Sebuah
kenikmatan yang tak terhingga ketika kita lahir ke dunia ini mendapati
kedua orang tua kita seorang muslim sehingga kita pun menjadi seorang
muslim juga, meski hanya sebatas keturunan. Namun, apakah cukup sebatas
itu saja ke-Islaman kita, lalu berpangku tangan dan merasa cukup? Tentu
tidak, sebab di sana masih ada kenikmatan-kenikmatan lain yang mesti
kita kejar. Janganlah merasa cukup hanya dengan sebutan Muslim, atau
ber-KTP muslim.
Diantara kenikmatan tersebut adalah kenikmatan untuk mempelajari Al
Qur’an. Wahyu Alloh yang diturunkan kepada Nabi kita, Muhammad
shollallohu ‘alaihi wa sallam. Sebagai mukjizat yang akan selalu terjaga
sampai hari kiamat sekaligus -yang terpenting- menjadi petunjuk dan
penerang bagi umat manusia sampai hari kiamat. Kita bersyukur karena
hidup di negeri yang kebebasan beragama di sini dijunjung tinggi. Kita
tidak perlu khawatir ketika menunjukkan simbol-simbol keIslaman dan tak
perlu takut-takut mempelajari Islam.
Alhamdulillah, di desa kita telah berdiri beberapa masjid yang cukup
nyaman untuk beribadah sekaligus sarana belajar dan mengajarkan
ilmu-ilmu Islam. Begitu juga telah berdiri gedung TPQ beserta sistem
pendidikan Al Qur’annya. Diharapkan sarana-sarana tersebut bisa menjadi
mesin-mesin pencetak generasi Qur’ani. Sebuah harapan indah di masa-masa
yang akan datang akan banyak para hamalatul Qur’an (pembawa Al Qur’an)
di negeri ini.
Fase-fase dalam Berinteraksi dengan Al Qur’an?
Sesungguhnya setiap amalan itu sangat ditentukan niatnya. Niat inilah
yang akan menjadi mesin pendorong bagi seseorang untuk mengerjakan
sesuatu yang menjadi tujuan dari niatnya. Demikian pula ketika kita
mempelajari Al Qur’an atau mengajarkannya kepada anak didik kita, apa
niat yang yang ada dalam hati kita. Apakah agar sekedar bisa membaca Al
Qur’an dengan baik dan benar sesuai tajwid dan makhrajnya saja? Atau,
agar menjadi Qori’ dan hafidz Qur’an semata? Atau ada tujuan lain yang
lebih mulia dari itu semua?
Tidak dipungkiri, mempelajari tata cara membaca Al Qur’an yang baik
dan benar sesuai kaidah-kaidah baca adalah sebuah keharusan yang tidak
perlu diragukan. Dan alhamdulillah, kita lihat antusiasme masyarakat
yang demikian besar agar putra-putri mereka mampu membaca Al Qur’an
dengan tartil dan fasih. Dan kita punya sarana untuk mewujudkan harapan
para orang tua tersebut dengan difasilitasi lembaga pendidikan Al Qur’an
dari desa.
Akan tetapi, untuk mencetak generasi Qur’ani tidaklah cukup dengan
fasih membaca Al Qur’an. Perlu ada usaha lebih yang menjadi PR kita
bersama. Setelah paham dan fasih melafadzkan huruf-hurufnya kemudian
kita masuk ke fase berikutnya yaitu memahami makna-makna dari rangkaian
huruf yang kita baca. Seseorang yang membaca Qur’an dengan paham
maknanya berbeda dengan seseorang yang sekedar membaca tanpa mengetahui
maknanya dari segi penghayatan. Paham dengan apa yang kita baca ini
adalah penting agar jiwa tidak kosong dari merenungkan makna-maknanya.
Sehingga dengan demikian terpatri dalam jiwanya akan kandungan isi Al
Qur’an dan membekas dalam sanubarinya akan tinggi dan mulianya kandungan
Al Qur’an. Dari sinilah muncul kecintaan dalam membaca dan
mentadaburinya.
Di fase ini, ada elemen penting yang harus ada dan tidak boleh
diabaikan, yaitu penguasaan ilmu bahasa Arab. Sebagian ulama mengatakan
wajibnya membelajari bahasa Arab, karena bahasa Arab adalah bahasa
Qur’an dan Hadits yang merupakan hukum dasar dalam Syariat Islam.
Bagaimana seseorang bisa memahami Islam jika dia tidak paham dengan Al
Qur’an dan Hadits yang berbahasa Arab?
Disinilah pentingnya mempelajari bahasa Arab sesuai kebutuhan untuk
memahami Al Qur’an dan Hadits. Seorang da’i yang tidak paham bahasa Arab
dan hanya mengandalkan buku-buku terjemahan dikhawatirkan akan jatuh
dalam kesalahan-kesalahan yang tidak ia sadari. Oleh karenanya,
mempelajari bahasa Arab ini perlu kita upayakan sejak awal seiring
dengan pembelajaran membaca Al Qur’an.
Perlu adanya upaya untuk memulai proyek ini. Kalau kita bisa
mengajari anak didik kita dengan bahasa Inggris, kenapa kita tidak bisa
melakukan hal serupa dengan mengajari bahasa Arab?
Setelah Fase memahami makna-maknanya, kita memasuki fase berikutnya
yaitu memahami tafsirnya. Mempelajari tafsir Qur’an dari para
ulama-ulama terdahulu adalah sebuah keharusan agar kita tidak terjatuh
pada kesalahan fatal yaitu mempelajari Qur’an dengan akal kita semata.
Ingatlah, bahwa dalam ilmu tafsir itu ada juga ilmu alatnya, perlu
memahami ushul tafsirnya, asbabul nuzulnya, korelasinya dengan ayat-ayat
yang lain dan hadits-hadits nabawiyah, penguasaan dirayah dan riwayah,
ilmu balaghah dll yang jika kita mempelajari semuanya tentu membutuhkan
masa yang cukup panjang. Akan tetapi kita tidak harus mempelajari itu
semua karena banyak ulama-ulama besar Islam yang telah menginfakkan umur
dan hidupnya untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut untuk menyusun kitab
tafsir Qur’an yang tak ternilai harganya yang dipersembahkan untuk kaum
muslimin. Semisal Tafsir Al Qurthuby, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir At
Thobari, Adhwaul Bayan, Taisir Karimirrahman yang selainnya. Kita
tinggal membaca dan memahami pemaparan tafsir ayat demi ayat dari
kitab-kitab tersebut. Tinggal kesungguhan kita dalam mempelajarinya.
Setelah mempelajari tafsir ayat-ayatnya, masuk kemudian ke fase
berikutnya yaitu mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam
lingkup keluarga maupun masyarakat. Dan tahapan ini merupakan tahapan
terpenting dalam mempelajari Al Qur’anul Karim. Inilah tujuan yang mesti
hendak dicapai oleh setiap orang yang mempelajari Al Qur’an. Betapa
sangat meruginya kita, ketika tiap hari kita baca Al-Qur’an namun tak
membekas sedikitpun dalam tingkah laku kita sehari-hari.
Dan fase terakhir adalah mendakwahkannya, mengajarkannya kepada
orang-orang disekitar kita, kepada anak dan istri kita, keluarga kita,
karib kerabat, masyarakat kita dan secara umum kepada kaum muslimin. Dan
ini adalah tahapan yang terberat.
Tidak ada jalan dakwah yang beralaskan permadani dan bertabur bunga
mewangi. Jalan dakwah adalah jalan yang menjadikan Nuh -alaihissalam-
disakiti kaumnya, menjadikan Ibrahim -alaihissalam- di lemparkan ke api,
menjadikan Ismail -alaihissalam- rela untuk disembelih demi untuk
memenuhi panggilan Alloh, menjadikan Zakariya -alaihissalam- harus
dibelah badannya, menjadikan Yunus -alaihissalam- dilemparkan ke laut
dan masuk di perut ikan, menjadikan Ayyub -alaihissalam- menderita sakit
yang berkepanjangan dengan kehilangan anak-anak dan hartanya,
menjadikan menjadikan Musa -alaihissalam- dikejar-kejar Fir’aun dan bala
tentaranya, menjadikan Isa -alaihissalam- dikejar-kejar Bani Israil untuk
di salib, dan jalan dakwah adalah jalan yang menjadikan Rasululloh
shollallahu ‘alaihi wa sallam mengalami sekian banyak gangguan,
rintangan, ancaman, tindak kekerasan, pengusiaran dari kampung
halamannya bahkan percobaan pembunuhan. Jalan dakwah adalah jalan
menanjak yang penuh kerikil-kerikil tajam dan bebatuan. Jalan dakwah
adalah jalan kesabaran yang tiada batas. Jika engkau berkehendak
menapaki jalan ini, lapangkanlah dadamu, tegapkanlah langkahmu,
kepalkanlah tanganmu dan kuatkanlah tekatmu. Tapi yakinlah, di ujung
jalan ini, di puncak sana akan engkau temukan keindahan yang tidak
pernah engkau bayangkan dan engkau angankan. Ridho Alloh dan
kecintaannya.
Tetaplah mempelajari Al-Qur’an, membacanya dengan tartil, memahami
makna-maknanya, mempelajari tafsir-tafsirnya, mengamalkan semampumu dan
mendakwahkannya dengan penuh kesabaran. Insya Alloh, suatu saat nanti
akan akan engkau lihat suburnya generasi Qur’ani di negeri ini.
Samudera Al Qur’an adalah lautan luas tak bertepi. Jika engkau sudah
fasih membacanya, jangan buru-buru engkau merasa cukup karena pada
hakekatnya engkau barulah berdiri di atas butiran pasir putih di tepian
samudera tersebut. Engkau belum lagi menjejakkan kakimu merasakan
sejuknya air samudera itu. Engkau belum lagi berenang-renang di
dalamnya. Dan engkau belumlah menyelam di dasarnya dan mendapatkan
kilau-kilau mutiaranya.
Pelajarilah Al Qur’an sampai engkau mendapatkan kehidupan yang mulia,
agar engkau menjadi mutiara yang berjalan di tengah-tengah manusia.
Allohu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar