*** SELAMAT DATANG *** Ini adalah blog pribadi yang dikelola secara independen oleh Netter desa Mintobasuki kec. Gabus kab. Pati. Blog Mintobasuki Gabus Pati bukanlah blog resmi pemerintahan desa Mintobasuki. Blog ini tidak ada hubungan dalam bentuk apa pun dengan organisasi, kelompok dan kepentingan tertentu di desa Mintobasuki. Artikel-artikel yang disajikan adalah tulisan lepas yang berisi uneg-uneg, ide, pemikiran, opini pribadi penulis dan pernik-pernik terkait desa Mintobasuki.

Selasa, 09 Februari 2010

Sebuah Klarifikasi: Ada Aliran Sesat di Mintobasuki? – Bag 3


CadarmuslimahbSebelum membaca tulisan ini saya sarankan anda membaca bagian pertama dan kedua dari tulisan ini untuk mengetahui masalah yang sedang kita bahas secara utuh. Pada bagian pertama, saya membeberkan tentang ‘tingkah’ sebagian anak muda di lingkungan kita yang sempat membuat heboh orang sekampung karena sikap beragama mereka yang ‘nyeleneh’ dan ‘aneh’ yang berbeda dengan cara beragama masyarakat pada umumnya. Tak ayal lagi sikap ini membuat keresahan warga sehingga banyak mengundang kecurigaan dan tersebar isu-isu negatif . Sebenarnya kasus ini sudah lama berlalu yaitu sekitar tahun 1999. Saya angkat lagi masalah ini disini untuk klarifikasi agar masalahnya menjadi jelas terkait isu dan tuduhan yang dialamatkan kepada mereka. Ini adalah tulisan klarifikasi ke dua dari pihak mereka:
Pada bagian kedua dari tulisan ini saya sedikit memaparkan sebuah kaidah bagaimana menghukumi suatu permasalahan terkait urusan dien Islam – sesuai kemampuan dan kapaitas ilmu saya yang masih sangat cethek ini-. Setiap permasalahan dalam urusan Dien (Islam) ini hendaknya dikembalikan kepada pemilik syariat yaitu Alloh dan Rosul-Nya untuk menghukumi. Ini adalah kaidah dasar yang mesti kita pahami. Bahkan mengembalikan setiap permasalahan Dien kepada keputusan Allah dan RasulNya adalah ukuran keimanan seorang Muslim kepada Allah dan hari akhir. Alloh berfirman:
يا أيها الذين ءامنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولى الأمرمنكم فإن تنازعتم في شيئ فردوه الى الله و الرسول إن كنتم تؤمنون بالله و اليوم الأخر ذلك خير و أحسن تأويلا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah RosulNya, dan ulil amri (ulama dan umara’) diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (SunnahNya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari Akhir. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik bagimu. (QS an-Nisa’: 59)
Dalam ayat yang yang lain Alloh azza wa jalla barfirman:
فلا و ربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا في أنفسهم حرجا مما قضيت و يسلموا تسليما
Maka demi Robb-mu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu(Muhammad shollahu ‘alaihi wa sallam)hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS An-Nisa’: 65)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله و سنة رسوله
“Aku tinggalkan untukmu dua perkara. kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya. Yaitu kitab Alloh dan Sunnah RosulNya. (Hadits shahih lighairihi, HR Malik; al-Hakim; al Baihaqi; Ibnu Nashr; Ibnu Hazm; dashahihkan Syaikh Salim al Hilali dalam at-Ta’zhim Wal Minnah Fi Intisharis Sunnah, hal 12-13)b
Inilah dasar-dasar pijakan perlunya sikap ilmiah dalam menghukumi sebuah bermasalahan terkait urusan syariat. Jadi, ketika terjadi silang pendapat hendaklah dikembalikan kepada Alloh (al Qur’an) dan rosulNya (sunnah). Sikap ini bukan berarti mengesampingkan kedudukan para ulama sebagai pewaris para nabi untuk dijadikan rujukan. Peran ulama sebagai pembimbing umat memegang penanan vital sehingga tidak bisa kita abaikan. Akan tetapi kita juga harus meyakini bahwa yang ma’sum hanya rosulullah sholallahu alaihi wa sallam. Kita pun harus menempatkan ulama pada porsi yang semestinya, tidak meremehkan dan  merendahkan kedudukan mereka, juga sebaliknya tidak memposisikan mereka sejajar dengan kedudukan Rosulullah sholallahu alaihi wa sallam dan menganggap setiap ucapan dan pendapat mereka selalu benar dan ma’sum. Kita berada diantara dua sikap ini, yaitu kita ambil pendapat mereka yang sesuai dengan dalil dan  dekat kepada kebenaran dan kita tinggalkan pendapat mereka jika ternyata menyelisihi dalil-dalil yang shahih tanpa meremehkan dan menjatuhkan kehormatan mereka. Kita meyakini jika seorang berijtihad dan benar ijtihadnya maka ia mendapatkan 2 pahala, jika salah ia mendapat 1 pahala. Ini adalah sikap yang wasath (pertengahan) dan adil yang dipegangi Ahlussunnah wal jamaah. Sudah semestinya kita membiasakan  kerangka berfikir ilmiah dalam menyikapi setiap permasalahan, tak terkecuali dalam urusan Dien ini. Sebaliknya kita tinggalkan sikap fanatik terhadap individu tertentu, organisasi maupun aliran tertentu yàng menjadikan kita meninggalkan al-Qur’an dan as-Sunnah karena tidak sejalan dengan paham, aliran, atau organisasi kita. Karena yang kita kehendaki adalah al-haqq ( kebenaran) yang bisa menghantarkan kepada ridho-Nya.
Setelah kita memahami kaidah ini, mari kita tinjau beberapa permasalahan yang selama ini kita anggap menyelisihi syariat dan menyelisihi keumuman masyarakat kita.
PERTAMA, CADAR, ADAKAH TUNTUNANNYA DALAM SYARIAT?
Adalah sebuah kekeliruan jika kita menganggap bahwa cadar adalah identitas aliran dan paham tertentu dan bukan dari syariat Islam. Lebih aneh lagi mengaitkan jilbab besar dan cadar dengan teroris hanya karena melihat istri para pelaku tindak terorisme di negeri kita mengenakan cadar dan jilbab syar’i. Tentu kita akan menolak jika dikatakan bahwa ciri-ciri teroris adalah mengerjakan sholat, puasa, membaca Qur’an dsb hanya karena melihat para pelaku tindak terorisme mengamalkannya? Jika kita menolak anggapan ini tentu kita juga harus menolak jika syiar-syiar syariat yang lain semisal jilbab dan cadar ini diidentikkan dengan teroris dan aliran sesat.
Jika kita membuka kitab-kitab ulama ahlul hadits ternyata kita jumpai banyak atsar dari para generasi awal Islam yang menunjukkan bahwa cadar ini sudah mereka kenal dan mereka amalkan. Ini sebagai bantahan bahwa cadar adalah sesuatu yang bid’ah ( baru) apalagi dikaitka dengan aliran dan paham sesat. Diantara atsar-atsar tersebut adalah sebagaimana yang dibawakan oleh syaikh Albany dalam kitab beliau “Hijab al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitab wa as-Sunnah”. Berikut ini saya kutipkan beberapa diantara atsar yang beliau kemukakan untuk menjelaskan bahwa niqob/cadar suda dikenal pada masa shahabat Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, takhrij berdasarkan kitab beliau, silahkan merujuk pada kitab beliau.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita yang berihram:
لَا تَنْتَقِبُ المَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ , وَ لَا تَلْبِسُ الْقُفَّازَيْنِ
“ Janganlah wanita yang berihram itu mengenakan niqab (cadar/tutup muka) dan jangan pula mengenakan qaffaz (kaos tangan)”.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV:42), An-Nasa’i (II:9-10), al-Baihaqi (V: 46-47) dan Ahmad (no. 6003) dari Ibnu Umar secara marfu’.
Dari ucapan Rosulullah di atas menunjukkan bahwa cadar/niqab dan qaffaz itu keduanya sudah dikenal di kalangan wanita yang sedang berihram. Ini berarti para shahabiyah menutup wajah dan kedua tangan mereka. Hanya saja Rasulullah melarang mereka (para wanita) untuk mengenakan keduanya di saat ihram.
Dari ‘Aisyah dalam hadits Qisshatul Ifki ia berkata:
فَبَيْنَمَا اَنَا جَالِسَةً فِيْ مَنْزِلِيْ , غَلَبَتْنِيْ عَيْنِي , فَنِمْتُ , و كان صَفْوَانُ ابنُ المُعَطَّلِ السَّلْمِي الذَّكْوَانِي من وَرَاءِالْجَيْشِ , فَأَدْلَجَ, فَأَصْبَحَ عِنْدَ مَنْزِلِي , فَأَرَى سَوَادَ إِنْسَانٍ نَائِمٍ ، فَأَتَانِي ، فَعَرَفَنِيْ حِيْنَ رَآنِيْ ،َوكَانَ يَرَانِي قَبْلَ الحِجَابِ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِيْنَ عَرَفَنِي فَخَمًرْتُ (وفي رواية فَسَتَرْتُ ) وَجْهِيْ عَنْهُ بِجِلْبَابِيْ
“Tatkala aku sedang duduk di tempat istirahatku, aku tiba-tiba mengantuk dan akhirnya tertidur Ternyata Shofwan bin al-Mu’atthal as-Silmi adz-Dzakwanidatang dari belakang pasukan. Ia tiba kesorean. Ia pun menginap di tempat pe.nginapsnku. ,Aku lihat orang tidur dalam kegelapan malam. Ia lalu datang kepadaku dan ia pun mengenalku tatkala ia melihatku. Ia melihatku sebelum aku berhijab. Lalu aku bangun untuk meminta agar ia kembali tqtkala ia telah mengenaiku. Kemudian aku pun mengkhimari (dalam riwayat lain: menutupi ) wajahku darinya dengan jilbabku…..”
Diriwayatkan oleh al-Bukhori (VIII: 365-388 – pada “Fathul Bari”, Muslim (VIII: 113-118), Ahmad (VI: 194-197), Ibnu Jarir (XVIII: 62-66), dan Abul Qosim al-Hana’i dalam kitab al-fawaid (IX: 142/2) yang menghasankannya serta riwayatnya yang lain yang diberi tambahan.
Dari ‘Aisyah juga bahwa ia berkata:
كَانَ الرُكْبَانُ يَمُرُّوْنَ بِنَا و نَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذُوْا بِنَا أَسْدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا على وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ
“Adalah para pengendara melewati kami sedangkan kami bersama Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam sedang berihram. Maka jika mereka lewat disamping kami, maka salah satu diantara kami melabuhkan jilbabnya dari kepalanya agar menutupi wajahnya. Dan tatkala mereka telah berlalu, kami pun membukanya kembali”
HR Ahmad (VI: 30), Abu Dawud dan Ibnu Jarud (no. 418), serta al-Baihaqi dalam al-Hajja dengan sanad hasan karena adanya syahid.
Dari Asma’ binti Abu Bakar bahwa ia berkata:
كُنَّا نُغَطِّيْ وُجُوْهُنَا من الِرجَالِ و كُنَّا نَمْتَشِطُ قبل ذلك فِي الْإِحْرَامِ
“Kami menutupi wajah-wajah kami dari kaum laki-laki, dan kami sebelum itu menyisir rambut dalam ihram”
Diriwayatkan oleh al-Hakim (I: 454) menurutnya ini adalah hadits shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim.
Dari Shafiyyah binti Syaibah bahwa ia berkata:
رأيت عائشة طافت بالبيت و هي مُنْتَقِبَةً
“Aku pernah meliht ‘Aissyah melakukan thawaf di Ka’bahdengan mengenakan cadar”
HR Ibnu Sa’d (VIII:49), Abdurrozzaq dalam al-Mushonnaf (V:24-25)
Dari ‘Abdullah bin umar bahwa ia berkata:
لَمَّا اجْتَلَى النّبِيُّ صلى الله عليه و سلم صَفِيَةَ ، رَأَى عائشةَ مُنْتَقِبَةً وَسَطَ النَّاسِ فَعَرَفَهَا
“Tatkala Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan Shofiyyah, beliau melihat ‘Aisyah mengenakan cadar di tengah-tengah keumunan manusia, lalu Nabi pun tahu bahwa itu benar-benar ‘Aisyah”
Ibnu Sa’d (VIII: 90), hadits ini ada keterputusan pada sanandnya. Namun syaikh alBany menyebutkan bebrapa syawahid tentang hadits ini.
Setelah kita tahu bahwa banyak atsar-atsar tentang cadar ini -bahkan diantara shahabiyah dan istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pun ada yang mengamalkannya- lalu bagaimana pendapat para ulama tentang masalah ini?
Menurut madzhab Hanafi dan Maliki, wajah bukanlah aurot yang wajib ditutupi, oleh karenanya menurut mereka cadar hukumnya tidak wajib akan tetapi sunnah (mustahabbah). Akan tetapi jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah bagi laki-laki maka wajib baginya menutupi wajahnya. Sebagian ulama-ulama Madzhab Maliki juga mewajibkannya.
Pendapat ini berseberangan dengan madzhab Syafi’i dan Hanbali yang mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat jika berhadapan dengan pria ajnabi (bukan mahram)termasuk wajahnya, bahkan kuku-kukunya. Oleh karenanya menurut pendapat kedua ini cadar hukumnya wajib dan yang tidak mengamalkannya mendapatkan dosa.
Demikianlah penjelasan para ulama terkait permasalahan cadar. Tapi bukan di sini penjelasannya karena tulisan ini saya buat hanya untuk meyakinkan pembaca bahwa cadar itu bukanlah perkara baru dalam agama kita akan tetapi sudah ada dan dikenal sejak zaman Nabi Sholallahu ‘alaihi wa sallam.
Bersambung, Insya Alloh…..

0 komentar:

Posting Komentar

 
*MUTIARA HADITS NABI SHOLLALLOHU 'ALAIHI WA SALLAM* Abu Sa'id al-Khudri mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah صلی الله عليه وسلم bersabda, "Apabila seorang hamba (manusia) masuk Islam dan bagus keislamannya, maka Allah menghapuskan darinya segala kejelekan yang dilakukannya pada masa lalu. Sesudah itu berlaku hukum pembalasan. Yaitu, suatu kebaikan (dibalas) dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat; sedangkan kejelekan hanya dibalas sepadan dengan kejelekan itu, kecuali jika Allah memaafkannya."(HR BUKHARI) Anas رضي الله عنه mengatakan bahwa Nabi صلی الله عليه وسلم bersabda, "Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah' dan di dalam hatinya ada kebaikan (7 - di dalam riwayat yang mu'alaaq: iman [17] ) seberat biji gandum. Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di dalam hatinya ada kebaikan seberat biji burr. Dan, akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di hatinya ada kebaikan seberat atom."(HR BUKHARI)