Seperti
biasa, ketika hari libur dan kebetulan di rumah bersama anak-anak, saya
tak pernah melewatkan acara jalan-jalan pagi bersama mereka. Cukup naik
motor berkeliling kampung. Melintasi persawahan yang mulai menguning.
Melewati perkebunan tebu yang menghijau. Berkeliling dari Koripan, ke
Karanganyar, Butoh, tembus ke Mintobasuki, lalu ke dukuh Lor-an (RW 01)
lalu ke barat menuju dukuh Kulonan (RW 02), kadang mampir lihat sungai
sebelum balik ke rumah. Liburan yang murah meriah tapi cukup membuat
anak-anak puas. Sekalian memperkenalkan kepada mereka negeri kelahiran
mereka, Negeri Mintobasuki, Gabus, Pati.
Di Dukuh Kulonan, terhampar persawahan dengan padi yang sudah mulai
menguning, pertanda sebentar lagi siap panen. Para petani sibuk
menghalau burung-burung emprit yang menyerbu dengan bergerombol ke
bulir-bulir padi. Teriakan-teriakan nyaring saling bersahutan agar
burung-burung lapar itu tidak menghampiri tanaman padi mereka. Serbuan
burung emprit ini paling banyak di pagi hari dan di sore hari.
Terkadang, para petani seharian tidak pulang demi menjaga tanaman mereka
dari serbuan burung-burung tersebut. Capek…? Iya capek, akan tetapi
akan segera terobati dengan panen padi yang sudah ada di depan mata.
Ini adalah panen ke-2 disepanjang tahun
2015. Panen pertama adalah awal Maret lalu. Sempat di warnai
kekhawatiran akan adanya banjir karena curah hujan yang cukup tinggi di
awal April lalu. Namun ke khawatiran itu sudah hilang kini. Memang
sempat terjadi banjir namun tidak terlalu berpengaruh dengan tanaman
padi mereka. Beritanya di : Banjir Dadakan Melanda Mintobasuki.
Untuk RW 02 memang panen lebih awal karena musim tanamnya juga lebih
awal dibanding dukuh lainnya, semisal Karanganyar yang baru ‘Mrapu’.
Akhir Juni kemungkinan petani dukuh Koripan atau mungkin juga tengahan
bisa memanen hasil padinya.
Saat ini sudah mulai memasuki musim kemarau. Curah hujan sudah
rendah. Untuk pengairan lahan pertanian, warga tani menggunakan mesin
pompa air yang tentunya menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk
pembelian BBM-nya. Inilah yang butuh kita carikan solusinya, yaitu
bagaimana ongkos untuk pengairan bisa ditekan agar mendapatkan hasil
yang maksimal. Perlu adanya kerjasama antar warga tani untuk mengatasi
masalah ini, misalnya dengan mengupayakan mesin diesel yang berbahan
bakar solar dengan kemampuan yang cukup besar namun dengan cost yang
bisa ditekan sebagaimana di desa-desa lain yang ada di tepian sungai
Silugonggo. Dengan manajemen yang baik kemungkinan untuk bertanam padi
sepanjang tahun adalah hal yang mungkin, tidak hanya 2 kali namun bisa 3
atau 4 kali panen, dengan syarat kondisi ideal. Tanpa banjir, misalnya.
Perlu diketahui bahwa luas lahan pertanian di dukuh Kulonan (RW 02)
adalah sekitar 6.6 Ha, membentang di utara dan selatan dukuh Kulonan.
Luasan ini cukup potensial jika kita mampu menanganinya dengan baik.
Kendala yang dihadapi adalah masalah pengairan dan irigasi. Di sepanjang
tepi barat dan utara dukuh ini berbatasan dengan Sungai Silugonggo yang
tidak pernah mengering sepanjang tahun, dengan demikian kebutuhan akan
air seharusnya bisa teratasi.
Kita buat saja perhitungan kasar hasil yang akan dicapai dengan
luasan 6.6 Ha ini. Jika perhektar lahan mampu menghasilkan 4 ton beras
(bukan gabah) maka dengan luasan 6.6 bisa menghasilkan 26.4 ton beras.
Angka ini adalah angka paling rendah berdasarkan sample yang saya ambil
dari pengalaman panen bulan Maret lalu. Kalau harga beras dipasaran saat
ini -anggap saja- Rp 8.000; maka didapatkan angka Rp 211.200.000. Tentu
ini belum perhitungan nett (bersih) karena di sana masih ada biaya
pengolahan lahan, penanaman, pemupukan, pengobatan, pengairan dll. yang
cukup besar.
Dengan perbaikan sistem pertanian yang lebih baik kemungkinan hasil
yang bisa dicapai juga lebih baik. Yah, semoga ada yang mikir ke sana.
0 komentar:
Posting Komentar