Bocah-bocah
itu selalu memberikan harapan bagi saya. Bocah-bocah berpeci dan
berkoko. Berjilbab dan berkerudung. Di siang yang terik mereka menuju
TPQ Desa, mengayuh sepeda-sepeda kecil mereka setelah sejenak melepas
lelah dari sekolah. Membawa buku saku Qira'ati. Mengahadap ustadz dan
ustadzah. Mengeja huruf demi huruf hijaiyyah, sampai mampu merangkainya
dalam lantunan ayat-ayat Al Qur'an. Bocah-bocah itu selalu memberikan
optimisme bagi saya bahwa kedepannya masih ada harapan baik bagi
generasi di sini. Generasi yang lebih Qur'ani dan Islami.
Meski
harapan ini terkadang harus pupus tatkala melihat realita yang ada.
Kenapa? Setiap tahun ada belasan santri baru yang belajar di sana. Dan
setiap tahun, bisa jadi belasan atau lebih anak-anak yang dinyatakan
telah lulus dan mampu menjadi qari' (pembaca ) Al Qur'an. Namun, kemana
saja mereka setelah lulus dari madrasah diniyyah ini?Apakah mereka sudah menjadi pribadi-pribadi muslim yang Qur'ani? Sesuai harapan ustadz dan ustadzah yang mengampu mereka?
Ilmu Dien (Islam) ini sangatlah luas, laksana lautan tak
bertepi. Jika kita saat ini sudah cakap dalam membaca qur'an dengan
segela perangkat ilmu tajwid untuk memfasihkannya, artinya kita saat ini
baru berdiri di tepian pantai dari samudera yang luas. Kita belum
lagi menginjakkan kaki di pasir putihnya, belum lagi merasakan basah
kaki kita oleh deburan ombak pantai, belum lagi kita berenang-renang
ditepiannya, belum lagi kita menyelam di dasarnya untuk mendapatkan
mutiara-mutiara indah nan berkilau di dalamnya. Perlu adanya pendidikan
diniyyah yang berkelanjutan, tidak hanya cukup di level ini saja. Tentu
ini menjadi bahan renungan kita bersama dan para pengelola madrasah
diniyyah.
Kata kuncinya adalah perlu adanya pendidikan diniyyah yang berkelanjutan, tidak cukup sampai pada level 'sudah mampu membaca Qur'an' saja. Dengan adanya pengajaran yang berkelanjutan inilah harapan pembentukan generasi-generasi Islami bisa terwujud.
Adakalanya kita
membaca Qur'an, tapi tahukah kita bahwa di dalam Al-Qur'an yang kita
baca dan sebagiannya kita hafal ada perintah sholat, berjilbab
menutup aurot, menghormati orang tua, menghormati sesama muslim,
menjauhi perkara-perkara mungkar baik dalam ucapan dan tindakan dan lain
sebagainya? Kenyataannya banyak di antara kita yang sekedar baca namun belum memahami makna yang terkandung di dalamnya. Pada kenyataannya banyak diantara kita yang masih biasa meremehkan dan meninggalkan sholat, menganggap jilbab bagi muslimah bukan hal wajib, masih melakukan hal-hal yang dilarang syariat dengan sengaja dan terang-terangan baik perkataan maupun perbuatan. Mungkin ini adalah dampak dari pengajaran yang tidak berkesinambungan yang perlu kita benahi. Perlu ditanamkan benak kita bahwa belajar Islam itu 'minal mahdi ilal lahdi' (ayunan sampai lahat).
Lalu
siapa yang mesti bertanggung jawab dalam hal ini? Bertanggung jawab
dalam mencetak generasi-generasi yang tidak hanya pintar dan fasih dalam
membaca Qur'an namun juga berakhlaq karimah dan menjunjung tinggi
nilai-nilai Diniyyah?
Pertama -dan ini yang paling mungkin- adalah peran dari madrasah TPQ. TPQ sebenarnya bisa menjadi sarana yang strategis untuk menanamkan pendidikan Islami bagi para santrinya. Waktu 2 jam setiap harinya jika dimanage dengan baik, dengan kurikulum dan materi yang terarah tentu bisa memberikan pengaruh yang signifikan. Dengan demikian perlu adanya evaluasi dan kalau perlu ada penataan ulang terhadap sistem yang selama ini berjalan.
Kedua, mulai menghidupkan lagi masjid-masjid dan mushala-mushala yang kita miliki untuk kegiatan-kegiatan dakwah dan diniyyah dengan menyasar generasi muda dan anak-anak. Saat ini kita memiliki 5 mushalla dan 1 masjid jami', jika kita bisa memanfaatkan sarana ini untuk perbaikan umat tentu akan sangat efektif. Tentu kita masih ingat peran masjid dan mushala di era 80-90an sebagai post-post tarbiyah (pendidikan) anak. Di sana kita belajar banyak hal tentang ilmu-ilmu diniyyah meski hanya dalam rentang waktu maghrib sampai isya'. Bukan sekedar baca Qur'an, tapi juga mempelajari fikih-fikih praktis ibadah. Secara tidak langsung kita telah mendekatkan para santri didik ini dengan tempat suci sehingga dia tidak perlu merasa canggung ketika harus beraktivitas di sana. Dan satu hal lagi kelebihan masjid yang tidak dimiliki oleh sekolah sore di TPQ adalah melatih para santri untuk mengerjakan sholat tepat waktu dengan berjamaah, yang hal ini tidak mungkin dilakukan di kelas TPQ. Tentu kita tidak ingin melihat anak-anak yang tetap asik dengan belajarnya padahal adzan sholat sudah berkumandang dari masjid. Kita belajar Qur'an bukankah untuk memenuhi panggilan Alloh? Agar kita bisa bersujud dan bersimpuh dengan benar dihadapan-Nya?
Harapan kedepannya hal-hal yang terkait perbaikan umat semacam ini mendapat perhatian khusus dari pemerintahan desa pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Perlu ada keseriusan jika kita tidak ingin generasi islami ini nantinya punah dari desa kita.
Setidaknya, semangat dari anak-anak TPQ ini bisa memberikan motivasi bagi kita untuk memberikan yang terbaik bagi mereka.
0 komentar:
Posting Komentar