Masa lalu akan terasa indah jika kita punya kanvas tuk mengabadikannya…
Hmm…tiap
kali aku datang ke tempat ini kenangan masa lalu itu berhamburan begitu
saja dari ingatanku. Yah, di tempat ini dulu awal pertama kali aku
mulai belajar mengeja alif-ba-ta, mulai belajar wudhu’, belajar sholat,
belajar puasa… Usiaku saat itu barulah menginjak 8 atau 9 tahun. Pak
Sukarman guru ngaji kami, lulusan IKIP Semarang, orang Muhammadiyah.
Beliau lah perintis awal yang mengajari anak-anak di lingkungan sini
(Dukuh Jrakah Kulonan) untuk mengenal ngaji. Waktu itu bukanlah masjid
yang dijadikan tempat belajar, tetapi rumah orang tuanya yang berdinding
gedheg, berlantaikan tanah dan beralaskan gelaran sak yang biasa
dipakai jemur gabah. Jangan bayangkan sudah ada listrik, tiang dan
kabelnya pun belum masuk Mintobasuki. Lampu minyak tanah nan redup yang
menjadi penerang bagi belasan santri-santri kecil ini.
Selepas Maghrib terdengar riuh suara anak-anak yang sedang belajar
membaca dan menghafal Al-Qur’an di bawah temaram cahaya lampu teplok
yang menggantung di tengah-tengah ruangan. Rumah joglo sederhana itu
nampak hidup dengan bacaan Al-Qur’an yang dilantunkan belasan
bocah-bocah mungil. Sesekali terdengar gurau dan gelak tawa lepas.
Sungguh masa lalu yang membuatku rindu untuk menemuinya lagi di hari
ini. Rindu akan bocah-bocah bersarung dan berpeci yang berebutan air
wudhu di padasan tatkala adzan maghrib berkumandang. Rindu akan
wajah-wajah polos yang khusyu’ menghadap gurunya mendengarkan kisah
orang-orang sholih sang teladan. Rindu akan anak-anak kecil yang
memegang obor melintasi pematang sawah menyibak pekatnya malam setelah
pulang dari mengaji. Ternyata gelapnya malam tak menghalangi bocah-bocah
itu tuk melangkahkan kakinya menuju ‘madrasah’ yang akan mengantarkan
mereka pada keutamaan yang hakiki. Bintang-bintang di langit seolah
menjadi saksi langkah-langkah kaki mungil itu.
Beberapa tahun kemudian, atas inisiatif guru ngaji kami, langgar yang
sederhana pun didirikan. Warga sekitar ikut gotong royong menyumbangkan
dana dan tenaga semampunya. Ya, sangat sederhana. Tiang-tiangnya dari
bambu, dindingnya dari gedheg, atapnya dari genting biasa, lantainya
gelaran sak yang dijahit. Sederhana tapi cukup membuat kami nyaman.
Inilah madrasah kami yang baru. Di sanalah kami melanjutkan
pelajaran-pelajaran kami. Letak langgar kami saat itu berada di halaman
rumah orang tua Pak Sukarman, agak sedikit ke barat dari musholla yang
ada sekarang.
Karena guru kami dari Muhammadiyah jadi ada sedikit perbedaan dengan
yang diajarkan kyai-kyai lain di Mintobasuki. Yang paling aku ingat
adalah tata cara sholat yang mungkin menurut anggapan sebagian orang
agak asing, tapi beberapa tahun kemudian aku ketahui justru memang
seperti itulah sholat yang sesuai sunnah Nabi Muhammad -shollallohu
‘alaihi wa sallam-. Persis dengan tata cara sholat yang aku pelajari
dari buku Shifat Sholat Nabi karya syaikh Al-Albani rahimahulloh. Banyak
hal yang ingin aku tuliskan di sini tentang masa-masa itu, tapi aku
pikir bukan di sini tempatnya.
Perbedaan ‘aliran’ inilah yang akhirnya mencuat. Kasak kusuk pun
mulai terdengar. Akhirnya, warga sepakat mendirikan musholla baru di
depan rumah Mbah Sumo Jamroh. Saat itu aku baru SMP kelas 2 awal,
sekitar tahun 1993-an. Musholla yang sederhana tapi masih lebih baik
dari yang sebelumnya. Tiang-tiangnya dari kayu, dindingnya dari triplek
yang cukup tebal, atapnya dari genting press. Lantainya pun diperbaiki
secara bertahap, mulai dari gelaran sak, kemudian tegel biasa, kemudian
diganti dengan lantai keramik. Musholla diberi nama al-Barokah. Listrik
sudah ada. Namun musholla sepi karena tidak ada yang mengurusi secara
penuh. Awal-awalnya banyak bocah yang ngaji karena ada guru dari
tengahan. Tapi, istiqomah adalah sesuatu yang berat. Cuma bertahan
beberapa waktu, selanjutnya musholla sepi. Beberapa anak yang sudah bisa
baca al Qur’an mengajari bocah-bocah lainnya dengan sedikit ilmu yang
dimilikinya.
Kemudian,
karena suatu hal, sekitar tahun 2006, musholla al-Barokah pun dibongkar
lagi dan dipindahkan ke lokasi semula, di halaman rumah mbah Wakidin
(Orang tua Pak Sukarman). Dengan swadaya dari masyarakat setempat dan
bantuan dana dari yayasan al-Baiti Kuwait musholla yang diberi nama
Utsman bin Affan pun berdiri dengan anggunnya seperti yang terlihat
sampai sekarang. Tapi Pak Sukarman tidak lagi tinggal di situ, sudah
pindah ke Kayen bersama keluarganya.
Di sebelah selatan Musholla itu dulunya ada sebuah rumah yang
sederhana dan disitulah awal mula kami mengaji, itulah madrasah kami
yang pertama. Tapi rumah itu sudah lama dirubuhkan dan ditinggalkan
penghuninya setelah disapu angin puting beliung yang merontokkan hampir
seluruh bangunan atapnya.
Itulah sekilas tentang Musholla Utsman bin Affan yang berada di RW 02
Dukuh Jrakah Kulonan Mintobasuki. In Syaa Alloh kita akan jalan-jalan
di tempat yang lain.
0 komentar:
Posting Komentar