عِنْدَ مَنْزِلِي , فَأَرَى سَوَادَ إِنْسَانٍ نَائِمٍ ، فَأَتَانِي ، فَعَرَفَنِيْ حِيْنَ رَآنِيْ ،َوكَانَ يَرَانِي قَبْلَ الحِجَابِ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِيْنَ عَرَفَنِي فَخَمًرْتُ (وفي رواية فَسَتَرْتُ ) وَجْهِيْ عَنْهُ بِجِلْبَابِيْ
“Tatkala aku sedang duduk di tempat istirahatku, aku tiba-tiba mengantuk dan akhirnya tertidur Ternyata Shofwan bin al-Mu’atthal as-Silmi adz-Dzakwanidatang dari belakang pasukan. Ia tiba kesorean. Ia pun menginap di tempat pe.nginapsnku. ,Aku lihat orang tidur dalam kegelapan malam. Ia lalu datang kepadaku dan ia pun mengenalku tatkala ia melihatku. Ia melihatku sebelum aku berhijab. Lalu aku bangun untuk meminta agar ia kembali tqtkala ia telah mengenaiku. Kemudian aku pun mengkhimari (dalam riwayat lain: menutupi ) wajahku darinya dengan jilbabku…..”
Diriwayatkan oleh al-Bukhori (VIII: 365-388 – pada “Fathul Bari”, Muslim (VIII: 113-118), Ahmad (VI: 194-197), Ibnu Jarir (XVIII: 62-66), dan Abul Qosim al-Hana’i dalam kitab al-fawaid (IX: 142/2) yang menghasankannya serta riwayatnya yang lain yang diberi tambahan.
Dari ‘Aisyah juga bahwa ia berkata:
كَانَ الرُكْبَانُ يَمُرُّوْنَ بِنَا و نَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذُوْا بِنَا أَسْدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا على وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
“Adalah para pengendara melewati kami sedangkan kami bersama Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam sedang berihram. Maka jika mereka lewat disamping kami, maka salah satu diantara kami melabuhkan jilbabnya dari kepalanya agar menutupi wajahnya. Dan tatkala mereka telah berlalu, kami pun membukanya kembali”
HR Ahmad (VI: 30), Abu Dawud dan Ibnu Jarud (no. 418), serta al-Baihaqi dalam al-Hajja dengan sanad hasan karena adanya syahid.
Dari Asma’ binti Abu Bakar bahwa ia berkata:
كُنَّا نُغَطِّيْ وُجُوْهُنَا من الِرجَالِ و كُنَّا نَمْتَشِطُ قبل ذلك فِي الْإِحْرَامِ
“Kami menutupi wajah-wajah kami dari kaum laki-laki, dan kami sebelum itu menyisir rambut dalam ihram”
Diriwayatkan oleh al-Hakim (I: 454) menurutnya ini adalah hadits shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim.
Dari Shafiyyah binti Syaibah bahwa ia berkata:
رأيت عائشة طافت بالبيت و هي مُنْتَقِبَةً
“Aku pernah meliht ‘Aissyah melakukan thawaf di Ka’bahdengan mengenakan cadar”
HR Ibnu Sa’d (VIII:49), Abdurrozzaq dalam al-Mushonnaf (V:24-25)
Dari ‘Abdullah bin umar bahwa ia berkata:
لَمَّا اجْتَلَى النّبِيُّ صلى الله عليه و سلم صَفِيَةَ ، رَأَى عائشةَ مُنْتَقِبَةً وَسَطَ النَّاسِ فَعَرَفَهَا
“Tatkala Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan Shofiyyah, beliau melihat ‘Aisyah mengenakan cadar di tengah-tengah keumunan manusia, lalu Nabi pun tahu bahwa itu benar-benar ‘Aisyah”
Ibnu Sa’d (VIII: 90), hadits ini ada keterputusan pada sanandnya. Namun syaikh alBany menyebutkan bebrapa syawahid tentang hadits ini.
Setelah kita tahu bahwa banyak atsar-atsar tentang cadar ini -bahkan diantara shahabiyah dan istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun ada yang mengamalkannya- lalu bagaimana pendapat para ulama tentang masalah ini?
Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, wajah bukanlah aurot yang wajib ditutupi, oleh karenanya menurut mereka cadar hukumnya tidak wajib akan tetapi sunnah (mustahabbah). Akan tetapi jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah bagi laki-laki maka wajib baginya menutupi wajahnya. Sebagian ulama-ulama Madzhab Maliki juga mewajibkannya.
Pendapat ini berseberangan dengan madzhab Syafi’i dan Hanbali yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat jika berhadapan dengan pria ajnabi (bukan mahram)termasuk wajahnya, bahkan kuku-kukunya. Oleh karenanya menurut pendapat kedua ini cadar hukumnya wajib dan yang tidak mengamalkannya mendapatkan dosa.
Demikianlah penjelasan para ulama terkait permasalahan cadar. Tapi bukan di sini penjelasannya karena tulisan ini saya buat hanya untuk meyakinkan pembaca bahwa cadar itu bukanlah perkara baru dalam agama kita akan tetapi sudah ada dan dikenal sejak zaman Nabi Sholallahu ‘alaihi wa sallam.
Bersambung, Insya Alloh…..

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 2


minto11Bagian pertama dari tulisan ini telah kami paparkan tentang adanya sekelompok kecil warga Mintobasuki yang diduga terpengaruh dengan aliran sesat karena pengamalan Islam mereka berbeda dengan kebanyakan masyarakat umum. Agar lebih adil dan berimbang dalam menerima informasi terkait keberadaan mereka, mari kita simak penuturan salah satu jamaah mereka yang telah menuliskan klarifikasi tentang berbagai tuduhan yang dialamatkan ke mereka. Berikut ini tulisan yang disampaikan ke kami:

Bismillah…
Sudah menjadi kemestian bahwa pada awalnya Islam adalah sesuatu yang asing dan di akhir zaman nanti Islam juga akan kembali asing seperti awalnya, sebagaimana yang telah banyak disinggung oleh Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam dalam banyak haditsnya. Dan pada saat itu (beliau bersabda:) beruntunglah orang-orang yang di anggap asing. Yaitu orang-orang yang senantiasa melakukan perbaikan  di saat kebanyakan manusia rusak karena meninggalkan ajaran Islam. Dan dalam sabdanya yang lain beliau bersabda yang maknanya: “Akan datang suatu zaman dimana orang yang sabar memegang agamanya bagaikan memegang bara api”, hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
Demikian sedikit gambaran tentang kondisi umat ini menjelang akhir zaman sebagaimana yang dijelaskan oleh rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Pada saat itu orang-orang yang benar-benar komitmen dengan agamanya sangatlah sedikit dibanding orang-orang yang menyelisihinya. Sehingga kebenaran dan para pengikutnya sangatlah asing di mata orang-orang yang jauh dari ajaran kebenaran yang jumlah mereka jauh lebih banyak. Sehingga tidak heran jika kemudian terjadi berbagai distorsi, dimana kebenaran dianggap kesesatan dan kesesatan dijadikan pegangan karena dianggap sebagai kebenaran. Kenapa bisa demikian? Karena kebodohan yang demikian pekat menyelimuti kehidupan manusia pada saat itu. Dengan kebodohan itu manusia tidak bisa membedakan antara haqq dan batil, antara benar dan salah, antara halal dan haram dan antara jalan petunjuk dan jalan kesesatan. Hal ini bisa terjadi karena tolak ukurnya bukan lagi parameter yang jelas, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi timbangannya adalah kebodohan dan hawa nafsu. Jadi apapun asalkan sesuai dengan kebodohan dan hawa nafsunya maka itulah kebenaran. Adapun yang tidak sesuai dengannya, maka itu adalah kesesatan dalam pandangan mereka dan harus dijauhi, disingkirkan dan dienyahkan.
Namun akan selalu ada di tengah umat ini suatu kaum yang senantiasa menampakkan kebenaran, tidak memudharatkan mereka orang-orang yang mencela dan menyelisihi mereka. Mereka inilah yang banyak disebut dalam hadits Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam sebagai At-Thaifah al-manshurah yaitu golongan yang ditolong oleh Allah ‘azza wa jalla. Mereka adalah suatu kaum yang tidak takut dengan celaan orang yang mencela. Senantiasa menggigit kebenaran dengan gigi geraham mereka sampai datang kepada mereka al-yaqin yaitu kematian dan mereka dalam keadaan demikian.
Dari uraian di atas, saya mengajak kepada pembaca sekalian -yang saya tujukan sebenarnya kepada para ‘aalim di Mintobasuki dan para tokoh agamanya- untuk kembali merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan persoalan Dieniyyah. Bukannya merujuk kepada perkataan kyai Fulan, syaikh Fulan, aliran fulan dsb. Dan bukan pula menyelesaikannya dengan pemahaman kebanyakan orang awam. Karena perkataan siapa pun boleh diambil jika sesuai kebenaran dan harus ditinggalkan jika ternyata menyelisihi kebenaran. Mengikuti pendapat seseorang tanpa melihat salah dan benarnya menurut timbangan syariat yang shahih adalah pangkal dari sikap ta’ashub (fanatik buta) yang akan membawanya kepada penyimpangan. Sebaliknya, ittiba’ (mengikuti) Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya dan bersungguh-sungguh di atasnya adalah pangkal dari hidayah dan keselamatan.
Para a’immah(ulama) dahulu sangatlah memperhatikan masalah pentingnya berittiba’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shabatnya radhiyallhu ‘anhum.
Imam abu Hanifah rahimahullah pernah berkata:”Jika suatu hadits telah diketahui keshahihannya, maka itu adalah madzhabku”. Di tempat yang lain beliau berkata: “tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil perkataan kami jika dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”. Beliau juga berkata:”Jika saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tinggalkanlah pendapatku”.
Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah berkata: “Setiap orang bisa ditolak perkataannya dan bisa diambil kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Beliau juga berkata: “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, ambillah. Dan jika tidak sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah tinggalkanlah”.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:”Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam, peganglah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku itu”. Beliau juga berkata: “bila suatu hadits telah diketahui keshahihannya maka itu madzhabku”, dan masih banyak perkataan beliau lainnya.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah berkata: “janganlah kalian bertaqlid kepadaku, kepada Malik, Syafi’i, Auza’i dan Tsauri. Tapi ambillah dari mana mereka mengambil”.
Sebagian perkataan para Imam besar ini saya kutip ulang dari kitab Shifat Shalat Nabi oleh Syaikh Al-Albani dalam muqodimahnya.
Dari perkataan para Imam tersebut kita bisa mengambil pelajaran, bahwa mereka sangat perhatian untuk berittiba’ (mengikuti) hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan segala bentuk ta’ashub(fanatik). Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam al-Qur’an :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”(QS An_Nisa’:59)
Dengan demikian, untuk menghukumi seseorang sesat atau tidak sesat hendaklah berdasarkan dalil, bukan sekedar hawa nafsu dan kebodohan semata, atau hanya berdasarkan pendapat kebanyakan manusia.
Nah, setelah kita mengetahui kaidah dasar bagaimana seharusnya seorang muslim itu menghukumi sesuatu yang terkait masalah Dien, maka sekarang kita akan mengecek dan meneliti, apakah mereka yang selama ini kita anggap sebagai pengikut sekte sesat apakah benar demikian? Apakah cukup menghukumi seseorang terperosok ke dalam kesesatan hanya karena mereka berbeda dari kebanyakan orang awam? Ataukah selama ini mereka punya dalil yang shahih dan pemahaman yang shahih pula?
Insya Allah bersambung di tulisan ketiga.
Allahu a’lam.

Senin, 08 Februari 2010

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag1


Image057Sekitar tahun 1999 tersebar kabar bahwa di Mintobasuki ada sekelompok pemuda yang terpengaruh aliran sesat. Tepatnya di dukuh Kulonan. Konon aliran ini mengajarkan islam yang berbeda dengan Islam yang dianut kebanyakan masyarakat. Ciri-cirinya celana cingkrang, kadang berjubah dan tidak memotong jenggot bagi laki-lakinya. Sedangkan wanitanya selalu menutup kakinya dengan kaus kaki, berjilbab besar bahkan mengenakan tutup wajah(cadar) . Mereka tidak mau menghadiri tahlilan, tidak mau berzanji, tidak mau qunut subuh, tidak mau yasinan, tidak mau ikut sholawatan, tidak mau bersalaman dengan lawan jenis, tidak mau pergi ke tempat-tempat yang dikeramatkan warga seperti Cengek, Nyemeh, Gayam dsb yang semuanya itu telah menjadi tradisi turun-temurun masyarakat. Bahkan, ketika salah seorang anggota jamaah mereka melaksanakan pernikahan, dalam akad nikahnya si wanitanya tidak keluar dan hanya diwakili walinya saja. Hanya mempelai laki-lakinya saja yang berhadapan dengan penghulu, dengan ditemani saksi dan wali. Kejadian yang dinilai ganjil ini tentu saja mengundang tanda tanya bagi warga.
Jumlah pengikut aliran ini tidak banyak, sekitar 7 sampai 8 orang. Usia mereka masih muda, sekitar 20-an tahun ke bawah. Namun meski usia mereka masih relatif muda akan tetapi kehadiran aliran Islam ‘aneh’ ini cukup meresahkan warga. Berita heboh tentang mereka ini pun dengan cepat tersebar dari mulut ke mulut, tidak hanya di wilayah mintobasuki tapi juga di desa-desa lain.
Keberadaan sekelompok pemuda ini telah menjadi bahan pembicaraan di forum-forum rapat, baik tingkat desa maupun RT/RW. Bahkan menjadi obrolan hangat di warung-warung dan tempat-tempat keramaian. Berbagai langkah antisipasi dan proteksi terhadap keyakinan yang dianggap sesat ini pun dilakukan agar tidak menular ke warga yang lain. Kepala Desa saat itu menghibau kepada warganya agar mereka kembali menghidupkan masjid dan mushalla yang ada untuk melakukan aktifitas keagamaan. Dalam seketika masjid dan mushalla menjadi penuh ketika sholat maghrib dan Isya seperti layaknya di bulan Ramadhan. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama.
Tokoh-tokoh agama pun tak ketinggalan dihimbau untuk memberikan wejangan kepada masyarakat akan bahayanya aliran ini. Anak-anak dilarang ngaji kepada mereka karena kebetulan di antara mereka ada yang dulunya pengasuh TPA dilingkungannya sekaligus aktifis masjid sehingga sosok mereka demikian dekat dengan anak-anak. Bahkan mereka sempat dilarang sholat berjamaah di dalamnya untuk beberapa waktu dengan ijin dari kepala desa. Langkah ini dilakukan karena mereka dinilai sangat aktif melakukan sholat lima waktu dengan berjamaah di Masjid.
Tersiar isu juga bahwa salah seorang diantara mereka adalah pemabok, menganggap selain alirannya najis seperti pengikut LDII dan  mereka melakukan aktifitas ta’lim di malam hari ketika orang-orang sudah tertidur. Sehingga ada seseorang yang memata-matai mereka pada malam hari, hal ini diketahui karena si mata-mata ini mengaku sendiri. Julukan sampah masyarakat pun ditujukan kepada sekelompok pemuda ini. Berbagai cercaan dan celaan datang bertubi-tubi kepada mereka, bukan hanya dari para warga akan tetapi juga dari pihak keluarga mereka sendiri.
Langkah-langkah proteksi ini pun sangat efektif, ruang gerak mereka bisa dipersempit dan aktivitas mereka bisa dihentikan kecuali jamaah sholat di masjid yang biasa mereka lakukan. Akan tetapi bagaimana pun juga kehadiran mereka ini tetaplah menjadi duri dalam daging bagi masyarakat Mintobasuki. Sikap mereka yang nampak militan dan tidak peduli dengan celotehan orang sangatlah tidak membuat nyaman hati.
Berbagai opini pun bermunculan, sebenarnya aliran apa yang di anut para pemuda ini? Pada awalnya warga menduga mereka adalah pengikut Muhammadiyyah, akan tetapi kenyataannya tidak. Dugaan lain mereka adalah pengikut aliran LDII, akan tetapi juga tidak benar karena mereka tidak pernah sekalipun diketahui melakukan ta’lim atau sholat di pondok LDII yang ada di Ngeluk(tempat yang cukup dekat dengan Mintobasuki), bahkan mereka melakukan aktivitas sholat 5 waktu dan sholat jum’at di masjid umum bersama warga. Dan ketika muncul tragedi bom Bali I yang didalangi oleh para teroris maka warga seolah mendapat pembenaran bahwa mereka ini juga adalah komplotan para tukang bom itu. Ciri-cirinya sama persis, bahkan cadar yang dikenakan istri tokoh teroris itu sama dengan cadar yang dikenakan wanita mereka. Jadi tepatlah sudah bahwa sebenarnya mereka ini adalah aliran JI yang banyak disebut-sebut diberbagai media telah melakukan aksi bom Bali. Akan tetapi dugaan ini pun sirna karena mereka beberapa kali menyebarkan pernyataan-pernyataan yang menentang aksi-aksi teror semacam itu.
Lalu aliran apakah mereka ini?

Jumat, 05 Februari 2010

Sebuah Fenomena Yang Memprihatinkan

Permasalahan yang senantiasa aktual dari sejak jaman awal-awal kenabian sampai hari ini adalah masalah kesyirikan. Bermula dari masa diutusnya Nabi Nuh ‘alaihissalam salam sampai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sampai hari kiamat nanti. Sehingga tidak heran jika fokus dakwah para Nabi dan Rasul adalah dakwah kepada Tauhid, menegakkan kalimah “La ilaaha illa Allah” (tiada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah) dan menjauhi segala macam peribadatan dan penghambaan kepada selain Allah. Seiring berkembangnya zaman dan berlalunya masa serta jauhnya manusia dari bimbingan cahaya kenabian kesyirikan pun menyebar dan menyeruak dengan berbagai macam warna dan ragamnya. Dan tanpa sadar banyak dari kaum muslimin yang terjatuh dalam praktek-praktek kesyirikan. Di negeri ini saja kita sudah kesulitan untuk menyebutkan satu persatu ragam kesyirikan tersebut karena demikian banyaknya.

Tidak terkecuali di lingkungan kita, praktek-praktek kesyirikan demikian digandrungi dan digemari sebagian besar masyarakat. Contoh saja praktek-praktek perdukunan yang demikian laris manis menjadi alternatif masyarakat untuk kesembuhan, penolak bala, mendatangkan rejeki, mencari hari baik untuk acara-acara tertentu dan lain sebagainya. Padahal meyakini dukun dan tukang ramal sebagai orang yang mengetahui hal ghaib adalah sebuah kesyirikan. Seandainya kita datang saja kepadanya untuk menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan masalah ghaib tidak diterima sholat kita selama 40 hari, dan apabila membenarkan dan meyakini apa yang dikabarkan maka telah kufur dan keluar dari Islam. Demikian yang telah disebutakan dalam hadits shahih.

Selasa, 02 Februari 2010

Banjir Kembali Datang

Hujan deras yang mengguyur wilayah Pati di awal Januari tahun ini mengakibatkan beberapa desa yang berada di kanan dan kiri sungai Silugonggo terendam banjir, tak terkecuali sisi utara dan sisi barat Ds mintobasuki. Tepatnya dukuh Loran dan Kulonan. Banjir menggenang terhitung sejak minggu ke-2 sampai minggu ini. Panen raya yang direncanakan warga akhirnya gagal. Area persawahan yang berada di sebelah timur desa pun tak luput dari genangan air karena daerah ini terhitung rendah. Akhirnya, warga hanya bisa memanen sisa-sisa tanaman padi mereka.

Curah hujan yang cukup tinggi di bulan desember dan Januari memang kerap kali berdampak banjir karena sungai Silugonggo yang tidak mampu membendung luapan air. Disamping itu factor sedimentasi kronis yang mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan sungai juga turut menjadi pemicu banjir. Kondisi ini diperparah dengan air kiriman dari waduk Kedungombo dan waduk Tanggulangin karena debit air yang sudah melampaui ambang batas aman dan harus dikurangi. Keadaan semacam ini seakan hal biasa dialami warga yang mendiami daerah sepanjang DAS Silugonggo. Namun yang patut disayangkan tidak adanya upaya pemerintah setempat untuk menanggulagi bencana alam tahunan ini.

 
*MUTIARA HADITS NABI SHOLLALLOHU 'ALAIHI WA SALLAM* Abu Sa'id al-Khudri mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, "Apabila seorang hamba (manusia) masuk Islam dan bagus keislamannya, maka Allah menghapuskan darinya segala kejelekan yang dilakukannya pada masa lalu. Sesudah itu berlaku hukum pembalasan. Yaitu, suatu kebaikan (dibalas) dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat; sedangkan kejelekan hanya dibalas sepadan dengan kejelekan itu, kecuali jika Allah memaafkannya."(HR BUKHARI) Anas رضي الله عنه mengatakan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda, "Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah' dan di dalam hatinya ada kebaikan (7 - di dalam riwayat yang mu'alaaq: iman [17] ) seberat biji gandum. Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di dalam hatinya ada kebaikan seberat biji burr. Dan, akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di hatinya ada kebaikan seberat atom."(HR BUKHARI)